Chereads / My Imagine / Chapter 5 - Kesalahan

Chapter 5 - Kesalahan

Orang-orang berkumpul mengelilingi tubuh Dara yang tertabrak. Herra mencoba mendekatinya. Saat mendekat ke sana untuk melihat keadaan Dara. Seketika Herra melebarkan matanya. Bahkan, ia menutup mulutnya karena saking terkejutnya. Bagaimana tidak, darah mengalir cukup deras dari kepalanya Dara. Walaupun sejahat apapun Dara padanya, tetap saja rasa kemanusiaannya tetap ada. Itu sangat parah!

Herra begitu terkejut melihat Vian yang menangis histeris melihat Dara yang tertabrak. Ia memangku kepala Dara di pahanya. Herra merasakan hatinya berdenyut sakit. Padahal selama mereka berpacaran, Vian tidak pernah menangis untuknya. Apakah Vian dulu benar-benar mencintainya? Apakah Vian secepat itu melupakannya? Padahal rasa untuk Vian masih tersisa di hati Herra walau tidak sebesar dulu. Dia benar-benar bodoh karena sudah menyukai pria itu. Ia cukup beruntung sudah memutuskan pria itu.

Tak terasa air matanya mengalir karena rasa sakit di dadanya. Namun, tiba-tiba Herra merasa terkejut karena ada tangan yang menyentuh bahunya. Ia melihat sosok Rizhan. Herra jadi mengingat kalau Rizhan yang tadi mendorong Dara ke tengah jalanan. Tapi bagaimana bisa? Bukankah ia tidak bisa menyentuh orang? Terus apa yang dia lihat itu adalah suatu ilusi?

"Ri-Rizhan?!" pekik Herra dengan suara yang agak serak.

Herra sedikit terkejut dengan wajah Rizhan yang terlihat dingin. Rizhan mengangkat tangannya dan mengusap air mata yang mengalir pada Herra. Herra cukup terpaku dengan wajah tampan itu. Antara aura dingin dan perhatian bercampur di kedua mata itu. Membuat hati Herra semakin campur aduk.

Herra langsung menarik tangan Rizhan untuk pergi dari situ. Untung orang-orang sedang sibuk melihat kecelakaan itu, hingga tidak sadar dengan perbuatan aneh Herra yang terlihat seperti menarik angin.

Akhirnya mereka sampai di dalam kosnya Herra. Herra masuk lebih dulu ke dalamnya. Setelah mereka berdua masuk, Herra menatap tajam pada Rizhan dan Rizhan hanya memberikan tatapan yang biasa. Hal itu membuat Herra semakin kesal. Ia melipat kedua tangannya di dada.

"Kenapa kamu melakukannya? Kenapa kamu bisa menyentuhnya? Bukankah kamu bilang kamu enggak bisa menyentuh orang?" tanya Herra bertubi-tubi dengan tatapan selidik.

"Aku kan udah pernah bilang kalau aku bisa melakukan apa yang manusia perbuat jika interaksi kita lebih intim," jelas Rizhan santai.

"Tapi kita enggak terlalu banyak melakukan hal intim akhir-akhir ini. Terus bagaimana hal itu bisa terjadi?" sanggah Herra yang semakin bingung.

"Aku kan menyentuh tanganmu sepanjang malam. Jadi itu bisa saja terjadi," ungkap Rizhan seperti ada yang ia sembunyikan. Terlihat dari wajahnya yang ia palingkan.

Herra semakin tidak mengerti ini semua. Bukankah seorang teman khayalan itu harus mengikuti apa yang dikatakan oleh pencipta mereka? Itu yang tertera di aplikasi 'My Imagine'. Kenapa akhir-akhir ini sikap Rizhan semakin tidak terkendali? Apa ada yang salah dari semuanya akhir-akhir ini?

"Rizhan, aku memanggilmu untuk menjadi teman yang baik untukku. Aku enggak suka jika kamu seperti itu," protes Herra yang harus mengutarakan apa yang ia pendam.

"Aku melakukan itu untukmu Herra. Mereka udah jahat menghinamu. Jadi mereka harus kuberi pelajaran. Bukankah kamu memanggilku untuk melindungimu dari bahaya?" balas Rizhan dengan jelas.

"Tapi bukan seperti ini maksudku. Kamu udah melakukan tindakan yang salah. Aku enggak menyukainya," protes Herra kembali.

"Kenapa?! Kamu kasihan sama orang yang udah buat jahat terhadapmu?! Aku hanya menjalankan tugasku sebagai pelindungmu. Tapi kamu enggak menghargaiku sama sekali," balas Rizhan dengan wajah yang penuh amarah.

Herra sedikit terkejut dengan wajah Rizhan. Ia tak pernah melihat Rizhan yang marah seperti itu. Apa ini sudah terlalu besar dan lewat? Di aplikasi itu tertera jelas kalau My Imagine tak akan pernah memarahi tuan mereka sendiri.

"Bukan kayak gitu Rizhan. Aku tau niatmu baik untuk menolongku. Tapi enggak perlu pakai cara ini. Bagaimana jika Vian juga ikutan tertabrak?" tukas Herra memandang tajam Rizhan.

Rizhan seperti berdecih.

"Heh, kamu sangat mengkhawatirkan mantan pacarmu yah? Apa kamu masih menyukainya?" tanya Rizhan dengan pandangan yang sendi dan terlihat terluka.

"Kenapa kamu menanyakan hal itu?" tanya Herra kembali yang mulai bingung dengan ekspresi yang ditunjukkan Rizhan.

"Jawab aja Herra," timpal Rizhan dengan sedikit menggeram marah.

"Aku belum lama putus dengannya, tentu rasa cinta itu masih ada. Walau enggak sebesar dulu," jawab Herra akhirnya.

Rizhan menggertakkan giginya. Rizhan menunduk dan mengeluarkan suara geraman amarah. Apakah dia sangat emosi?

Herra yang melihat itu jadi terkejut. Herra mendekati Rizhan. Ia mencoba menyentuh bahu Rizhan dengan pelan.

"Rizhan, ada apa?" tanya Herra hati-hati.

"Aku benci! Aku kesal karena kamu masih menyukainya. Kenapa kamu masih menaruh rasa padanya setelah apa yang dia perbuat padamu?! Seharusnya aku juga membuat dia tertabrak. Kalau perlu buat dia mati sekalian," geram Rizhan dengan matanya yang me merah karena emosi.

Herra memandang terkejut pada Rizhan. Bagaimana bisa Rizhan mengatakan hal itu? Rizhan benar-benar sudah kelewatan kendali. Apa dia bukan lagi teman khayalannya Herra yang dulu? Apa keputusannya kini sudah salah untuk membuat seorang teman khayalan?

"Kenapa kamu mengatakan hal itu?! Seharusnya kamu menuruti apa yang aku minta. Kamu enggak seperti Rizhan yang aku kenal. Kamu udah berubah," timpal Herra semakin kesal.

"Aku masih Rizhan yang sama. Rizhan, teman khayalanmu yang kamu panggil untuk melindungimu," balas Rizhan seraya menyentuh tangan Herra dengan lembut.

Namun, Herra langsung menepis tangan itu. Herra mengalihkan pandangannya seraya mengusap air matanya yang keluar. Setelahnya, ia kembali menatap Rizhan dengan pandangan yang masih kesal.

"Kamu bukan Rizhan yang aku kenal. Kamu seperti orang asing bagiku. Lebih baik kamu pergi dulu. Aku ingin sendiri," ucap Herra sambil membalikkan tubuhnya membelakangi Rizhan.

Dia butuh ketenangan saat ini. Ia perlu memikirkan kembali apa yang harus ia lakukan. Dia tak mau melihat wajah pria itu dulu untuk saat ini.

"Aku enggak bisa tinggalin kamu sendiri. Bagaimana ada sesuatu hal yang terjadi padamu?" tolak Rizhan mantap.

"Aku bilang pergi Rizhan! Aku enggak mau melihatmu dulu!" pekik Herra tanpa melihat wajah pria itu.

Rizhan menghela napas kasar. Ia menundukkan kepalanya sebentar dan menatap Herra dengan sendu. Sungguh tak ingin ia pergi meninggalkan Herra saat ini. Ia ingin merengkuh wanita itu dalam pelukannya. Mengatakan pada wanita itu bahwa ia sangat menyayanginya. Oleh sebab itu ia melakukan itu semua. Tapi sepertinya Herra tak bagus diajak bicara untuk saat ini. Untuk itu ia akan menuruti keinginan wanita itu. Ia tak mau jika Herra semakin membencinya.

Rizhan pun segera menghilang dari hadapan Herra. Namun sebelumnya ia mengucapkan sesuatu.

"Aku akan selalu menunggumu memanggil namaku kembali"

To be continued....