Decakan kecil keluar dari bibir Rubi saat pikiran dan hatinya sedang tidak sinkron. Ia teringat dengan sikap Anti yang kelihatan begitu dingin. Sengaja dia juga tidak bertanya pada Jaya apakah wanita itu jadi memakan bubur buatannya atau tidak. Rubi memutuskan untuk merebahkan tubuh di atas kasur. Tampak seorang pria duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Sayang. Kenapa kau kelihatan aneh?" tangan Jaya sambil mengusap lembut puncak kepala sang istri.
Sudah sore, Rubi bahkan belum mempersiapkan hidangan untuk makan malam suaminya. Rubi memang sosok yang tidak enakan dan terlampau over thinking. Sehingga apapun yang tak sesuai dengan hatinya, pasti akan terbawa-bawa sampai membuatnya tidak mood untuk melakukan aktivitas lain.
"Aku baik-baik saja," Rubi memilih untuk tidak bertanya pada Jaya. Padahal batinnya meronta-ronta ingin mengetahui penyebab apa yang membuat Mama mertuanya kelihatan begitu cuek.
Sejak awal pertemuannya dengan Rubi, perempuan setengah abad itu memang tak banyak bicara. Ia kerap menampilkan ekspresi datar yang tidak diketahui apa maknanya. Rubi tetap merasa asing meskipun sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Kusumo. Dia pun masih ingat betul waktu itu Anti sampai meneteskan air mata karena putra satu-satunya memilih untuk mengambil Rubi sebagai istri. Menangis karena bahagia kalau anaknya akan segera menikah, atau menangis karena tidak senang jika anaknya berjodoh dengan gadis madesu seperti Rubi. Entahlah, pertanyaan itu belum mampu terpecahkan hingga saat ini.
Jaya merubah posisinya memunggungi Rubi, berjongkok kemudian menepuk-nepuk badan belakangnya di hadapan wanita itu. Rubi menubrukkan sepasang alis, memandangi tingkah suaminya yang mendadak aneh. Tidak tahu apa maksudnya.
"Ayo, naik. Mas akan mengajakmu berkeliling rumah dengan jet pribadi," ucap Jaya.
"Hahaha. Apa kau sudah tidak waras, Mas?"
Wanita itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan setelah mendengar penuturan Jaya. Netranya membidik punggung belakang Jaya yang terbungkus dengan kaos putih.
"Apa aku harus naik sekarang?" tanya Rubi meyakinkan. Seketika cemasnya perlahan pudar.
"Let's go Tuan Putri,"
Hap!
Rubi berpegangan erat di bahu suaminya. Sedangkan pria itu sebisa mungkin menahan bokong Rubi dengan lengan kokohnya agar tidak terpental ke belakang.
"Berpeganganlah yang kuat!" teriak Jaya dan langsung membuka pintu kamar.
Tak ubah seperti seorang ayah yang sedang bermain dengan anak kecilnya. Jaya menggendong Rubi di punggung kemudian berlari sekencang mungkin mengitari seisi rumah. Keduanya benar-benar menikmati adegan naik jet KW tersebut. Sesekali Rubi tersedak saking asyiknya tergelak. Mulutnya tiada henti ternganga.
"Ah, Mas terlalu kencang. Aku bisa jatuh kalau begini," seru Rubi seraya mencengkram erat bahu sang suami.
Jaya mengangguk kemudian memperlambat gerakannya. Napasnya terengah-engah. Siapa sangka Rubi lumayan berat.
Cukup sekadar bersendagurau dengan suami mampu menghilangkan kegundahan hati Rubi. Sesungguhnya Jaya tahu bahwa istrinya sedang memikirkan peristiwa bersama Mamanya tadi. Karenanya, sebisa mungkin Jaya berusaha menghibur Rubi agar perempuan itu lupa akan kegelisahan dan deretan pertanyaan yang bersemayam dalam kepala.
***
Malamnya, terpaksa Jaya dan Rubi menikmati masakan dari asisten rumah tangga mereka. Saking asyiknya bermain sampai membuat sepasang pengantin baru itu lelah lalu ketiduran. Sebenarnya Rubi sudah bertekad bahwa suaminya harus memakan masakannya meskipun di rumah mereka ada pembantu. Namun apa boleh buat? Lebih baik menyantap hasil masakan orang lain daripada membiarkan cacing dalam perut bernyanyi-nyanyi.
"Dua hari lagi kita akan ke Paris. Malam ini aku meminta agar asisten pribadiku menyiapkan segala keperluan kita selama di sana termasuk tiket pesawat," suara Jaya terdengar lantang. Tatapannya menyiratkan keseriusan.
Hanya ucapan terima kasih dan rasa syukur yang saat ini dapat dihaturkan dari Rubi untuk Sang Maha Kuasa. Tidak pernah penjual cilok keliling seperti dirinya menyangka bahwa keinginan untuk mengunjungi Negara luar akan terwujud. Benar-benar suatu keberuntungan dapat menikah dengan pria baik nan kaya seperti Jaya. Namun biar pun begitu, Rubi tidak pernah berniat hanya mengincar harta dalam ikatan suci mereka. Rubi mencintai Jaya semenjak Hardi memperkenalkan keduanya. Ia memandang bahwa Jaya merupakan sosok pria bertanggung jawab dan begitu peduli dengan keluarga.
"Apa Mas tidak bekerja?"
"Ha? Coba katakan sekali lagi,"
"Apa Mas tidak bekerja?" Rubi mengulang pertanyaan.
"Hahaha. Apa kau lupa bahwa suamimu ini pemilik perusahaan itu, hem? Tadinya Mas ingin bekerja, tapi akan lebih baik jika Mas menikmati daging empuk terlebih dahulu," ucapan Jaya membuat sepasang mata Rubi membulat kunci.
"Apa maksudnya? Aku tidak mengerti." Dengan geram Rubi menubrukkan tangannya di atas meja.
"Hahaha, tidak-tidak. Ya sudah, ayo lanjut lagi,"
Jaya menggelengkan kepala berulang kali. Istrinya itu benar-benar lucu. Entah memang tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu.
***
Jam membidik angka sebelas tepat saat keduanya sudah bersemayam kembali di atas ranjang. Pria berhidung mancung itu merengkuh tubuh mungil istrinya dari belakang. Rubi mulai memusnahkan rasa canggung. Memang sudah sepantasnya suami istri melakukan hal tersebut menjelang tidur.
"Mas. Apa Mas ingin mendengarkan ceritaku?" tiba-tiba Rubi teringat akan sesuatu.
Jaya berdehem sambil mengeratkan pelukannya. Jangankan untuk mendengarkan cerita, bahkan apapun yang diminta Rubi pasti akan ia turuti, selagi hal itu baik untuk mereka berdua.
"Dulu mendiang Ayah dan Bundaku pernah menuliskan di sebuah kertas tentang apa yang mereka inginkan dalam pernikahan. Mereka berjanji akan membuka lembaran putih itu setelah pernikahannya menginjak usia 17 tahun," Rubi mulai bercerita.
"Setelah waktu yang ditentukan tiba, keduanya sama-sama membuka kertas tersebut. Dan, apakah Mas tahu isinya apa?" tanya Rubi lalu memutar kepala ke belakang.
"Apa?"
"Rupanya Ayah dan Bundaku menginginkan agar pernikahan mereka dapat berjalan sehidup dan semati," kenangan saat sang bunda bercerita perihal hubungannya dengan sang ayah kembali terulang.
"Entah kenapa keduanya bisa menuliskan sebuah keinginan yang sama. Mungkin Tuhan memang sudah berkehendak kalau Ayah dan Bundaku akan menjalani pernikahannya sehidup dan semati. Mas tahu? Enam bulan setelah itu, mereka mengalami kecelakaan dan menyebabkan keduanya dilarikan ke rumah sakit. Awalnya, Ayahku dulu yang meninggal. Kukira Bunda akan selamat mengingat kondisinya tidak sepelik ayah. Rupanya rencana Tuhan memang tak bisa dilawan. Akhirnya Bunda wafat menyusul Ayah sesaat setelah menceritakan bahwa mereka pernah menuliskan keinginan bersama di sebuah kertas,"
Indera pengelihatan milik Rubi sukses memproduksi cairan asin. Kehidupannya berubah drastis sepeninggal kedua orang tuanya. Album saat kedua insan itu bekerja keras demi menghidupi anak mereka tak pernah usang. Berlarian dalam kepala. Rubi kerap membayangkan betapa bahagianya ia jika orang tuanya masih ada.
"Lalu bagaimana kau menghidupi diri sepeninggal Ayah dan Bundamu, Sayang?" tanya Jaya yang ingin lebih mengetahui seluk beluk kehidupan istrinya.
***
Bersambung