Chereads / Tegarnya Si semata Wayang / Chapter 21 - Bab 20 Kembali Ke pengaturan Awal

Chapter 21 - Bab 20 Kembali Ke pengaturan Awal

Kepulangannya kali ini tidak disambut oleh siapapun didalam rumahnya. Sesampainya dihalaman rumah, motor kemudian dia parkirkan dan dia diantar masuk oleh om syam. Setelah om syam mengucap salam, nampaklah dari tirai pintu ibu dan bapaknya keluar. Lalu om syam dipersilahkan masuk dan duduk, kemudian om syam menyuruh dia untuk segera masuk dan duduk bersama mereka semua. Kaki kanannya melangkah masuk melewati pintu rumah dibarengi dengan kaki sebelah kirinya, belum cukup dilangkah ke tiga tiba-tiba langkahnya terhenti.

"mana kunci motor dan handphonemu?, kasih semuanya ke ibu", ujar ibunya

belum juga keluar sepatah kata dari mulutnya, tiba-tiba dihentikan oleh sikap dingin sang bapak. Dia hanya mengeluarkan barang-barang yang orang tuanya minta.

"masuk kamu ke kamar!", ucap bapaknya

Dia lalu masuk menuju kamar dan mengunci pintunya. Perlakuan yang sama diterimanya lagi, dia selalu berpikir bahwa kepergiannya bisa membuat orang tuanya rindu atau bahkan berubah lembut. Tapi tidak, selalu sama. Selalu kembali ke pengaturan awal. Sekitar 30 menit orang tuanya berbincang dengan om syam, lalu om syam pun pamit untuk pulang. Seketika itu suasana rumah dia rasakan menjadi mencekam setelah kepulangan om syam. Perasaannya sudah tidak karuan, entah apa yang akan orang tuanya lakukan, pikirnya.

Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya diketuk. Tanpa bertanya siapa yang ada dibalik pintu itu, dia langsung membuka pintu. Nampak kedua orang tuanya memasuki kamarnya dan memanggilnya.

"sini kamu", panggil sang ibu. Dia lalu mendekat sambil menundukkan wajahnya

"mulai besok, bapak yang antar kamu kesekolah. Kamu tidak usah naik motor lagi, terus hp mu bapak sita. Selama kamu tidak menunjukkan sikap patuhmu terhadap orang tua, jangan harap kamu akan memakai semua yang orang tuamu beri", ujar bapaknya

Dia hanya diam tak bisa berkata, karena merasa bahwa dirinya juga bersalah. Namun ada ego yang tak mau kalah juga, karena merasa orang tuanya punya andil yang sangat besar atas sikapnya seperti ini. Hanya saja untuk saat ini dia tak bisa membantah.

Orang tuanya lalu keluar dan menutup pintu kamarnya, lalu tetap membiarkannya menyendiri tanpa sebuah penyelesaian, hanya keputusan sepihak tanpa memperhatikan pendapat dan perasaan seperti apa yang anaknya ingin sampaikan.

"aku terbelenggu dalam jerat aturan sepihak yang kalian terapkan..

aku terdiam dalam kegelisahan hati yang tak ada pendengarnya...

aku.. akulah orang yang tak tahu menentukan jalan hidupku. Disaat aku sedang mencari sebuah jati diri, tak ada yang memegang tanganku menuju jalan itu.

Dua jalan dan dua konsekuensi, Jalan baik atau jalan buruk.

Tapi tak ku temukan solusi dan alasan dari kedua jalan itu..

Bila aku dilarang, katakan mengapa. Akupun butuh penjelasan agar aku paham, namun itu yang tak kalian pahami. Kalian hanya ingin aku paham akan perintah kalian, tapi tak mau menyebutkan alasannya bagaimana dan tak ingin memahami bagaimana keadaanku disini.

Salahkah bila aku pergi mencari orang yang dapat memahami keadaanku?!

Salahkan bila aku pergi ke tempat yang bisa membuatku nyaman?

Karena sungguh, Aku tak mendapatkan itu disini bu... pak.

Aku merasa sendiri, aku merasa terasing. Keadaan ini selalu membuatku berhenti untuk berpikir, pikiranku buntu karena tak ada respon balik dari kalian. Seakan berjalan sendiri tanpa penopang, ya di titik terendahku ini aku malah kalian abaikan. Kadang aku berpikir ingin ku akhiri saja hidup ini, agar aku tak menjadi beban kalian. Karena sesungguhnya kalian tak menginginkanku, seandainya benar kalian menginginkan ku tak akan mungkin kalian membiarkanku sendiri begini. Aku bosan dengan hidupku pak, aku bosan dengan sikap dinginmu bu", tulisnya dalam secarik kertas sembari berlinang air mata menahan tangisnya.

Selalu dalam kondisi yang sama, dia tertidur didalam tangis dan sakit hatinya. Yang saat esoknya dia terbangun, dia harus belajar melupakan sakit itu dan mencoba tersenyum. Padahal otak merekam tiap jejak kepedihannya, dan hati harus menyimpan getirnya keadaan.

Pagi ini dia diantar kesekolah oleh sang bapak dengan mengendarai mobil. Untuk kali pertama dia diantar, tapi hal ini membuatnya sangat tidak nyaman karena nampak mencolok. Sedangkan dia tidak suka dengan hal-hal yang terlalu diperhatikan oleh orang ramai. Tapi apa mau dikata, sudah skenario dari orang tuanya dan dia harus jalani dan patuhi. Setelah turun dari mobil, kemudian bapaknya berlalu meninggalkan dia didepan pintu gerbang sekolahnya. Keadaan sudah tak sama seperti dulu, dia seorang anak yang sangat bersemangat untuk bersekolah kini menjadi anak yang pemurung dan tidak punya semangat bila orang tuanya menyuruhnya untuk bersekolah. Hanya saja dia harus terus lakukan hal itu karena bila dia tidak bersekolah dia hanya akan berada dirumah terus tak bisa kemana-mana dan hanya bisa mendengar omelan orang tuanya yang lebih membuatnya tidak tenang.

Pada saat jam sekolah telah usai, dia kembali dijemput oleh sang ayah untuk pulang. Dan seminggu telah berlalu dengan berlakunya aturan orang tuanya yang harus dia patuhi. Di hari ke delapan, seperti biasa sang ayah mengantar kesekolah lalu meninggalkannya di depan pintu gerbang sekolah. Dan pada saat jam pelajaran sekolah telah berakhir, hari ini dia berjalan kaki menuju rumahnya tanpa dijemput seperti biasa oleh sang bapak. Dia berjalan kaki perlahan seraya menunggu jemputan bapaknya, namun nampaknya hari ini jemputan itu tak ia dapatkan sampai tibanya dia di depan rumahnya.

Cukup lama dia terduduk didepan terasnya setibanya dia dari sekolah. Sepertinya dia sedang beristirahat sejenak karena berjalan untuk pertama kalinya lagi setelah selama ini terbiasa dengan mengendarai motor. Setelah perasaannya enakan, dia lalu masuk ke dalam rumahnya dan segera menuju ke kamarnya. Beberapa menit kemudian pintu diketuk dan dibuka oleh sang bapak.

"mulai besok kamu jalan kaki pulang sekolah, bapak hanya antar kamu saat pagi saja", ujar sang bapak

"iya", jawabnya singkat

Lalu pintu di tutup rapat dan dia hanya bisa berbincang dengan perasaannya saja...

"saya juga tidak minta semua itu, kalian aja yang memberi. Lagipula kalau ada kesalahan yang saya buat pasti ujung-ujungnya barang-barang itu yang kalian sita. Seolah-olah saya yang mengharapkan barang-barang itu dan kalian ingin saya merengek minta barang-barang itu kembali dan kalian akan mengajukan persyaratan-persyaratan yang bisa menguntungkan kalian. Tidak pak, bu... Jangan kira saya akan mengemis hanya karena barang seperti itu, harga diri saya tidak murah karena barang-barang mewah itu".

Dia kemudian tertidur pulas membawa sejuta perasaan yang sekian banyak orang tidak akan pernah merasakannya. Seorang anak kandung tapi seperti anak tiri, dibeda-bedakan dengan saudara-saudaranya yang lain, dibanding-bandingkan dengan anak-anak orang lain. Seakan dia adalah anak yang tidak bisa apa-apa, hanya bisa menyusahkan. Mereka tak tahu bahwa hidup dan perubahan butuh proses, tak ada yang instan. Yang instan itu hanya MIE kemasan. Entah mereka yang tak sabar dalam mendidik atau memang dasar Dyah yang tak ingin patuh. Hanya pembaca yang bisa menilai dengan memberikan comment dan review kalian.