Chereads / Kutkh - Bahasa Indonesia / Chapter 16 - Kisah dari Seberang Lautan (1)

Chapter 16 - Kisah dari Seberang Lautan (1)

15 tahun yang lalu...

 

Sudut pandang David

Akhirnya... Perang usai...

Tidak perlu lagi aku mengangkat senjata.

Tidak perlu lagi darah-darah orang tak bersalah ditumpahkan...

Akhirnya kami semua bisa hidup dalam damai...

Perang antara Dragnite dan Ceres yang sudah terjadi bertahun-tahun...

Kini sudah usai...

 

"Kita... Kita... Sudah tidak perlu mengangkat senjata lagi!"

"Kita... Sudah bebas!!"

 

Sorak sorai prajurit yang begitu gembira menyambut usainya peperangan.

Kujatuhkan pedangku.

Tak kurasa air mataku juga ikut menetes.

"Akhirnya... Aku bisa pulang..."

Elena... Terima kasih sudah menungguku selama ini.

Sebentar lagi... Sebentar lagi... Aku akan pulang.

Kita bisa menjalani hidup yang damai di Arcto...

Anak kita, Arthur... Sudah berapa usianya sekarang...?

"Tunggu aku..."

 

Malam itu kami berpesta besar-besaran.

Kami semua mengeluarkan seluruh persediaan makanan yang masih tersimpan di gudang.

Rekan-rekanku semua menari di sekitar api unggun.

Alkohol menjadikan malam ini semakin hidup.

"Hei..."

Seseorang menghampiriku.

Oh, Owen toh.

"Senang ya, perang ini usai begitu saja."

"Begitulah..."

 

"Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau tahu sesuatu Vid?"

"Dari yang kudengar dari atasan, katanya ada satu orang Dragnite yang berhasil menemukan artefak atau apalah itu."

 

"Jadi begitu... Berarti benar kalau memang kita yang mencuri artefak mereka ya? Aku jadi merasa bersalah sekarang pada orang-orang Ceres."

"Hah, bisanya kau ngomong begitu. Padahal kau yang paling semangat membantai mereka semua kemarin."

 

"Yah... Itu kan kemarin. Mereka juga tidak segan-segan menyerang kita."

"Memang, ya itulah namanya perang. Kita hanya menjadi baik pada orang yang kita anggap sekutu. Kalau musuh, pasti kita tidak segan-segan menghabisi mereka."

 

"Ya, memang benar sih. Tapi sekarang aku juga berpikir... Mereka juga pasti sama dengan kita. Punya keluarga, sahabat, dan orang-orang yang ingin mereka lindungi."

"Ya... Pasti mereka juga begitu..."

Kami pun terdiam.

Sesekali kutenggak Dragon Tear yang kugenggam di tanganku.

 

"Setelah ini... Apa yang akan kau lakukan?"

"Setelah ini...? Mungkin aku akan pulang ke Arcto. Istri dan anakku pasti sudah menungguku."

Mendengar perkataanku, Owen menjatuhkan gelasnya.

 

"Hei, kau kenapa?"

Wajah Owen seperti terkejut.

 

"David... Kau belum dengar...?"

"Mendengar apa?"

 

"Arcto... Sudah hancur..."

Hah?

Ngomong apa dia?

Arcto dan Castella itu beda lho.

Kalau Castella aku tahu, kota itu sudah jatuh karena serangan Ceres.

Masa Arcto juga...?

"Kau ini ngomong apa sih. Nggak lucu tahu." Kataku sambil menyeruput minuman.

Owen berdiri.

"Sekitar seminggu yang lalu... Aku mendengar dari atasan kalau Arcto sudah jatuh... Kau... Sungguh-sungguh belum dengar...?"

Kulihat tatapannya, wajahnya terlihat tidak sedang bercanda.

"Itu... Sungguhan...?"

Owen mengangguk.

Pandanganku kosong.

Gelas yang kubawa terlepas dari genggamanku.

Tidak, aku tidak percaya.

Pasti itu hanya bohong.

Aku harus memastikannya pada Jenderal Theodore.

Aku pun bergegas lari menuju tenda beliau.

 

"Hosh... Hosh... Apa... itu... Benar... Pak...?"

Jenderal Theodore nampak masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Oh, David. Ada apa?"

Aku berjalan mendekati jenderal.

"Apa benar Arcto sudah jatuh?"

Jenderal Theodore menatapku sejenak lalu membuang mukanya.

"Ya... Itu benar..."

Tidak...

Aku tidak percaya...

Padahal perang ini sudah selesai...

Padahal tinggal sedikit lagi aku bisa bertemu dengan mereka...

Kenapa...

Kenapa ini harus terjadi...?

Ah, harus kupastikan sendiri dengan mataku.

Jarak sini dengan Arcto tidak begitu jauh.

Kalau pakai kuda pasti tidak akan terlalu lama.

Mungkin sekitar satu setengah hari?

Aku pergi meninggalkan tenda Jenderal Theodore.

"David! Mau ke mana kau!?"

Tak kudengarkan seruan beliau.

Saat ini aku hanya ingin memastikannya dengan mataku sendiri.

Aku berlari menuju kandang kuda.

Kupilih kuda yang paling sehat di situ.

"David!"

Owen memanggilku di depan kandang kuda.

"Tenangkan dirimu." Katanya.

Tenang...?

Kau suruh aku untuk tenang?

Kaupikir aku bisa tenang setelah mendengar berita itu?

"Owen, jangan menghalangiku."

"Aku tidak akan menghalangimu. Tapi tenangkan dirimu dulu."

Yang benar saja.

Istri dan anakku ada di kota itu.

Dan aku mendengar kota itu hancur.

"Owen... Kau rekanku yang terbaik di batalion ini. Tapi ini menyangkut keluargaku..."

Kutarik kerah bajunya.

"KAU PIKIR AKU BISA TENANG SETELAH MENDENGARNYA!? AKU SUDAH SANGAT MENANTIKAN SAAT-SAAT INI DAN HARAPANKU LENYAP BEGITU SAJA! DAN KAU SURUH AKU UNTUK TENANG!?"

Owen terdiam.

Kulepaskan kerahnya.

Tak ada gunanya berdebat.

Aku harus pergi sekarang.

"Aku akan ikut denganmu." Kata Owen.

"Tak ada yang bisa menjamin kau akan selamat bepergian dalam kondisi seperti ini. Aku akan mengawasimu."

"..."

Owen mengulurkan sebuah tas padaku.

Aku baru sadar ia sedari tadi menenteng dua buah tas.

Sepertinya ia memang sudah tahu aku akan pergi ke Arcto untuk memastikannya sendiri.

"Kita butuh perbekalan. Perjalanan ke sana butuh sehari lebih kalau pakai kuda."

"... Terima kasih."

Kami berdua lalu menaiki kuda masing-masing lalu pergi meninggalkan kamp.

 

...

 

Sepanjang jalan kami ke Arcto sungguh sepi.

Hanya hamparan padang rumput yang begitu luas.

Sesekali kami berhenti untuk beristirahat.

Bagaimanapun, kami berangkat saat malam hari.

Malam adalah waktu untuk beristirahat.

"Kau... Tidak ngantuk, Vid?"

"Nggak."

Yang ada di pikiranku sekarang adalah Arcto.

Aku harus sampai di sana secepatnya.

"Apa tidak sebaiknya kita tidur dulu? Aku sudah capek ini."

"Kalau kau mengeluh begitu, sebaiknya kau kembali saja. Aku bisa ke sana sendiri."

Owen menggerutu.

Yah, aku tidak bisa menyalahkannya.

Ia sama sekali tidak punya kepentingan di sana.

Ia tentu juga sudah sangat lelah.

Apalagi siang tadi kami masih bertempur dengan prajurit Ceres.

Apa sebaiknya kita beristirahat saja?

Kuhentikan laju kudaku.

"Kenapa? Kau kelupaan sesuatu?"

"Tidak. Kita istirahat dulu saja."

Owen menghela napas dengan lega.

Ia sepertinya senang dengan keputusanku untuk beristirahat.

 

"David..."

"Hmm?"

 

"Kalau kau sudah di sana, apa yang mau kau lakukan?"

"..."

Aku terdiam.

Sejujurnya aku tak tahu apa yang harus kulakukan kalau aku melihat Arcto yang sudah benar-benar hancur.

Tapi aku benar-benar ingin memastikannya.

Kalaupun Arcto memang sudah hancur, aku ingin mencari keluargaku.

Tak peduli kalau itu hanya mayat mereka yang kutemukan di sana.

"Aku ingin memastikan semuanya."

Owen hanya menghela napas berat mendengar jawabanku.

 

"Kau tahu... Ini sebenarnya keputusan yang sangat gila. Aku tidak pernah bergerak sendirian seperti ini. Yahh, aku sendiri sebenarnya juga tidak peduli kalau aku kena hukuman karena ini. Toh juga aku berniat keluar dari militer begitu perang usai."

"Aku kan tidak memintamu untuk ikut."

 

"Kau ini... Dengarkan sedikit kek keluhanku. Aku tahu kau pasti sangat khawatir kan dengan keluargamu di Arcto. Mungkin kalau aku di posisimu aku juga akan melakukan hal yang sama. Tapi beneran deh, baru kali ini aku melihatmu mengambil keputusan tanpa pikir panjang."

"... Ya memang... Aku tidak pikir panjang... Tepat seperti katamu. Tapi aku benar-benar ingin memastikan semuanya. Kalaupun aku hanya menemukan mayat mereka di Arcto, aku tidak akan menyesal."

 

"..."

"..."

Kami berdua terdiam.

"Oke deh. Aku mau tidur dulu."

"Baiklah, aku akan berjaga sampai pagi."

 

Malam ini begitu panjang.

Aku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku.

Setiap aku mulai tenang dan mengantuk, bayangan Elena dan Arthur muncul dalam pikiranku.

Dewa Naga yang pemurah...

Kumohon... Aku ingin bertemu mereka...

 

...

 

Pagi pun menjelang.

Aku sama sekali tidak bisa tidur.

Sepanjang malam aku hanya memikirkan mereka.

 

"Owen... Bangun, ayo kita lanjutkan perjalanan."

Kugoyang-goyang tubuh Owen yang tertidur begitu pulasnya.

"Mmm... Sebentar lagi..."

Susah sekali bangunnya.

Sepertinya aku harus lebih keras membangunkannya.

Kutampar berkali-kali pipinya.

"Bangun, bangun, bangun, bangun."

Owen langsung terbangun dengan ekspresi linglung.

"Haa...? Apa yang...?"

Owen melihatku dengan ekspresi cemberut.

"Selamat pagi. Ayo kita lanjut jalan."

Dengan ogah-ogahan, Owen membereskan perlengkapannya.

"Hoaahheemmm.... Bisa tidak sih kalau membangunkanku jangan dengan cara barbar seperti itu?"

"Jangan mengeluh. Kau ini kan prajurit Dragnite."

Kami pun melanjutkan perjalanan.