Nesa mengambil ponsel yang ada disampingnya, saat ini dia sudah berbaring dengan posisi yang sangat nyaman, terlentang.
Lagu yang lo mainin tadi itu, apa? Ini nesa.
Nesa mengutuk jarinya yang sangat gatal, sudah sedari tadi, dia ingin mengirim pesan pada pria itu, Rendi. Dan saat bunyi klik pada ponselnya, Nesa mengambilnya dengan cepat dan membacanya dengann girang.
Fight Song - Rachel Pllaten.
Sangat padat dan jelas, sukses membuat Nesa cemberut. Padahal dia masih ingin berbicara dengan pria itu.
Kapan lo mau mulai konseling lo?
Sepuluh menit Nesa menunggu balasan Rendi dengan gemas. Apa pria itu masih mengeja tiap huruf dilayar ponselnya?
Maksud, lo? Konseling? Lo kira gue guru BK, lo?
Nesa mendegus kesal, sudah lama dan ternyata pria itu malah membuatnya semakin emosi saat ini, Nesa mengetikkan balasan dengan panjang lebar, menyelipkan beberapa emotikon pada pesannya.
Ini lo tiba-tiba bego, atau emang udah bego beneran, sih? 😐 Lo lupa atau mau nguji kesabaran gue, huh? Ya, konseling. Lo kira apa lagi? Lo tadi bilang mau bantu gue buat ngilang trauma gue? 😤😤😤, lo lupa atau mau ingkar janji, huh? POKOKNYA BESOK!! DIRUANG MUSIK!! PAS JAM PULANG SEKOLAH HARUS UDAH ADA DISANAAAAA!!! 😤😤😤
Nesa tersenyum puas melihat pesan yang sudah terkirim. Namun, saat membaca ulang, wanita itu malah merengek seperti bayi, meninju perut Mr. Pee demgan gemas.
"Iih--kok pesan gue alay banget. Iiiihhhh." Nesa melemparkan ponselnya ke arah Mr. Pee dan menekannya hingga perut boneka itu kempes. Namun, setelah ada bunyi klik kembali, Nesa langsung mengambil ponselnya dan membuka balasan dari Rendi.
Woooiii!! Santai, capslock lo jebol? Atau lo lupa cara ngembaliin capslock lo? Apaan itu sama emot alay lo itu? Tanda seru lo kurangin kalo masih mau konseling kayak kata lo itu. Oke, besok pulang sekolah, di ruang musik. Lo telat dua menit gue cabut.
Nesa menyengir seperti orang bodoh saat melihat pesan dari Rendi. Pria itu selalu sukses membuatnya kesal dan senyum seperti orang gila.
Oke!!!!!!!!!!!! Kalo lo telat, gue tunggu!!!!!!!!!!
Dan balasan berikutnya
Tanda seru, bego!
Nesa mendumel saat melihat tanda seru diujung kata bego itu. Apa-apaan itu? Membalasnya? Nesa memilih tidak membalas pesan terakhir Rendi, bisa-bisa pria itu berfikir jika Nesa mencari topik tidak penting untuk alasan mengirim pesan pada pria itu.
Nesa menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum tipis. Setidaknya, dia sudah mendapatkan pencerahan. Semoga saja, apa yang dia inginkan akan terwujud.
***
Nesa pernah merasa kesepian, takut dan merasa ingin mati saja. Tetapi, itu dulu. Saat dia lupa bagaimana caranya hidup dengan baik. Saat rotasi hidupnya berputar arah, menjadi, terbalik.
Dan satu waktu, Nesa masih merasakan hal itu, terkadang. Dan yang dimaksud oleh satu waktu adalah, sekarang.
Saat Nesa bergerak gelisah dalam tidurnya, berkeringat dan mengerang. Merintih saat merasakan kembali sakit yang sudah cukup lama ingin dia kubur.
Bayangan Ibunya yang sedang berdarah dan meregang nyawa, menari didalam fikirannya. Disaat dia kehilangan seseorang yang menopangnya, agar semangat setiap harinya. Disaat, dia tersenyum atas kemenangannya, ternyata. Ibunya yang dia cintai mati didalam menit yang sama. Ini adalah kesalahannya. Wanita paruh baya itu, tidak bisa menatap wajahnya disaat terakhir, dan hebatnya, dia sedang tersenyum lebar karena kemenangannya.
Nesa membuka matanya perlahan, dan mendudukkan dirinya. Tangannya mengelap keringat yang bercucuran didahinya dan mendesah berat, rasa sakit itu masih tertinggal. Nesa todak bisa memungkiri hal itu, karena dia manusia biasa. Topeng ceria yang dia pasang memang hanya topeng, tetapi, itu adalah kekuatan terbesarnya.
Nesa meraih ponselnya dan mengerenyit saat mendapati pesan masuk dari pria itu, Rendi.
Gue nggak bantu lo secara cuma-cuma. Gue mau besok lo bawain gue cemilan. APAPUN!! Lo nyita waktu berharga gue, dan lo mau gratis? Big NO.
Nesa tersenyum tipis, setelah membaca pesan Rendi. Benar, dia menggunakan waktu berharga pria itu, dan gratis? Dia tidak mau berhutang budi, jadi setiap hari, Nesa berjanji akan membuatkan cemilan untuk mereka makan.
***
"Apaan ini?" Nesa mengerenyit bingung, melirik bekal yang dia bawa, setelah itu mengangkat bahunya secara malas.
"Lo nggak liat? Ini bakwan." Rendi mendelik pada Nesa, meletakkan bekal itu pada meja.
"Lo kira gue bakal kenyang? Bakwan cuma sepuluh, lo pelit banget." Nesa tersenyum tipis, memgambil bakwan buatannya dan mencoletkannya pada saus, setelah itu menyumpalkan bakwan pada mulut Rendi.
"Mulut itu kalo ada makanan, buat ngunyah. Bukan buat, ngomel nggak jelas. Coba dulu, kenapa? Gue jamin lo kenyang." Rendi bersungut-sungut saat mengunyah bakwannya, "Dan kalo lo nggak kenyang, besok gue bikinin omelete kesukaan gue."
"Eh, yang bantuin kan, gue? Kenapa jadi makanan kesukaan lo?"
"Kan, gue yang masak. Suka-suka gue lah."
"Nesa?
"Iya?"
"Minta suapin pake bakwan, hem?" Nesa mengangguk antusias, membuka mulutnya lebar-lebar. Padahal, Nesa tahu, pria itu sedang kesal padanya. Tetapi, ini sangat menyenangkan.
Rendi menggelengkan kepalanya, menyuapkan bakwan dengan potongan besar pada mulut Nesa.
"B--Besar amat!!" Nesa memekik saat merasakan tenggorakannya penuh dengan minyak.
"Lo harus belajar masak lagi." Rendi menyuapkan bakwan pada mulutnya, namun mata pria itu memperhatikan gerak-gerik Nesa yang sedang menegak air minumnya.
"Lo ngapain liatin gue, gitu amat!! Naksir bilang, nggak berani sms!!" gerutu Nesa lagi.
"Kayaknya gue mesti kasi plang dijidat lo, kalo lo bukan tipe gue."
"Yang bukan tipe lo aja, lo liatin segitunya amat."
Rendi mengusap dagunya dengan malas, menoyor dahi Nesa dengan telunjuknya.
"Lo kira gue liatin lo, berarti gue naksir lo? Sorry aja, bidadari masih banyak yang ngantri dibelakang lo."
"Idih--bidadari ngantri dibelakang gue, buat nagih hutang sama lo. Dia temen gue!!" Nesa memeloti Rendi dengan galak. Namun, sepertinya pria itu menganggap wajah Nesa adalah sesuatu yang lucu, dan siap dimuntahkan dengan tawa, "Apa lagi lo, liatin gue gitu!!" Rendi menoyor dahi Nesa gemas, "Iih--jangan totok kening gue!! Ntar tambah pinter. Lo repot!!"
"Lo ngomong nge-gas mulu. Heran gue." Rendi memiringkan kepalanya, menatap Nesa dengan serius.
"Kenapa lagi? Natap jangan aneh gitu dong, ih!"
"Gue mau tanya."
"Apa?" Nesa melirik Rendi dari bulu matanya, dan mendapafi pria itu tengah memiringkan kepalanya padanya.
"Pas lo main piano, apa yang lo bayangin? Not?" Nesa mengerjabkan matanya, setelah itu menggeleng lemah.
"Ibu gue."
"Kenapa?"
"Karena, gue main buat Ibu gue. Dia seneng liat gue main, nggak tau kenapa."
"Dan lo seneng nggak?"
"Gue pasti seneng. Karena, gue ngerasa, Ibu selalu senang kalo gue main."
"Yaudah, sekarang lo main. Bayangin gue jadi Ibu, lo." Nesa menatap Rendi aneh. Dan detik berikutnya tertawa kencang.
"Hahahaha--please, deh, Ren. Lo kira gimana gue bayangin lo jadi Ibu gue? Secara lo cowok, jenggotan. Mana aneh, Ibu aku itu nggak aneh kayak lo." Rendi mendengus kesal, berjalan kearah piano dan memencetnya asal.
"Lo dikasi saran malah ngetawain gue."
"Sorry-sorry. Soalnya lo aneh banget sih."
"Denger ya, Nes. Gue main piano karena gue benci piano."
"Hah?" Nesa mengerjabkan matanya bingung.
"Gue main piano karena gue benci piano. Dan gue benci bokap gue."
"Hah?"
"Cuma lo, dan Adlan yang tau ini."
"Adlan?"
"Ya, dia."
***