Bab 4.
Tak terasa sudah sampai di depan cafe. Lokasinya tidak jauh dari pusat kota. yang menyajikan nuansa alam nan indah, sangat cocok untuk pasangan yang ingin memadu kasih. Tulisannya "Cafe Cinta" lengkap dengan live musik nya.
Setelah membukakan pintu mobil, aku dan mas Harry jalan beriringan.
Kami memilih duduk di bagian luar, agar bisa menikmati tanaman yang tumbuh indah.
Duhhh ... terasa sangat romantis deh,
batinku.
Pelayan cafe mempersilakan kami duduk, dan menanyakan pesanan.
"Hendak pesan apa Bapak, Ibu?' tanya
Pelayan dengan sopan.
"Mey, kamu hendak pesan apa?" tanya mas Harry
"Aku paling suka nasi ayam pecak dan minumnya orange juice," jawabku.
"Mbak, pesanannya di samakan saja ya, masing-masing dua porsi," pinta Mas Harry.
Lalu pelayan mencatat pesanan kami.
"Mohon di tunggu pesanannya ya Pak!"
ucap pelayan sambil berlalu.
"Mey, kamu tidak malu kan jalan dengan saya, masih pantas kan?" tanya mas Harry sambil menatapku lembut.
"Kenapa harus malu, Mas masih keliatan muda koq, rasa masih seumuran ini," candaku.
"Terima kasih ya Mey, sudah menerima status saya dengan dua anak," ucap Mas Harry sambil mengenggam tanganku.
"Santai saja, aku mengerti koq.
Yang penting mas tetap sopan, tidak macam-macam dengan aku. Sampai tiba saat kita menikah nanti. Dan satu lagi, Mas harus tetap lembut jangan pernah kasar ke aku. Tetap seperti sekarang ini dan untuk selamanya," pintaku sambil membalas tatapan matanya.
Lima belas menit kemudian, pesanan pun datang.
"Silakan di nikmati hidangannya, Bapak, Ibu," pelayan mempersilakan dengan hormat.
"Terima kasih Mbak," sahutku.
Kami pun makan dengan lahap. Kelihatan Mas Harry sedang lapar, karena selesai bekerja, pulang sebentar lalu menjemput ku.
Mas Harry melihat ke arahku sambil berkata:
"Maaf Mey, ada sisa makanan di ujung bibirmu!" lalu ia mengambil tisu dan menghapus sisa itu di bibir ku.
Mata kami saling bertatapan, rasa deg-degan ini begitu nyata. Sikap nya membuatku merasa di hargai sebagai wanita. Seolah ia bisa membaca isi hatiku. Mungkin sudah berpengalaman lebih dahulu di bandingkan aku.
Selesai makan ...
Kami melanjutkan pembicaraan, terasa angin sore berhembus ringan.
Semakin menambah suasana romantis.
"Mey, kenapa sikap kamu begitu tenang, ketika keluarga saya datang untuk membicarakan perjodohan kita?" tanyanya.
Aku terdiam, lalu menarik nafas pelan.
"Sebelum kita bertemu, aku sudah berdoa, semoga lelaki yang di jodohkan orangtua ini, terbaik untuk masa depanku. Rido Allah tergantung ridonya orangtua, Mas!" Itu yang ku yakini sejak dulu," jelas ku.
"Meskipun jodoh itu duda beranak dua," tanya mas Harry lagi.
"Itu hanya status Mas, di mata Allah kita semua sama. Yang membedakan hanyalah ibadahnya," jawabku mantap.
"Mas salut sama kamu Mey, wanita seumur mu ini, biasanya lagi senang main, nongkrong sama teman. Bukan memikirkan pernikahan dan persoalan orangtua," puji nya.
Derrrt ... Derrrt.
Hape Mas Harry bergetar.
"Maaf Mey, Mas angkat telepon dulu ya!" Ia bergeser sedikit dari duduknya.
Lalu berbicara dengan nada sedikit kesal dan kaku. Aku pura-pura tidak memperhatikannya. Setelah lima menit kemudian, ia kembali duduk di sebelahku.
Tanpa menunggu aku bertanya, Mas Harry menjelaskan dengan nada kesal.
Sejak berpisah lima tahun yang lalu, Ia dan mantan istrinya sudah sepakat, kalau week end saja anak-anak bersama mamanya. Selebihnya bersama mas Harry, karena hak asuh jatuh ke tangannya.
Ia menyewa dua orang jasa pembantu, untuk mengurus rumah dan mengasuh anaknya.
"Setiap anak-anak pulang dari rumah Mamanya, mereka malas di suruh belajar. Kalau di tanyain nada bicaranya suka ketus," jelas Mas Harry dengan nada kesal.
"Mungkin mereka tahu, kalau Papanya hendak menikah lagi, ada rasa takut bakalan punya ibu tiri," jawabku menyimpulkan.
"Lagi pula mamanya juga sudah menikah lagi dan punya anak. Beda dengan saya yang lebih memilih sendiri. Takut terulang lagi, makanya berhati-hati dalam memilih pasangan," jelas Mas Harry sambil menatapku dan menggenggam tangan ini.
"Mas, kita merasakan hal yang sama.
Sama-sama di kecewakan pasangan. Cuma bedanya aku belum menikah,"
ucapku sambil membalas genggaman tangannya.
Lama kami saling bertatapan, mata ini terasa hangat dan berkaca-kaca.
Mas Harry mengusap mataku yang mulai berair.
"Kenapa kamu jadi tertawa sih Mey?" ledek Mas Harry mencairkan suasana.
"Aihh ... Mas Harry ini, membuat aku jadi baper lah. Sudah ahh, yuk kita pulang, sudah hampir Magrib ini!" ajakku.
Setelah membayar semua pesanan, kami pun pulang. Jalanan pun mulai macet karena jam nya orang pulang kerja.
*******
Pagi ini terasa begitu hangat. Matahari mulai tampak bersinar malu-malu di ufuk timur. Kicauan burung saling bersahutan. Sisa embun tadi malam masih kelihatan menempel di daun. Dan hari ini adalah hari yang paling aku tunggu selama empat tahun.
Karena pagi ini akan di gelar acara wisuda di kampusku. Acara akan di hadiri oleh kedua orangtua dan Kiki adikku. Sebagai tamu undangan, kami harus berpakaian rapi. Papa dan Kiki memakai seragam batik di padu dengan celana bahan warna hitam. Mama dan aku memakai seragam kebaya di padu dengan rok batik. Berhias ke salon dengan make up yang natural. Yang penting harus tampil beda lah.
Dengan menumpangi taksi online, kami pun berangkat menuju gedung serba guna yang terletak di sebelah kampus.
Derrrt ... Derrrt.
Hapeku bergetar. Aku raih tas untuk mengambil hape. kelihatan tulisan Mas Harry memanggil.
["Assalamualaikum Mas, Lagi dimana?"]
["Waalaikumsalam Mey, Mas masih di kantor nih, jam berapa acara wisudanya di mulai?"]
[Jam sembilan, Mas."]
[Oh begitu, bentar lagi Mas menyusul kesana ya."]
[Iya Mas."]
Sambil mengucapkan salam hape pun ku matikan.
Sesampainya di gedung wisuda, tamu undangan sudah mulai ramai.
Ku antarkan orangtua dan adikku di barisan kursi yang khusus di sediakan untuk keluarga. Kemudian aku bergabung di barisan peserta wisuda. Ku cari Farah sahabatku, kenapa belum kelihatan ya. Dari kemaren pun tidak ada ku dengar kabarnya. Aku coba menghubungi nomor hapenya, tapi tidak ada jawaban.
Acara pembukaan wisuda akan segera di mulai. Para undangan di persilakan berdiri, untuk menyanyikan lagu kebangsaan yaitu Indonesia Raya. Selesai menyanyikan lagu tersebut, para undangan di persilakan duduk kembali. Di lanjutkan dengan kata sambutan oleh Rektor,Dekan,Dosen dan perwakilan mahasiswa.
Setelah menunggu dua jam, sampailah ke acara puncak. Ini yang paling di tunggu oleh semua mahasiswa.
Acara memakai kan selempang dan menyematkan tali toga.
Ku lirik ke kursi tamu, orangtua dan adikku masih terlihat duduk dengan tenang, sambil sesekali menyunggingkan senyum ke arah ku.
Gedung ini terasa nyaman karena di lengkapi dengan suhu pendingin ruangan.
Satu persatu nama mahasiswa di panggil ke depan beserta orangtua untuk mendampingi anaknya.
Aku buka hape, belum ada telepon atau chat dari Mas Harry. Mungkin masih sibuk, karena masih pagi tidak bisa meninggalkan pekerjaan, pikirku.
Seperti merasa ada yang hilang bila tak melihat dan mendengar suaranya.
Tibalah nomor urut dan namaku di panggil ....
"Meysa Andini beserta orangtua di persilakan dengan segala hormat untuk maju ke podium."
Aku langsung berjalan menuju podium, dan orangtuaku mengikuti dari belakang. Terlihat wajah bahagia terpancar di mata Papa dan Mama. Sedangkan adikku Kiki duduk menunggu di kursi tamu undangan.
Setelah penyematan tali toga, kami pun di persilakan duduk kembali.
Dan terlihat dari kejauhan sosok lelaki yang ku tunggu dari tadi. Ia sudah duduk di sebelah adikku. Lengkaplah sudah kebahagian ku hari ini. Tanpa sengaja kami saling bertatapan. Mas Harry seakan kagum melihatku memakai topi toga dan berhias tampil beda dari biasanya.
Bersambung ....