Sebelum memberitahu pada tuan besarnya, ada baiknya Mbok Ijah membawa Rubi ke rumah sakit terlebih dahulu. Perempuan tua itu beranjak menuju lemari dan meraih sebuah piama lalu dengan susah payah mengenakannya pada tubuh Rubi. Ia juga memanggil supir guna memboyong dara tersebut untuk dimasukkan ke dalam mobil. Mustahil Mbok Ijah dapat mengangkat manusia meskipun beratnya tidak sampai 50kg.
"Kenapa bisa begini?" tanya pria yang berprofesi sebagai supir pribadi itu seraya menggendong tubuh Rubi ala bridal style.
"Mbok juga nda tahu, tiba-tiba aja nemuin Non Rubi sudah pingsan di kamar mandi,"
Mbok Ijah menatap Rubi dengan pandangan penuh iba. Entah bagaimana tanggapan Jaya saat tahu bahwa istrinya pingsan dengan keadaan tanpa busana di toilet.
***
"Bagaimana mall yang baru kamu bangun di kota tetangga itu, Nak?"
Anti bahagia karena putranya memilih untuk bermalam di rumah mereka dan membiarkan istrinya tidur sendirian di tempat lain. Saat ini ibu dan anak itu sedang menikmati pemandangan malam dari balik jendela kamar Anti. Tak lupa ia mengenakan selimut tebal agar hawa dingin tidak sampai menembus tulangnya.
Jaya menjepit dagu dengan jari telunjuk dan jempolnya. Entah kenapa pikirannya sedari tadi berlabuh pada sang istri. Sejenak ia menatap Mamanya yang kelihatan lumayan sehat. Jaya tidak tahu atas dasar apa dia meminta Melani untuk menyuruh Jaya pulang dari Prancis dan bermalam di sini.
"Semuanya berjalan baik, Ma," jawab Jaya irit bicara.
Pemilik belasan mall yang ada di Negara tempat tinggalnya itu sama sekali tidak tertarik untuk membahas perihal bisnis. Kepalanya hanya diisi oleh bayang-bayang Rubi.
Tring tring tring…
Nama Mbok Ijah mendadak muncul di layar ponsel.
Jaya terkesiap melihat benda pipihnya yang baru saja berdering panjang. Gegas ia menjawab panggilan tersebut. Tak lupa pandangan sang Mama selalu mengikuti ke mana anaknya bergerak.
"Halo, Mbok. Ada apa?" Jaya beranjak dari duduknya di sisi ranjang.
"Anu Den, eum-" wanita lanjut usia itu pun tidak tahu harus mulai dari mana.
"Kenapa? Bicara yang jelas," balas Jaya dengan nada naik satu oktaf.
"Non Rubi pingsan di kamar mandi dan sekarang kami sedang berada di rumah sakit,"
"APA?"
Pria berhidung mancung itu menautkan sepasang alis. Ia menatap dinding kamar yang dipenuhi dengan lukisan bunga tanpa kedip. Jaya menarik udara dengan berat. Pantas saja ia tidak tenang dan selalu kepikiran Rubi. Rupanya telah terjadi sesuatu dengan tajuk hatinya itu.
"Kenapa bisa?" Jaya kembali melaungkan suara, membuat Mbok Ijah kian ketakutan.
"Saya nda tau, tiba-tiba saja Non Rubi sudah pingsan di toilet. Aden ke sini saja, nanti saya ceritakan lebih detail. Untuk alamatnya nanti biar dikirim sama supir," was-was dengan tuannya, akhirnya Mbok Ijah memilih untuk mematikan sambungan telepon dan gegas menyuruh sang supir untuk mengirimkan alamat rumah sakit berserta ruangannya sekaligus.
Jaya mendesah berat. Mamanya memperhatikan intens sedari tadi. Menyesal sekali rasanya sudah membiarkan dara itu seorang diri di rumah.
"Ada apa, Nak?" tanya Anti yang kelihatannya sangat penasaran.
"Rubi pingsan di kamar mandi dan aku harus segera menjenguknya, Ma," Jaya bergegas keluar kamar Mamanya.
Anti merupakan makhluk keras kepala yang akan berontak apabila keinginannya tidak diindahkan. Sebelum putranya benar-benar menghilang dari ambang pintu, ia melaungkan suara yang membuat Jaya seketika memberhentikan langkah.
"Tunggu! Jangan tinggalkan Mama. Kau tahu Melani sedang tidak di rumah, bukan?" Anti memanfaatkan ketidakberadaan putrinya untuk situasi ini.
Jaya yang mendengar perintah sang Mama langsung menepuk jidat. Benar-benar egois. Apa Mamanya tidak tahu kalau Rubi sedang membutuhkan Jaya di sana? Lagipula Jaya juga belum tahu bagaimana keadaan pasti sang istri.
"Sekarang juga aku akan menghubungi Melani untuk pulang ke rumah," ujar Jaya sambil mendial kontak adiknya.
"Tapi Mama maunya cuma sama kamu," ucap Anti dengan nada lirih yang masih dapat didengar oleh Jaya.
"Aku bukannya lebih memilih istri daripada Mamaku sendiri, tapi Rubi memang lebih membutuhkan keberadaanku saat ini,"
Tanpa ingin tahu respon selanjutnya dari Anti, Jaya langsung menghubungi Melani. Ia meminta adiknya yang tukang keluyuran itu untuk segera pulang ke rumah. Tak lupa ia juga mengabarkan penyebab apa yang menjadikannya harus bergegas pergi.
"Sebentar lagi Melani akan pulang. Aku pergi dulu ya, Ma. Baik-baik di sini,"
Saat punggung Jaya perlahan menghilang sesudah menutup pintu, kekesalan menghampiri Anti. Ia mengerang geram. Begitu kesal dengan menantunya yang kini telah berhasil merebut perhatian Jaya.
"Awas kau Rubi!" Anti mengepalkan kedua tangan.
***
Sedangkan di tempat lain, seorang hawa yang menjadi objek penyesalan bagi suaminya sendiri sedang terbaring lemah. Hingga sampai saat ini dia belum juga sadarkan diri. Di sisi kirinya tampak wajah Mbok Ijah yang semakin ketat. Begitu khawatir kalau yang disalahkan dalam hal ini adalah dirinya. Padahal, Mbok Ijah adalah sosok yang seharusnya diapresiasi karena telah menemukan Rubi pingsan di toilet. Kalau tidak, entah bagaimana nasib dara bertubuh pendek itu saat ini.
Cit…
"Bagaimana dia bisa pingsan?"
Deg!
Saat pintu mendadak terbuka dan menampakkan sosok yang ditakuti, jantung Mbok Ijah spontan menjelma menjadi pocong. Berlompat-lompat ria. Ia langsung membangkitkan tubuh dari kursi sisi brankar. Wajahnya menunduk menatap lantai ruangan.
Bisa-bisanya Jaya masuk tanpa permisi. Tidak sopan!
"Sa- saya menemukan Non Rubi tergeletak di toilet, Den," Mbok Ijah memulai cerita.
Kemudian perempuan itu memberitahu awal bagaimana kejadian yang sesungguhnya. Mulai dari ia berkeliling rumah mencari keberadaan Rubi, hingga menemukan perempuan itu tak sadarkan diri dalam toilet tanpa sehelai kain pun yang menempel di tubuh.
Jaya begitu shock sekaligus iba dengan musibah yang sedang terjadi pada istrinya. Ingin sekali ia mencaritahu penyebab pingsannya Rubi. Sialnya wanita itu tak kunjung siuman juga.
"Ma- maafkan saya, Den," lirih Mbok Ijah sambil memainkan ujung pakaiannya.
"Tidak usah minta maaf. Mbok Ijah tidak salah. Kalau mau pulang, pulang saja! Supir ada di ruang tunggu pasien," Jaya berjalan mendekati istrinya.
Hugh…
Mbok Ijah menghela napas lega. Untung saja dia tidak terkena imbasnya. Cepat-cepat Mbok Ijah keluar kamar sesaat setelah berpamitan pada Jaya. Ia tidak mau berada di sisi orang yang sedang tidak stabil emosinya. Takut jadi pelampiasan.
Sebuah pernikahan yang dilandasi dengan rasa cinta akan berusaha untuk menemukan titik kebahagiaan. Apapun dan bagaimanapun rintangan yang ada, pasti seseorang itu enggan putus asa apalagi sampai memilih untuk menyerah. Yang ada dalam benak adalah bagaimana agar pasangannya selalu bahagia.
Jaya memandangi wajah lesu sang istri yang kini tengah terbujur di brankar pasien. Baru saja menikah, namun sudah banyak sekali kesedihan yang menimpa batinnya. Mulai dari Mama dan adiknya yang tidak merestui hubungan mereka, hingga ia yang harus melihat Rubi menderita saat ini.
Tak ada yang dapat dilakukan Jaya selain mengusap lembut punggung tangan sang istri seraya melafalkan do'a-do'a untuk kesembuhannya. Jaya menyesal, sangat menyesal. Andai saja ia tidak membiarkan Rubi sendirian di rumah, pasti lah semua ini tak akan terjadi.
Laki-laki itu sampai meneteskan air mata, meratapi keadaan Rubi yang belum kunjung stabil.
"Bertahan ya, Sayang," lirihnya dalam hati lalu mengecup dahi Rubi.
***
Bersambung