Setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit, kesehatan Papa pun mulai pulih. Aku belum bisa menjawab tentang rencana perjodohan itu. Di sisi lain aku butuh biaya untuk adikku dan kuliah semester akhir ini. Belum lagi hutang Papa sudah jatuh tempo.
Aku melaksanakan salat istiharah selama tiga hari berturut-turut.
"Ya Allah ... aku iklas. Semoga pilihan orangtua ku ini, adalah terbaik untukku dan keluarga," doaku di hati.
Saat makan malam tiba, kami berempat yaitu Papa, Mama, aku dan adikku berkumpul di meja makan. Papa ingin tahu keputusan ku malam ini. Beliau bertanya lagi tentang perjodohan itu. Aku diam sejenak, sambil mengucapkan Bismillah di hati, aku mengangguk tanda setuju. Semua yang duduk di meja makan pun manarik nafas lega. Kemudian melanjutkan makan malam tanpa suara.
Selesai makan malam, Papa berencana untuk mengundang keluarga temannya untuk datang ke rumah. Mengajak dinner makan malam antara dua keluarga, biar saling kenal.
Setelah menghubungi lewat telepon, di tetapkan lah hari untuk pertemuan itu.
Semakin mendekati hari pertemuan itu, hatiku semakin gelisah tidak karuan. Jujur aku tidak menyangka akan secepat ini melepas masa lajang. Sepanjang malam jadi sulit memejamkan mata. Pikiranku menerawang mengenang kisah cinta yang telah kandas. Mungkin Allah lebih tahu yang terbaik untuk hambanya, hiburku dalam hati.
********
Pagi ini aku ke kampus lebih cepat, karena ada janji dengan Bu Dosen yang kemaren. Makalah sudah selesai ku perbaiki, tinggal di acc saja. Mudah-mudahan di lancarkan.
Selesai sarapan aku berpamitan sambil mencium punggung tangan orangtuaku
Kelihatan raut wajah Papa mulai segar.
Mungkin pikirannya sudah tenang mendengar keputusanku tadi malam.
Sesampainya di kampus, sambil berlari kecil aku menuju ruang kantor. Aku berpapasan dengan Farah sahabatku.
"Hey, kenapa terburu-buru, seperti di kejar setan, hendak cari siapa Mey?"
tanya Farah.
"Bu Devi sudah datang ya?" jawabku ngos-ngosan sambil menarik nafas.
"Oh, baru saja keluar. Katanya sih ada urusan di luar kampus," jelas Farah.
Hah ... aku putar balik berlari ke arah parkiran, pasti beliau masih disana. Baju pun mulai basah oleh keringat. Dari jauh kelihatan wujud nyata seorang Bu Devi.
"Bu, buuu ... tunggu." Aku berlari sekuat tenaga, hampir menabrak sepeda motor yang terparkir di depanku.
Bu Devi kaget dan menoleh.
"Saya buru-buru nih ada urusan," beliau membuka pintu mobilnya, hendak masuk.
"Maaf Bu, ini tugas makalah saya, sudah di perbaiki," jelas ku sambil menyerahkan berkas ke tangannya.
"Kamu ini tidak lihat, saya sedang sibuk!" Bu Devi langsung mencubit pipiku.
"Tapi saya salut dengan kegigihan kamu, Meysa. Tunggu sebentar ya! Saya koreksi di dalam mobil saja."
Aku menunggu sambil bersandar di samping mobilnya.
Derrt ... derrt.
Suara hape ku bergetar, ku buka tas dan mengambilnya. Tertera tulisan Mama sedang memanggil.
["Assalamualaikum Ma," ucapku]
["Waalaikumsalam, Mey," balas Mama]
["Mama hanya mengingatkan, nanti malam keluarga Harry hendak berkunjung ke rumah kita.
Mereka datang jam delapan malam.
Papa mu mengundang mereka untuk makan malam bersama di rumah kita.
Kamu bantuin Mama masak ya!" pinta Mama]
["Oh ya sudah, setelah selesai urusan di kampus , Mey segera pulang ya Ma," balasku]
Setelah mengucapkan salam telepon pun di matikan. Bu Devi keluar dari dalam mobilnya, sambil menyerahkan berkas ke tanganku. Ku lihat hasil koreksinya, sudah di ceklis semua. Tertera nilai A dan paraf di samping tulisanku.
Rasa senang tak terkira ku ucapkan terima kasih, lalu mencium punggung tangan Bu Devi.
"Semoga di lancarkan sidang akhirnya ya Mey," ucap Beliau lalu masuk ke dalam mobilnya.
Lega rasanya ya Allah, tinggal menunggu jadwal sidang akhir saja. Mungkin seminggu lagi perkiraanku. Sambil berjalan menyusuri koridor kampus, tujuanku hendak ke kantin.
Duduk menyendiri di sudut kantin untuk menghilangkan dahaga dan penat hati ini.
"Bu, orange juice dinginnya satu ya,"
pintaku ke ibu kantin.
"Eh ... non Mey, sendiri aja nih?"
"Iya bu, liat Farah tidak bu?" tanyaku.
"Belum keliatan tuh," ucap bu kantin sambil celingukan kanan kiri.
Lalu ku kirim pesan ke Farah, kalau sedang menunggunya di kantin.
Setengah jam menunggu, Farah pun datang menemui ku.
"Heyyy ... sudah lama ya?" kepala Farah nongol dari balik jendela kantin.
"Duh ... Kaget tahu!" sahut ku sambil mencebik kan bibir ke arahnya.
Tanpa basa basi aku menceritakan ke Farah rencana malam nanti.
"Bismillah saja, semoga ini yang terbaik untukmu. Pilihan orangtua Insha Allah tak mungkin salah," ucapan Farah menenangkan hati ini.
Ku lirik jam di tangan, tak terasa sudah pukul satu siang. Kami pun menyudahi sesi keluh kesah ini. Kemudian membayar pesanan tadi. Lalu berpisah di halaman parkir.
********
Menjelang sore, keliatan Mama mulai sibuk di dapur. Memasak hidangan dengan berbagai menu. Aku membantu menata meja makan.
Mama paling pintar memasak berbagai resep hidangan. Sepertinya sudah cocok
membuka usaha warung makan.
Wanita setengah baya ini masih kelihatan cantik dan energik meski tak muda lagi.
Tiap di tanya, "apa sih resep awet muda Ma?" pasti jawabnya rajin ibadah, sabar dan selalu bersyukur pada Allah.
"Hmm ... harum sekali, Mama masak apa? Aromanya tercium sampai ke kamar Kiki," tanya adikku sambil mengendus-endus seperti kucing.
"Ada deh, nanti kamu ikut makan juga kok," jawab Mama sambil menjentikkan jarinya.
Tepat pukul delapan malam, terdengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Suara klaksonnya memberi tanda bahwa ada tamu di luar. Papa dan Mama membuka pintu, dan benar, keluarga Harry sudah tiba. Keluarga pun menyambut dengan ramah dan mempersilakannya masuk.
Aku berhias memakai baju terbaik ku, hati ini semakin deg-degan. Rasanya campur aduk hingga terasa mulas di perut. Terdengar suara Mama memanggil ku. Sambil merapikan baju aku pun melangkah keluar kamar.
Kemudian bersalaman, sambil memperkenalkan diri dengan sopan.
Tampak sepasang suami istri separuh baya, memperkenalkan diri sebagai orangtua Harry, bernama Bapak Angkasa dan Ibu Mentari, sepasang anak remaja bernama Rey dan Mona adalah anak dari mas Harry.
Dan terakhir mata ku tertuju pada seorang lelaki berperawakan sedang, kulitnya sawo matang, rambutnya di sisir dengan model yang kekinian, serta aroma parfum nya tercium lembut di hidung. Sambil berjabat tangan kami saling berkenalan.
"Hay, aku Harry. Senang berkenalan dengan kamu," sapanya terlebih dahulu.
"Sa-saya Meysa," sahutku sedikit gugup.
"Yuk ... langsung saja kita ke ruang makan, nanti di lanjutkan kenalannya," ajak Papa mencairkan suasana.
"Cieee, mbak Meysa grogi yaa? Keliatan lo wajahnya bersemu merah, seperti habis di entup tawon," ledek Kiki sambil tertawa menjulurkan lidahnya.
Suasana makan malam ini terasa hangat penuh kekeluargaan. Terlihat mas Harry mencuri pandang ke arahku, sesekali tatapan kami saling beradu. Sementara sepasang anak remaja ini kelihatan sikapnya acuh saja.
"Hidangannya lezat sekali, persis masakan di rumah makan," puji orangtua mas Harry.
"Sudah bisa lo, buka rumah makan. Kalau Pak Gunawan dan Bu Mitha bersedia, biar saya beri modal," saran orangtua mas Harry sambil menganggu kan kepala.
"Terima kasih sarannya, Pak Angkasa," ucap Papa sambil tersenyum.
"Ayuk, di tambah lagi nasinya Pak, Bu, anak- anak! Jangan malu-malu, sebentar lagi kan hendak jadi keluarga," ajak Mama dengan ramah.
Setelah tiga puluh menit berlalu, makan malam pun selesai. Kami kembali duduk di ruang keluarga.
"Anak-anak boleh main di ruang tivi terserah hendak menonton atau main game, biar tidak bosan ya! ajak Mama.
Kiki, Rey dan Mona beranjak ke ruang tivi.
"Gerah nih selesai makan, enaknya cari angin duduk di luar, setuju kan?" mas Harry mengajakku duduk di teras.
Kami duduk berjarak kan meja bulat.
Terasa canggung bingung apa yang hendak dibahas.
Mas Harry memecah kesunyian.
"Mey, mas boleh tanya tidak," pintanya.
"Iya boleh kak, eh mas," sahutku.
Koq aku jadi gugup begini ya.
"Panggil saja Mas, biar lebih akrab!" pintanya.
Kemudian beliau bertanya tentang kuliahku, cita-cita dan harapanku.
Aku menjelaskan dengan bersemangat.
Kalau sudah membahas masa depan, tidak ada kata malu dan pantang menyerah bagiku.
Bersambung ....