Nesa merapikan bukunya, dan memasukkannya kedalam tas. Efek bangun tidur jelas masih mempengaruhinya. Bahkan, matanya baru setengah terbuka. Dan wanita itu sudah nekat berjalan menuju kelas.
"Kalo bukan gara-gara, lo. Gue ogah jalan mata setengah kayak gini!!"
"Emang lo mau tinggal di UKS?" Nesa mendelik kearah Kiki yang sudah tertawa melihat tingkahnya.
"Emang lo tega ninggalin gue? Lo, kan, cinta, gue." Nesa mengeja tiap katanya dengan senyum aneh.
"Idih amit-amit deh, Nes. Mending gue sama si monyet."
"Lo aja gengsi mulu, mau ya mau aja sama dia." dengus Nesa kesal. Nesa masih sangat-sangat mengantuk. Dan Kiki dengan polosnya datang, memukul tempat tidurnya, dan berteriak seperti gorila ditengah hutan.
"Cowok itu harus dikasi waktu biar sadar."
"Terserah lo deh--ayo." Nesa menarik lengan Kiki dengan ogah-ogahan. Matanya berat dan minta dipejamkan lagi. Nesa berjanji demi matanya yang cantik, saat sampai dirumah dia akan tidur sampai pagi besok.
"Ngapain lo senyum-senyum. serem amat." Nesa menoleh pada Kiki dan mendengus kesal, wanita itu mengeluarkan kunci motornya dan melemparkannya pada Kiki.
"Lo yang bawa." Nesa memasang helm birunya dan sudah siap duduk dibelakang. Sedangkan, Kiki. wanita itu bersungut-sungut karena tidak suka menjadi ojek.
"Gue nggak bawa sarung tangan bego."
"Lo yang bego. siapa suruh nggak bawa, cepetan elah."
"Oke-oke." Kiki memasang helm pinknya dan memutar kunci motornya, "Eh, lo. kenapa peluk-peluk gue?"
"Kalo gue jatoh, gue yang repot. Lo mah pasti ninggalin gue." Kiki mendengus saat mendengar jawaban sinting Nesa. Kiki terkadang heran kenapa dia bisa betah berteman orang sinting seperti Nesa.
"Lo deskripsiin gue, kok kedengerannya jahat banget, yah?"
"Emang gitu, kan?"
"Karena lo udah bilang ke gue sekarang. Kayaknya boleh gue coba." Nesa semakin mengeratkan pelukannya saat motor sudah mulai berjalan, kepalanya bersandar pada punggung kecil Kiki.
"Bawa motor yang waras ya, Ki. Kayak gue, pernah kecebur kali, sekali."
"Sinting lo." gumam Kiki.
"Eh, Ki. Menurut lo, kalo gue main piano lagi, gimana?"
"Ya, baguslah. Tapi, emang lo bisa?"
"Nggak tau."
"Terus kenapa lo tanya?"
"Tadi gue main piano, sama cowok. Tapi pas ditengah gue langsung pusing."
"Itu mending. Daripada yang ngajak gue sama Adlan. Lo belum masuk ruang musik aja udah pusing." Nesa terkekeh pelan, menyadari dirinya menjadi aneh saat kejadian itu, "Emang dia siapa?"
"Gue nggak tau namanya."
"Lah, terus?"
"Gue mau cari dia lagi. Kali aja dia bisa ngilangin trauma gue. kangen gue main piano."
"Yaudah, dicari."
"Lo, gimana sih? kan gue nggak tau siapa dia. Gimana caranya gue cari dia? Lo kenal dia nggak?"
"Nes, Please. Bego jangan diterusin. Liat mukanya aja, gue belum. Lo nanya gue lagi."
***
Nesa menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur kain suteranya. Ah--terlalu berlebihan. Tetapi, bulu-bulu dari boneka beruang kesayangannya. Membuat tempat tidur terasa sangat nyaman.
"Bu, aku tadi main piano," Nesa tersenyum pada bonekanya dan memeluknya erat, "Tapi tadi, langsung pusing sih. Tapi nggak papa. Aku mau coba lagi, tapi sama cowok itu. Dia bikin aku lupa." Nesa menarik selimut sampai sebatas pinggangnya dan mendesah lega, "Bapak belum pulang lagi, Bu. Dia sibuk kerja. Ibu jangan marah, ya?" Nesa menganggukkan kepala bonekanya dan tersenyum tipis, "Tadi aku janji sama mata aku, buat tidur sampai besok pagi. Jangan marah, ya? Besok aja aku makannya. Selamat tidur." Nesa mengecup pipi beruang putih itu dan memejamkan matanya.
Setelah Ibunya meninggal. Memang, Nesa menjadi anak yang sedikit murung. Hanya sedikit, karena dia lebih sering menjadi sinting. Selain itu, karena Bapaknya yang selalu keluar kota, padahal menjauh darinya. Bapaknya selalu pergi keluar kota setelah kematian Ibunya. Padahal, Nesa juga membutuhkan semangat .
***
Disisi lain, seorang pria tengah serius menekuni tuts-tuts piano dengan serius. Tak memperdulikan seberapa banyak keringat yang sudah dia keluarkan. Baginya, permainan yang sempurna adalah yang terbaik. Bukan dengan perasaan.
Pria itu menghentakkan jarinya dengan kasar pada tuts dan mendesah marah. Sudah bertahun-tahun dia menekuni musik ini. Tetapi, tidak satu haripun dia merasa senang, ataupun menikmati hal ini. Kenapa? Karena dia tidak menyukainya.
"Kalo lo, terus main kayak gitu. Yang ada piano lo rusak." pria itu menoleh pada seorang pria jangkung yang sedang berjalan kearahnya, "Santai, Ren. Gue tau lo nggak suka. Tapi jangan kayak gini juga."
"Lo nggak bakal ngerti, Dlan." ya, pria yang abru saja masuk itu adalah Adlan. Pria dengan tubuh tinggi, khas pemain basket.
"Gue ngerti, makanya gue disini. Nemenin lo."
"Tapi lo nggak nemenin gue diatas panggung."
"Kalo lo mau panggung lo hancur, bawa gue." Adlan tersenyum tipis, menepuk pundak pria yang sedang merenggangkan tubuhnya itu.
"Nginep sini lagi?" Adlan mengangguk.
"Bokap lo nyuruh gue mantau lo latihan. Seenggaknya gue yang ngeliatin lo, bukan pembunuh berantai." pria itu tertawa saat mendengar ocehan Adlan, dengan adanya pria itu didekatnya. Setidaknya, dia merasa lega.
"Lo udah makan?" Adlan menggeleng.
"Gue langsung kesini, nggak sempet makan. Lagian Nyokap gue nggak masak."
"Alesan, lo. Bilang aja minta masakin." Adlan tertawa lebar, menepuk punggung pria itu kuat. Membuat senyum menular pada pria yang melihat Adlan tersenyum itu.
"Itu, lo tau." Adlan melirik pria yang masih terduduk itu dan melepaskan tangannya dari punggung pria yang menoleh bingung padanya, "Iiih--amit-amit, gue nggak mau lo masak pake keringat. Mandi dulu, sono!!" suruh Adlan lagi.
"Gila, lo. Lo nggak tau, ya? yang bikin enak itu keringat gue."
"Baru sadar gue punya temen dua sinting semua." pria itu mendengus kesal.
"Teman lo itu, siapa, sih? Nggak pernah kenalin sama dia."
"Bahaya, ntar lo naksir."
"Liat aja belum."
"Makanya jangan liat, ntar naksir. Soalnya sama gilanya sama lo."
"Bangsat, lo!!" dengusnya lagi.
"Eh, Ren. Cepetan, cacing gue udah disko."
"Lo kira gue babu, lo?"
"Emang lo babu gue?" tanya Adlan balik.
"Mau makan, nggak?"
"Oke-oke, makan-makan." cengir Adlan lagi.
***
"Ngomong-ngomong, Ren. Lo, kan primadona di sekolah--"
"Lo kira gue apa?" dengus Rendi kesal.
"Hehe--gue mau nembak cewek. Tapi, gue udah ditolak berkali-kali." Adlan cengegesan sembari menonton tv, "Dia itu, galak banget. Cueknya sama cowok doang. Nggak tau kenapa."
"Berarti dia pernah disakitin cowok."
"Terus gimana?"
"Lima menit, lima puluh ribu."
"Anjir, Ren. Anggep aja gue mantau lo itu bayarannya." Rendi terkekeh saat melihat wajah kesal Adlan.
"Oke."
"Jadi?"
"Jadi orang, Dlan. Aduh!!" Rendi memelototi Adlan dengan kesal, pria itu baru saja memukul kepalanya dnegan keras. Sangat, tidak main-main, "Lo mau bikin gue bego, hah!!"
"Emang udah bego, lo. Gue nanya serius!!" Rendi mengelus kepalanya dengan pelan, rasa berdenyut-denyut menyerangnya karena pukulan Adlan.
"Kalo lo nggak gue anggep orang tua, lo udah gue tendang dari sini." sinis Rendi kesal.
"Jaweb!!"
"Sabar, elah. Pala gue denyut-denyut. Lo mau rasain, hah? Gila lo mukul gue, kenceng amat!! Santai aja kali." dengus Rendi.
"Terus?" Adlan sudah sangat geram dengan tingkah konyol Rendi, pria itu terkadang sangat oendiam dan sangat menyebalkan disaat bersamaan.
"Ya, lo deketin dia lah. Lo kira, apalagi? Lo cari tau apa yang buat dia kayak gitu. Terus yakinin dia. Yaudah."
"Giamna caranya?"
"Lo salah tanya orang, bro. Gue nggak pernah serius sama cewek."
"Bener salah tanya gue." dengus Adlan kesal.
"Well, gue nggak bakal biarin lo tidur dikamar gue lagi. udah cukup lo tendang gue kemaren."
"Dendam amat lo!!"
"Lo mau coba?" Adlan menggeleng sembari mendengus kesal, "Tidur dikamar tamu!!"
***