Sesuai dengan perkataan Bibi Valeria, aku digendong olehnya sampai pintu depan.
Pintu depan itu maksudku adalah pintu depan rumah minum.
Bocah setua ini masih digendong...
Mau ditaruh mana mukaku...
Apalagi saat aku melihat tatapan orang-orang di rumah minum.
Tatapan mereka seakan jijik campur meremehkan.
"Bi... Ini sudah sampai depan, turunkan aku."
"iya, iya. Tapi sebelumnya...!"
Bibi Valeria menggosok-gosokkan pipinya pada pipiku.
Duh bi, aku memang menggemaskan, tapi liat-liat tempat dong.
Aku jadi malu nih.
...
"Kalian mau ke mana sekarang?" Tanya Paman Pavel.
"Entahlah, mungkin untuk sementara kami akan tinggal di kota ini." Jawab ayah.
"Kami juga belum membicarakan apapun mengenai hal ini. Mungkin besok kami akan mengabari kalian mengenai tujuan kami selanjutnya." Tambah David.
"..."
Paman Fyodor hanya diam.
"Hmm... Baiklah. Besok aku akan keluar untuk mengunjungi kalian. Kalian betulan masih akan di kota ini kan? Sekalian aku juga ingin rehat sejenak. Suasananya pasti akan panas sekali di kelompok ini." Kata Bibi Valeria.
Kami pun akhirnya berpisah.
Bibi Valeria dan Paman Pavel melambaikan tangan pada kami.
Aneh juga rasanya berpisah seperti ini, padahal kita masih ada di dalam satu kota yang sama.
Kami berempat lalu pergi ke penginapan.
BRUK!
Bruk!
Bruk...!
Buk...
Elah, suara bawaanku terdengar paling ringan.
Masing-masing dari kami meletakkan barang bawaannya di kamar.
Pas sekali ada 4 ranjang pribadi.
Biasanya kalau penginapan kan sekamar ada 2 ranjang, ini 4.
Mungkin penginapan ini memang didesain untuk petualang yang berkelompok.
"Jadi, bagaimana? Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Ayah memulai pembicaraan.
Semua tampak berpikir.
Mungkin hanya aku yang tidak.
Ya mau bagaimana, aku sendiri juga bingung.
Aku tidak pernah bepergian ke manapun.
Semua juga terjadi begitu mendadak.
Tidak ada arahan, tidak ada perintah.
Wajar kan kalau aku bingung?
"Bagaimana kalau kita ke bangsawan yang pernah mempekerjakanku?"
Kali ini David yang berbicara.
Oh iya, dia pernah bekerja di bawah seorang bangsawan sebelum bergabung di 'kelompok'.
Tapi... Bangsawan?
Semua bangsawan yang pernah kutemui tidak ada yang memberikan kesan baik padaku.
Boris hampir membunuh keluargaku lalu membakar desa kami.
Eduard sikapnya menyebalkan.
"Anu pak guru... Memangnya tidak apa-apa kalau kita ke sana? Maksudku, ke tempat bangsawan."
"Hmm... Aku paham maksudmu, Andre. Tapi tenang saja, beliau orang baik. Beliau memang bangsawan, tapi sikapnya jujur dan sangat baik pada orang-orang di sekitarnya."
"Tapi... Apa benar-benar tidak apa-apa? Namaku kan sudah tersebar, sebentar lagi pasti akan beredar juga poster buronanku. Yang kukhawatirkan bisa jadi mereka malah berbalik memburu kita semua."
Ayah ada benarnya juga.
Kalau sampai si bangsawan ini tidak berpihak pada kami, nyawa kami berempat yang jadi taruhannya.
"Memang agak beresiko. Tapi kupikir itu tidak akan terjadi. Aku mengenal beliau cukup baik. Dia tidak mungkin menelantarkan kita begitu saja." Bantah David.
"David... Aku mengerti kau sangat percaya pada orang itu. Tapi mungkin coba kau pikirkan lagi. Mungkin dia bersikap baik padamu karena dia tahu kalau kau ini orang luar. Mungkin sikapnya akan berbeda kalau dia tahu kita ini siapa."
"... Ya... Kau ada benarnya juga."
Kami berempat terdiam kembali.
Tak ada satupun usulan.
Paman Fyodor ngomong sesuatu kek, dari tadi diam mulu.
"Bagaimana kalau kita ke kampung halamanku?" Celetuk Paman Fyodor.
Nah gitu dong, baru aja kubahas langsung bicara.
"Memangnya kampung halamanmu ada di mana?" Tanya ayah.
"Agak jauh sih, di Tikhaya."
Di mana pula itu.
"TIkhaya yah... Memang agak jauh sih. Bisa seminggu kalau menggunakan kereta kuda dari sini." Gumam ayah.
"Kau masih punya rumah di sana?" Tanya David.
"Tidak sih. Rumahku sudah kujual, orangtuaku juga sudah meninggal."
Lalu kenapa anda mengusulkan untuk ke sana, Paman Fyodor yang terhormat?
Kami berempat menghela napas panjang.
Masing-masing dari kami tidak ada yang punya tempat pulang.
Lesnoy sudah jadi abu.
Nggak mungkin kami berempat pergi ke Dragnite.
Satunya lagi rumahnya sudah dijual.
Mau ke mana lagi.
Kami berempat sama-sama tidak punya tujuan.
"Memangnya kalau kita tinggal di sini saja kenapa? Bukankah Sergiograd cukup aman bagi kita?"
"Sudah kubilang kan, poster buronanku pasti tidak akan lama lagi beredar karena wajahku sudah ketahuan. Akan berbahaya kalau kita tidak punya tempat persembunyian."
"Tapi, semenjak wajahmu ketahuan kan sudah sekitar setengah tahun? Kau yakin mereka bakal menyebar poster buronanmu?"
"Begini Fyodor... Memang sudah setengah tahun tak ada poster buronanku. Tapi bukankah kita lebih baik segera mencari tempat persembunyian? Kalau tiba-tiba penginapan ini digerebek saat kita masih tinggal di sini bagaimana? Sebelumnya sudah terjadi juga soalnya."
Sebelumnya... Berarti saat kami masih tinggal di Lesnoy.
Rumah kami tiba-tiba didatangi oleh Boris dan pasukannya.
Benar kata ayah, kami tidak boleh berlama-lama di sini.
"Anu... Boleh aku bicara?"
Semuanya menoleh ke arahku.
"Ngomong aja, Ndre." Kata David sambil tersenyum lebar.
"Begini... Sepertinya kita tidak punya banyak pilihan. Satu-satunya di sini yang punya kenalan baik di tempat lain hanya Pak Guru David. Bagaimana kalau kita ke sana saja? Memang beresiko, tapi kita juga belum tahu kan orangnya akan menerima atau menolak kita?"
Mendengar perkataanku, ayah terlihat berpikir.
"Hmm... Baiklah. Kita akan mengikuti usulan David. Kau benar juga Ndre, belum tentu juga dia akan menyerang kita. Tapi karena ini beresiko, kita harus ekstra hati-hati."
Semuanya manggut-manggut.
Tidak ada yang membantah perkataan ayah.
Karisma ayah memang mantap.
Sebagai anaknya aku jadi bangga.
"Kalau begitu, sudah diputuskan ya. Besok kita akan berangkat ke Plemenita. Di sana kita akan menemui mantan tuanku." Kata David.
Perkataan David menutup diskusi kami hari itu.
Selanjutnya, kami bersiap untuk istirahat di kasur masing-masing.
...
Malam pun semakin larut.
Kamar sudah gelap.
Kudengar dengkuran-dengkuran dari David dan Paman Fyodor bersahut-sahutan.
"Kau belum tidur, Ndre?"
Ayah...
Dia belum tidur rupanya.
"Aku belum ngantuk yah."
"Geser dikit boleh?"
Tanpa membalas perkataan ayah, aku menggeser badanku.
Ayah berbaring di kasurku.
"..."
"..."
Kami saling terdiam.
Aku tak tahu apa yang hendak kukatakan pada ayah.
Pada dasarnya aku juga tidak terlalu akrab dengan ayah.
Baru kali ini pula ia berbicara padaku secara intim seperti ini.
"Banyak hal yang terjadi..."
Ayah mulai berbicara.
"... Dulu ayah selalu berharap kita bertiga bisa hidup dengan tenang..."
"..."
"Tapi nampaknya tak bisa ya...?"
Ayah tertawa kecil.
Tapi nadanya seperti orang yang putus asa.
"Kau tahu kenapa ayah tidak keluar dari kelompok 'Gagak Rusidovia'?"
Gagak Rusidovia?
Itu kan nama yang kuusulkan pada Bibi Valeria.
Sepertinya ayah sudah mendengarnya.
"Ayah bilang... Ayah sulit melepaskan kawan-kawan ayah yang sudah lama berjuang bersama?"
Ayah tersenyum lembut.
"Ya... Mereka sangat bergantung pada ayah, begitupun ayah juga bergantung pada mereka."
"...Maksudnya?"
"Mereka adalah orang-orang yang sangat ayah percayai. Merekalah orang-orang yang selama ini siap mati jika itu adalah permintaan ayah."
Siap mati...?
Berlebihan ah.
"Meski demikian, ayah pun sangat bergantung pada mereka."
Iya, maksudnya apa yah.
Dari tadi aku kan menanyakan itu.
Apa aku harus mengulangi pertanyaanku?
"Kau tahu kan, banyak dari rekan-rekan ayah yang membantu keluarga kita."
Kalau dipikir-pikir iya juga.
Bibi Valeria, Paman Igor, Paman Pavel, David...
Semuanya membantu kami baik saat di Lesnoy maupun saat kami sudah meninggalkannya.
"Kalau boleh jujur... Alasan sebenarnya ayah tidak mau keluar itu adalah..."
Adalah...?
"Ayah takut."
Takut?
Ayah... takut...?
Kenapa takut...?
"Takut kenapa yah...?"
Ayah menghela napas.
"Ayah takut... Ayah tidak bisa menjaga kalian sendirian..."
...?
Kalau itu yang ayah takutkan...
Bukankah ayah juga sering meninggalkan kami karena mereka?
Bukankah akan lebih rawan bagi aku dan ibu di saat-saat seperti itu?
Apa benar hanya karena itu?
"Yah..."
"Kenapa Ndre...?"
"... Nggak jadi."
Kuurungkan niatku untuk mengatakannya.
Aku mungkin belum paham.
Kalau aku mengatakannya, bisa-bisa akan memicu pertengkaran.
Aku tidak ingin itu terjadi.
Apalagi saat ini kelompok kami sangat kecil.
Pertengkaran tidak akan menjadikan hal baik bagi kelompok kecil ini.
"...? Apa yang mau kau katakan Ndre? Katakan saja."
"Nggak yah, aku juga bingung dengan apa yang mau kukatakan tadi."
Ayah terdiam.
"... Ndre... Katakan saja. Ayah tidak akan marah."
Ah, salahku juga karena mengatakannya duluan.
Ayah jadi mendesakku seperti ini.
Tapi... Kalau kukatakan...
Apa benar ayah tidak akan marah?
"..."
Kulihat wajah ayah.
Ayah masih saja menatapku.
Senyuman yang lemah...
Seakan ia sudah siap kalau aku menyalahkan dirinya.
Aku menggeleng.
"Tidak yah, tidak penting juga kok. Aku mau tidur, ayah pindah sana."
"... Baiklah kalau begitu. Selamat malam Andre..."
"Selamat malam, yah..."
Perlahan ayah meninggalkan kasurku lalu pindah ke kasurnya.
Tak lama kemudian aku pun tertidur.