"Kamu mau ke mana?" tanya Rizhan saat Herra baru saja keluar dari kamarnya.
"Eh? Rizhan. Aku mau berangkat kerjalah," jawab Herra dengan senyuman cerah.
"Bukannya perutmu masih sakit? Enggak usah berangkat kerja aja hari ini. Mending istirahat di rumah," timpal Rizhan seraya mendekati Herra dan menyentuh tangan wanita itu.
"Aku enggak bisa lah Rizhan. Belum seminggu juga aku bekerja. Masa udah minta izin," tolak Herra seraya menyampirkan tas selempangnya di tangannya.
"Kamu yakin? Aku khawatir kamu sakit lagi," balas Rizhan dengan raut wajah khawatir yang ke tara.
"Enggak kok. Kamu tenang aja. Lagipula udah enggak terlalu sakit lagi kayak kemarin. Kan udah disembuhin sama kamu," timpal Herra memberikan senyuman meyakinkan pada Rizhan.
Rizhan menghela napas pasrah. Herra begitu keras kepala.
"Baiklah. Kamu hati-hati yah. Ingat, panggil aku jika kamu butuh bantuan," ujar Rizhan seraya mengelus kepala Herra dengan lembut.
"Iya, aku berangkat dulu," pamit Herra seraya berlalu dari hadapan Rizhan sambil melambaikan tangannya.
Rizhan menatap kepergian Herra dengan sendu. Jujur hatinya masih khawatir dengan kondisi Herra yang mungkin saja masih sakit karena kemarin.
***
Akhirnya Herra sampai di Volker Group. Setelah melakukan absen digital, ia langsung berjalan menuju ruangannya. Herra berjalan dengan senyum cerah di wajahnya. Namun seketika senyuman itu berubah menjadi tatapan kebingungan.
Namun, ada yang aneh sejak ia masuk. Orang-orang tampak memperhatikannya bahkan seperti membicarakannya. Herra jadi merasa bingung sendiri. Apa pakaian yang dipakainya hari ini berlebihan yah? Atau make up-nya terlalu tebal? Berbagai pertanyaan terus muncul di kepala Herra sampai dia dapat mendengar alasan dari para karyawan itu memperhatikannya.
"Eh, liat enggak tuh cewek. Enggak tau malu banget yah," sindir salah satu karyawan.
"Baru aja Hendry mengajaknya kenalan. Eh, tau-taunya si Hendry udah kecelakaan aja," sindir yang lainnya.
"Kayaknya tuh cewek pembawa sial deh. Idih, amit-amit dideketin," ucap salah satu karayawan dengan wajah sinis.
"Palingan juga lewat jalur belakang masuk ke sini," sindir yang lainnya kembali.
Herra berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Dia tidak mau mencari perkara di tempat kerjanya. Apalagi dia baru saja masuk di perusahaan ini. Mungkin mereka belum mengetahui sifat Herra yang sebenarnya. Lambat laun juga akan hilang. Tak usah diambil pusing. Itu yang Herra tekankan sekarang. Untuk apa memikirkan kata-kata orang-orang itu. Emang mereka yang akan memberi kita makan!
Herra melanjutkan jalannya hingga sampai di ruangannya. Herra memilih untuk duduk sejenak di kursinya seraya memijat pelan keningnya yang cukup berdenyut. Belum lama bekerja di perusahaan, sudah banyak karyawan yang membuat rumor aneh untuknya. Herra sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran para karyawan itu. Padahal mereka memiliki pendidikan tinggi. Tapi, otak mereka sama sekali tak dipakai dengan benar.
Herra tidak nyangka saja. Bagaimana bisa para karyawan di perusahaan menuduhnya penyebab dari kecelakaan dari Hendry. Mereka saja baru berkenalan kemarin. Entah siapa yang menyebarkan rumor tidak jelas itu. Mending tidak usah dipikirin, nanti malah pekerjaannya jadi terbengkalai. Memikirkan itu malahan akan semakin membuat emosinya semakin naik.
"Permisi, ini saya bawakan dokumen yang perlu ditandatangi oleh Presdir," ucap salah satu karyawan yang memasuki ruangannya.
"Baiklah, anda bisa taruh di situ," balas Herra dengan senyuman di wajahnya.
Namun, bukan senyuman yang Herra dapatkan, malahan tatapan dingin yang ia dapatkan. Herra hanya bisa sabar dengan hal itu. Inilah resiko dalam bekerja. Ada yang suka dan tidak suka. Tak perlu terlalu terbebani dengan hal demikian. Akan membuatnya naik pitam saja nanti.
Herra meregangkan tubuhnya sejenak setelah jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Itu berarti sebentar lagi jam makan siang. Entahlah, Herra tidak mau keluar dari ruangannya. Ia malas jika harus mendengar beberapa fitnahan tentang dirinya. Walaupun ia tak ingin peduli. Tapi tetap saja ia mempunyai dua telinga yang akan siap mendengar itu semua. Mending dia menjauh saja daripada akan muncul perkelahian.
Mungkin Herra akan memesan lewat pesanan online saja. Mengingat pesanan online, membuatnya mengingat Rizhan. Pria itu sangat melarangnya untuk makan makanan cepat saji. Menurutnya itu sangat tidak sehat. Herra tahu hal itu, hanya saja kalau dalam keadaan kayak gini, tidak ada salahnya kan untuk memesan. Ia sedang menghindari yang namanya perkelahian. Mending menghindari daripada benar-benar terjadi nanti kan.
Sekitar lima belas menit akhirnya makanan itu diantarkan ke dalam ruangannya langsung. Herra sudah bisa merasakan cacing-cacing di perutnya meronta minta untuk diisi. Apalagi tadi pagi ia tak makan sarapan. Tentu saja perutnya akan sangat keroncongan saat ini.
Baru akan menyuap sepotong ayam goreng ke mulutnya, ayam itu sudah diambil oleh seseorang. Baru akan memprotes orang yang mengganggunya makan, Herra langsung dibuat terkejut dengan orang itu. Herra langsung menegakkan tubuhnya. Lidahnya jadi sedikit kelu.
"Ri-Rizhan?! Kok kamu ada di sini?" tanya Herra dengan pandangan terkejut dan suara yang berbisik karena khawatir akan ada orang yang dengar.
"Kalau aku enggak ada di sini, kamu akan asik memakan makanan enggak sehat ini. Herra, udah kubilangin beberapa kali, jangan makan makanan yang enggak sehat kayak gini. Bukannya di sini ada kantin, kenapa enggak makan di sana aja?" omel Rizhan dengan tangan yang ia lipat. Jangan lupakan alisnya yang menukik itu.
"Aku malas aja mau turun ke kantin. Lagipula, kerjaanku masih banyak dan enggak bisa aku tinggalin. Jadi lebih praktis, aku beli aja di luar," kilah Herra yang sebenarnya menutupi kebenaran.
"Kamu tau sendiri sedang sakit perut. Harusnya jangan makan makanan kayak gini. Ini, lebih baik makan ini aja," balas Rizhan seraya menyerah sebuah kotak makan berwarna jingga pada Herra.
"Kamu buatkan aku makanan? Apa ini? Wah, nasi goreng. Umm ... wangi banget aromanya," puji Herra dengan pandangan mata berbinar. Cacing di perutnya malahan semakin meronta saat ini.
"Aku yakin kamu pasti akan suka. Makanlah," balas Rizhan dengan senyuman.
Herra langsung menyiapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Detik berikutnya, matanya kembali berbinar karena rasa enak dari nasi goreng itu.
"Bagaimana rasanya?" tanya Rizhan
"Enak banget. Kamu hebat banget buatnya. Enggak sia-sia kamu bisa menyentuh barang sekarang," timpal Herra
"Makanya kita harus lebih melakukan skinship kalau mau lihat hal yang lebih," balas Rizhan
"Ihh, Rizhan jangan ngomong hal itu deh. Aku lagi makan tau," protes Herra
"Hahahaha. Iya, makanlah," ujar Rizhan dengan terkekeh.
Tanpa mereka sadari ada yang memperhatikan interaksi mereka. Orang itu bukan hanya bisa melihat Herra tapi juga melihat keberadaan Rizhan.
"Apa dia salah satu Imagine juga?"
To be continued...