Sudah hampir tengah hari namun Herra belum juga mendapat sebuah pekerjaan. Nyatanya memang susah mencari pekerjaan sekarang ini. Sudah banyak ia melamar di beberapa perusahaan, tapi tetap saja tidak ada. Padahal ia adalah lulusan ternama di kampusnya. Apa karena kejadian itu ya? Tapi apa iyah masalah itu sampai memengaruhi pekerjaannya?
Jika saja kejadian itu tak ada, mungkin sekarang Herra sedang duduk nyaman di ruangannya pada perusahaan Papanya itu. Tak mungkin sekarang ini ia akan ke sana. Mana mungkin Papanya itu akan menerimanya bekerja di perusahaan John One Group. Skandal itu benar-benar membuat sangat susah sekarang. Tapi, dalam hati Herra selalu mengutarakan dengan keras kalau dia harus bangkit. Mungkin ini jalan untuknya agar bisa mandiri dan tak perlu menggunakan kekuasaan orang tuanya untuk mendapatkan pekerjaan.
Herra berjalan ke arah halte bus yang kosong untuk duduk sejenak. Ia mengelap keringat yang membasahi keningnya. Ia mengibas-ibaskan rambutnya yang panas dengan surat lamarannya.
Herra memperhatikan jalanan yang penuh dengan mobil yang berkeliaraan. Ia jadi ingat kejadian kemarin di mana dia ingin melakukan bunuh diri karena cukup putus asa dengan kejadian yang menimpanya. Sungguh rasanya ia ingin menghilang dari dunia.
Tapi Herra kembali mengingat kalau ia tidak boleh putus asa. Ia akan mencari tahu siapa yang melakukan semua itu terhadapnya.
'ting'
Herra mengecek ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Ia melihat sebuah notifikasi yang muncul di ponselnya.
"Ehh, apa ini?" heran Herra ketika sebuah notifikasi muncul di ponselnya.
Herra mencoba membuka notifikasi itu dan melihat sebuah judul bernama "My Imagine".
"Ha? My Imagine? Ini aplikasi apa?"
Herra mulai melihat-lihat aplikasi bernama 'My Imagine' itu. Ternyata itu adalah aplikasi untuk membuat teman khayalan. Di aplikasi itu terdapat satu buah e-book dan MP3 yang harus diunduh. Herra yang sangat penasaran, mulai membaca e-book aplikasi itu.
Jadi, sebelum mendengarkan MP3-nya, kita dianjurkan untuk membaca e-book itu terlebih dahulu supaya kita tahu cara memasangnya nanti. Herra begitu penasaran dengan aplikasi itu karena disitu tertera kalau dia bisa mendapatkan teman sesuai yang dia inginkan.Jujur ia sangat kesepian akhir-akhir ini. Dan dia butuh seorang teman tempat ia bisa curhat. Karena gara-gara fitnahan itu semua orang jadi menjauhinya.
"Ouhh, kayak gini cara gunainnya," ucap Herra seraya menganggukkan kepalanya mengerti.
Herra yang telah selesai membaca e-book tersebut, mulai mendengarkan MP3 dari aplikasi tersebut. Aplikasi itu menyarankan agar menggunakan headset untuk mendengarkannya.
Herra mulai mendengarkan MP3 itu. Awal yang dia dengar adalah suara seperti gemericik air. Lalu, ia mulai mengikuti instruksi-instruksi yang dipaparkan. Seperti menarik napas yang dalam-dalam lalu hembuskan. Entah mengapa Herra merasa tenang mendengar suara dari MP3 itu.
Lalu, Herra disuruh untuk menyebutkan ciri-ciri teman yang dia inginkan. Kemudian, Herra membayangkan sosok yang ia inginkan.
"Dia itu seorang laki-laki yang tampan, pintar, tingginya 185 cm, enggak terlalu putih, hidungnya mancung dan bisa melindungiku dari bahaya. Dan yang terpenting ia bisa setia menemaniku serta mau menjadi temanku. Dia bernama ... Rizhan," tutur Herra seraya membuka kedua matanya.
Matanya sedikit kabur karena menutup mata terlalu lama. Bagaimana tidak waktu untuk mendengarkan MP3 itu sekitar dua jam. Hingga Herra tidak sadar sudah beberapa bus yang terlewat. Dan ia pun tidak menyadari beberapa orang yang memandang ke arahnya tadi.
Herra menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Namun sosok yang ia sebutkan itu tidak muncul. Ia mulai meragukan aplikasi itu. Apakah ia sudah ditipu?
"Ahhh, udah kuduga kan. Aplikasi ini penipu. Mana ada hal kayak gitu. Gila kali yah. Ahhh...." Herra tercengang dengan sosok yang ada di belakangnya ketika ia mengadahkan kepalanya.
Sosok pria tampan yang tersenyum polos padanya. Herra langsung berdiri dari duduknya dan berhadapan dengan sosok pria itu.
"K-kau siapa?" gagap Herra seraya menaikkan jari telunjuknya dengan gemetar.
"Kau tak mengenalku? Aku Rizhan. Bukankah kau yang memanggil ku," ucap sosok pria itu seraya menampilkan senyum yang manis hingga terlihat lesung pipinya.
Herra langsung membelalakan matanya tidak percaya. Bahkan ia mengucek-ucek matanya untuk memastikan apa yang ia lihat. Bahkan ia mencubit sedikit dirinya untuk memastikan kalau itu bukan mimpi.
"H-ha?! K-Kau beneran Rizhan yang aku buat?" tanya Herra yang sungguh terkejut.
"Ya, ini aku, Rizhan. Sosok yang kau panggil " jawab Rizhan dengan senyumannya kembali.
Herra yang masih tidak percaya, mulai menyentuh wajah Rizhan untuk memastikan kalau lelaki itu beneran ada. ASLI! Terasa sekali tekstur dari wajahnya yang dipegang oleh Herra. Jadi beneran?!
"Yah, kau benar-benar asli. Wahh, aku seneng deh karena ini nyata. Akhirnya aku jadi punya teman. Aku enggak akan sendirian lagi," tukas Herra dengan senyum yang lebar.
"Kau tenang saja, aku akan menjadi temanmu yang baik. Aku akan selalu ada di sampingmu. Aku enggak akan biarkan kau terluka," jawab Rizhan lagi seraya tersenyum mempesona pada Herra.
Tanpa sadar Herra langsung memeluk tubuh Rizhan. Ini benar-benar nyata! Ia bisa merasakan tubuh Rizhan. Akhirnya ia tidak akan sendirian lagi. Ia punya teman!
Ini terasa nyata. Tubuh Rizhan benar-benar bisa ia peluk dengan erat. Serasa ia benar memeluk seorang manusia. Padahal dia tahu kalau Rizhan itu hanyalah seorang teman khayalan. Tapi itu tak apa menurutnya. Yang penting ia mempunyai teman sekarang.
"Kamu benar-benar asli Rizhan! Aku beneran bisa melihatmu. Aku Enggak mimpi kan?" timpal Herra seraya menyentuh pipi Rizhan.
Bahkan, ia mencubit lengannya sedikit untuk membuktikan kalau ia tak mimpi.
"Auh!" keluh Herra
"Hei, kau dicubit sih tangannya. Kan sakit Herra," ujar Rizhan memegangi tangan Herra yang ia cubit.
Ternyata cubitan itu meninggalkan bekas merah. Dengan sigap Rizhan menipu perlahan tangan itu untuk meredakan sakit yang dirasa Herra.
Entah mengapa, Herra merasakan dadanya berdegup kencang. Kenapa ia bisa merasakan hal ini pada seorang teman khayalannya sendiri? Buru-buru ia menarik tangannya dari Rizhan.
"Makasih yah Rizhan. Ehhe, aku ternyata enggak mimpi. Huaa, aku seneng banget," ujar Herra dengan suara keras tanpa memperdulikan beberapa orang yang tengah menatapnya aneh.
Rizhan hanya memberikan senyuman lebar pada Herra. Herra pun ikut tersenyum membalas Rizhan.
"Semoga kau selalu ada untukku, Rizhan," celetuk Herra kembali memeluk tubuh Rizhan erat.
Rizhan pun membalas pelukan itu tak kalah erat.
"Kamu tenang aja. Udah menjadi tugasku agar selalu ada untukmu. Aku berjanji untuk selalu melindungimu," balas Rizhan mencium pucuk kepala Herra dengan sayang.
Herra tersenyum lebar dalam pelukan itu. Akhirnya ia mendapatkan kembali kebahagiaan yang ia inginkan. Semoga kebahagiaan ini tidak cepat berlalu.
To be continued....