"Andre... Bangun."
Mmmm... Bentar... 10 menit lagi...
Aku ngomong apa sih, menit itu apa.
Ahhh! Gara-gara pikiran itu aku jadi bangun kan.
"Tumben kau langsung bangun."
Suara ini... Bibi... Valeria...?
Oh iya, dia bilang akan mengunjungi kami.
Kulihat sekeliling, rupanya sudah pada bangun semua.
"Sarapan dulu sana, Ndre."
David menyuruhku sarapan.
Dari keempat orang kelompok kami ini, dia sepertinya yang paling bugar.
Sepertinya ia yang bangun paling pagi.
Dengan setengah sadar aku beranjak keluar kamar.
Aku meminta makanan pada bibi penjaga penginapan.
Menu yang disajikan...
Sepotong roti dan sup...
....!!!
Oh tidak, aku tidak mau makan ini.
Aku minta ganti saja pada bibi penjaga penginapan ini.
"Bibi... Apa supnya ada yang tidak pakai telur? Aku tidak suka telur rebus."
"Heh, kau ini masih kecil sudah pilih-pilih makanan ya. Tidak ada! Makan saja yang kusediakan."
Elah... Galak amat...
Perasaan di sini aku pelanggan deh, malah dibentak gitu...
Kutatap sarapanku.
Glek...
Apa sih enaknya telur rebus?
Kenapa manusia-manusia ini pada doyan dah?
Aduh... Mana ini telurnya dicampurin ke supnya lagi...
"Hoahheemmm... Kenapa Ndre? Makananmu kok hanya diliatin gitu?"
Ayah... Kau penyelamatku...
"Anu, yah. Ini..."
Aku menunjuk beberapa potongan-potongan telur rebus di dalam supku.
Ayah sejenak nampak tidak mengerti, tapi sepertinya ia paham juga akhirnya.
"Hehehe... Bisa minta tolong yah...? Mintain sup yang nggak ada telurnya ke bibi itu..."
Yes...! Kalau ayah, pasti bibi itu langsung memberikannya.
Tapi, sepertinya rencanaku gagal total.
Ayah malah melotot ke arahku.
"Kau ini sudah sebesar ini masih pilih-pilih makanan? Habiskan semuanya!"
Tak kusangka ayah akan sedikit membentakku.
"Siap!"
Tanpa sadar aku mengucapkan itu pada ayah.
Ya ampun... Sepertinya ini efek saat berlatih dengan David.
Kalau sudah begini, aku tidak bisa lari lagi dari telur-telur itu.
Mungkin menahan napas bisa sedikit membantu.
Kutahan napasku lalu kulahap dengan cepat telur-telur itu.
Oh tidak, kuning telurnya membuat kerongkonganku seret.
Kuminum kuah supnya sebagai pengganti minum.
Oh tidak, bau amisnya masih terasa.
Aku ingin sekali muntah, tapi ayah menatapku tajam seperti itu.
Mungkin roti akan membantu.
Kumakan rotinya dengan cepat.
Seret lagi...
Ohhh Tuhaannnn, aku gak bisa napasss.
Tolonggg....!!!
"Boleh minta air?" Entah siapa yang memintanya, aku tak lihat.
Ayah menyodorkan segelas air untukku.
Kuminum air itu dengan penuh sukacita.
"HUUUAAAAHHHHH!!!!"
Lega sekali.
Terima kasih air.
Besok kalau aku menemukan sekte penyembah air, aku akan langsung bergabung.
"Pfftt.... Hahahaha!!"
Ada yang tertawa.
Baru kusadari, aku ternyata sudah menjadi pusat perhatian di penginapan itu.
Aku melihat sekitar, ternyata hampir seluruh orang di penginapan menertawaiku.
Karena malu, aku segera berdiri lalu masuk ke kamar.
Perutku jadi terasa kenyang begitu mendengar tawa dari orang-orang.
Suaranya nggak keras sih, tapi cukup untuk membuatku malu di situ.
...
Kami berempat pun siap untuk berangkat.
Semua bawaan kami sudah dimasukkan ke tas masing-masing.
Hadiah-hadiah ulangtahun dari paman-paman juga sudah kubawa.
Sepertinya tak ada yang ketinggalan.
Sebelum berangkat, kami memastikan semuanya.
Mulai dari tujuan, transportasi, perbekalan dan lain-lain.
"Oke, semua sudah beres. Ayo berangkat."
Akhirnya kami pun berangkat.
Kami keluar dari penginapan lalu menuju ke agen transportasi antar kota.
Di sana kami bertemu Bibi Valeria.
Rupanya ia diminta untuk menyiapkan transportasi untuk kami sembari kami beres-beres.
"Dari sini ke Plemenita akan memakan waktu 4 hari. Sebenarnya ini agak aneh karena kalian semua orang-orang kuat, tapi kuharap kalian sampai dengan selamat."
"Ya... Kau jaga diri baik-baik, Valeria. Titip Pavel, Igor dan yang lainnya ya." Kata ayah.
"Serahkan padaku." Kata Bibi Valeria sambil memukul dadanya.
"Sampai jumpa lagi, Valeria." Kata David.
Bibi Valeria mengangguk sambil tersenyum.
"..."
Paman Fyodor hanya mengangguk pelan.
Ngomong dikit kek, apa kemampuan bicara paman hilang kalau ada matahari?
"Bibi Valeria..."
Aku memeluknya.
Entah kapan kami akan bertemu kembali.
Yang pasti, aku akan merindukannya.
"Andre... Kau sehat-sehat ya."
Bibi Valeria mengelus kepalaku.
"Ini untuk yang terakhir."
Bibi Valeria mengangkatku seperti yang ia lakukan saat kami keluar dari rumah minum.
Ia lalu menggesek-gesekkan pipinya pada pipiku.
"Adududuhh! Pipiku panas bi!"
"Hihihihi, aku pasti akan merindukanmu, Andre!"
Setelah puas, Bibi Valeria menurunkanku.
"Lalu, ini sebagai hadiah perpisahan."
...!!
Bibi valeria mengecup keningku.
"Sampai jumpa, Andre."
Selama ini belum pernah ada yang mengecup keningku selain ibu.
Tentu saja aku kaget.
Dadaku juga kenapa sesak begini.
"Bibi..."
Bibi Valeria mendekatkan wajahnya.
"Kenapa Ndre?"
Cup...!
Kucium pipi Bibi Valeria.
"Ah!"
Bibi Valeria terkejut dan langsung menarik wajahnya yang memerah.
"Hahaha! Kalian ternyata seakrab itu ya. Baiklah, kami berangkat dulu ya Val."
"Kami berangkat, Valeria."
"..."
"Bibi Valeria dadaaaahh!!"
Kami berempat akhirnya berangkat ke Plemenita.
...
Baiklah, selama 4 hari ini kami akan berada di jalan.
Apa kami akan singgah di sebuah kota untuk beristirahat?
Atau kami akan membangun tenda di jalan?
"Seperti menjalankan misi saja ya." Ayah memulai obrolan.
"Hahaha, bedanya kita sekarang nggak akan balik ke markas." Ujar David.
"..."
Gemas sekali aku pada manusia satu ini.
Ngomong kek dari tadi.
"Paman Fyodor. Boleh aku tanya sesuatu?"
Orang yang kupanggil sedikit terkejut karena mendengar namanya disebut.
"Mmm... Kenapa?"
Oke, ternyata nggak bisu toh.
Kukira Paman Fyodor mendadak jadi bisu kalau siang.
Dia sepertinya mau berbicara kalau ditanya.
"Kenapa Paman Fyodor mau ikut? Bukannya kita nggak dekat ya?"
Mendengar pertanyaanku, mendadak ia menjadi gugup.
Memang pertanyaanku sesulit itu...?
"Aku..."
"Ah iya, aku juga penasaran."
Belum selesai Paman Fyodor berkata-kata, David sudah menyelanya.
BIarkan ia selesai bicara dulu dong.
Kasihan kan, sekarang ia malah terlihat tambah gugup.
"A... Anu... Aku..."
"Ya?"
"Aku... Ingin berterima kasih."
Berterima kasih?
Memangnya aku melakukan apa sih sampai membuatnya begitu?
"Jujur saja... Aku sudah tidak ingin berada di sana... Tapi... Aku juga takut untuk keluar... K-Kalian tahu sendiri kan kemarin perkataan pimpinan? Yang berkhianat berarti harus mati."
Ah... Aku paham.
Paman Fyodor rupanya tidak betah di sana.
Tapi takut untuk keluar.
Sedikit menjelaskan juga kenapa ia mengusulkan untuk ke kampung halamannya semalam.
Pasti ia juga rindu dengan kampung halamannya.
"Kalau begitu, besok jika kita ditolak sama tuannya pak guru, kita ke kampung halamannya Paman Fyodor saja, bagaimana?" Kataku sambil memasang senyum yang lebar.
Paman Fyodor tersenyum lemah.
"... Terima kasih..."
"Kau jangan seenaknya menentukan begitu, Ndre."
Kali ini ayah bicara lagi.
"Nanti kalau kita ditolak di sana, kita bicarakan lagi dulu. Bukannya aku nggak mau ke sana, Tikhaya itu jauh. Ya kalau perbekalan kita cukup, kalau nggak?"
Elah, bukan begitu yah.
Kesal juga mendengar perkataan ayah.
Maksudku kan cuma ingin menyenangkan Paman Fyodor.
Tahu sendiri kan kondisi dia.
"Bukan begitu yah, aku cuma ingin menyenangkan Paman Fyodor saja. Dia kelihatan muram terus dari kemarin."
"Ya tapi bukan berarti kamu bisa memutuskan semuanya sendiri begitu. Kita ini..."
"Novel, cukup. Kata-katamu bikin gerah tahu."
Ayah tidak melanjutkan kata-katanya setelah dihentikan David.
Kami berempat lalu terdiam.
David menghela napas.
"Novel, nanti saat istirahat aku ingin bicara denganmu, berdua saja."
Ayah mengangguk pelan.
Apa yang ingin dibicarakan David?