"Keren!" Gadis itu menutup novel usang yang telah selesai dia baca hingga akhir.
Novel berjudul 'Cinta Sejati yang Pasti' memang mempunya alur yang sederhana. Meski pun tidak terlalu spesial, tapi mampu membuat sang gadis berdecak kagum. Membayangkan betapa senangnya dapat menjadi tokoh female utama.
"Huh! Hidup Ilona sangat indah, dapat bersama dengan Ramos sang pangeran tanpa celah," gumamnya kagum. Raut wajah bahagia yang dibuat mendadak luntur. "Lalu kapan aku bisa bahagia seperti Ilona?"
Gadis itu membalikkan badannya menjadi terlentang. Malam semakin larut, dan dia harus dapat tidur di atas alas yang terbuat dari tumpukkan kardus bekas.
Sepanjang mata masih terjaga, ia hanya bisa menatap ke langit-langit gelap. Tempat tinggal yang bahkan tidak ada kamarnya. Udara terbatas dengan bau sampah menyengat. Tidur di bawah jembatan beton sangat menakutkan.
Tidak apa, karena dia sudah terbiasa. Lagi pula ada secercah cahaya yang dihasilkan dari lilin putih. Sengaja gadis itu membelinya, karena tahu akan menamatkan novel kesayangan malam ini.
Hidup sebatang kara di tengah keramaian ibu kota memang sangat susah. Gadis itu bahkan sudah lupa caranya untuk tersenyum dan bersosialisasi di depan orang-orang. Cukup tidak biasa, mengingat dirinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain.
"Tokoh utama, aku menginginkannya."
Sebuah kata terakhir terucap dari bibir kering sang gadis, sebelum akhirnya terlelap akibat kantuk. Sudah lama dirinya menginginkan peran itu, di mana hidup akan menjadi sangat indah dan bahagia. Bahkan, hampir setiap malam ditemani mimpi manis menjadi tokoh utama.
Waktu terus berjalan, dan mimpi indah gadis tersebut masih berlanjut. Sebuah suara dentuman kuat pun tidak mampu untuk membangunkannya. Bahkan saat jembatan yang digunakan sebagai atap menimpa.
Udara di sekeliling gadis yang tengah terlelap itu mulai tercemar dengan debu. Mungkin dirinya juga tidak lagi dapat menghirup udara—sebagaimana mestinya manusia yang tidak bisa hidup tanpa oksigen.
Kedua kelopak mata yang sedari tadi tertutup, kini benar-benar tidak dapat terbuka. Gadis berusia 19 tahun tersebut harus rela mati di saat dirinya belum mencapai cita-cita yang diinginkan. Hanya gelap dan dinginnya puing-puing jembatan yang menemani. Serta rasa sesak yang mengantar di saat napas terakhir.
Samar-samar terdengar teriakan oleh beberapa orang. Suara yang semakin lama semakin tinggi, mengisyaratkan untuk segera lari menyelamatkan diri.
Namun, kini teriakan itu tidak akan lagi dibutuhkan.
Gadis kecil yang selalu menginginkan kebahagiaan menjadi tokoh utama itu telah pergi. Di bawah puing-puing jembatan, tubuhnya terpendam.
Beberapa menit kemudian, suara sirine mobil ambulance dan police pun saling bersahutan. Teriakan demi teriakan terus terdengar.
Ternyata benar. Orang akan memperhatikan saat yang ingin diperhatikan telah tiada.
***
Suara geram seseorang terus berusaha membangunkan gadis yang sepertinya baru saja mati tertimpa reruntuhan jembatan. Dari yang awalnya samar-samar, kini semakin terdengar jelas. Nada tidak bersahabat itu seakan tidak mau berhenti sampai si gadis terbangun.
"Bangun! Kau mau berpura-pura mati?!"
"Akan kubuat kau sungguhan mati jika tidak mau bangun!"
"Dia tidak mau bangun, Kak!"
"Beri sedikit air agar dia bangun, cepat!"
Keributan sudah terdengar jelas, terasa begitu memekakkan kedua telinga. Tidak lama, sensasi rasa dingin dan lembab terus menghujam wajah si gadis. Hingga sensasi tersebut terkena tepat di permukaan kulit kelopak mata, membuat kedua netra penglihatan terpaksa untuk terbuka.
Tunggu. Gadis itu tidak mengenal empat perempuan di depannya. Ah, lupakan. Punggung yang rasanya mau remuk, lebih membuat gadis tersebut tersiksa. Ia benar-benar bangun dalam keadaan tulang-tulang yang kacau.
Ia memosisikan tubuh menjadi bersandar di kepala ranjang. Terasa keras. Bahkan, alas kardusnya masih terasa lebih layak digunakan. Matanya memandangi sekeliling, sebuah kamar sederhana kini menjadi tempatnya bangun. Dinding tanpa cat, serta furnitur ruangan yang bahkan tak seberapa menjadi perhatian gadis tersebut.
"Anak ini benar-benar tidak tahu tata krama setelah bangun!" ketus seorang perempuan dengan gaun mewah penuh pernak-pernik. Rambut cokelat lurusnya terurai sepinggang, tak lupa berbagai hiasan rambut terpasang.
'Apa dia nggak capek sejak tadi bicara?' Gadis yang masih merasakan pening di kepalanya itu tak berniat untuk menjawab bentakan demi bentakan yang perempuan bergaun mewah lontarkan. Ia lebih memilih untuk mengurusi tubuhnya, dan lebih baik berpikir tentang mengapa jari-jarinya berubah?
"Kak, Ilona sangat keterlaluan! Haruskah kita mengadukannya kepada ibu?" tanya perempuan bergaun yang terlihat lebih muda dari yang lain.
"Tidak perlu. Dia hanya berakting agar lepas dari pekerjaan rumah saja!" Mengabaikan saran adiknya, perempuan yang paling dewasa tersebut segera berjalan mendekati arah ranjang yang rapuh. "Bangunlah, kau membuang-buang waktu!"
Tatapan bingung gadis itu berikan. Ia hanya bersandar dalam diam, dengan menatap ke arah perempuan menyeramkan yang berdiri di dekatnya. Terlihat tidak sabar, serta deru napasnya yang terus terpacu jelas.
"Sebenarnya, kamu itu siapa?" Gadis itu langsung membungkam mulutnya begitu pertanyaan aneh tersebut ia ucapkan. Suaranya berbeda! Ini sama sekali bukan ciri khas suara yang ia miliki, sangat aneh.
"Kak, dia mulai gila ...," cicit perempuan yang paling muda.
"Dia memang gila," sahut perempuan lainnya.
"Sudahlah! Cepat bersihkan kamarku! Jangan membuat alasan kau, Ilona," desis perempuan dengan tampang dewasa tersebut. Rambut cokelat lurus sepinggangnya ikut bergerak tak kala ia mulai berbalik. Bagaikan seorang kakak perempuan, dia mengajak adik-adiknya untuk ikut pergi meninggalkan kamar sederhana ini.
Sepeninggal ketiga perempuan bersaudara itu, gadis yang masih bersandar bingung tersentak saat ada perempuan lain yang berhambur memeluknya. Ia dapat mendengar isak tangis lirih. Lantas, tangannya bergerak untuk membelai rambut cokelat bergelombang yang dikuncir sebagian tersebut, berusaha menenangkan.
Pelukan dilepaskan dengan berat hati, perempuan yang wajahnya terlihat lembut tersebut kemudian kembali memberikan jarak. "Maaf, Nona Ilona. Saya selalu tidak bisa menjaga Anda," ucapnya penuh penyesalan. Kepala tertunduk, membuat rambut cokelat bergelombangnya berhambur menutupi wajah.
"Ilona?" Gadis yang sejak tadi dipanggil 'Ilona' tersebut terdiam. Pikirannya terus berkecamuk, namanya bukanlah Ilona. Dia hanya seorang gadis yatim piatu biasa yang selalu hidup sendirian, dan berharap memiliki kebahagiaan.
Namun, beberapa detik setelahnya, kedua bola mata gadis itu membulat sempurna. 'Tokoh utama novel itu!'
Ia ingat. Ilona adalah nama seorang tokoh utama novel yang baru saja ia baca.
"Apa di sini ada cermin?!"
Perempuan berambut cokelat bergelombang tersebut kaget, tetapi kemudian menganggukkan kepalanya pelan. "A–ada ... Nona, di sana." Dirinya menunjuk ke arah pojok kamar, terdapat cermin berukuran sedang yang terpampang.
Tidak memedulikan dengan punggung yang terasa remuk, gadis itu segera beranjak dari ranjang dan menuju pojok kamar. Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan tubuhnya yang terlihat jelas.
Suara teriakan pun terdengar setelahnya. Membuat perempuan berambut cokelat gelombang yang berdiri di samping ranjang terlonjak kaget. Ia lantas segera menatap ke arah gadis bernama Ilona dengan khawatir. "Ada apa, Nona Ilona? Apa Anda mengalami masalah?"