Gwen mendongakkan kepalanya. "ada preman pas mau nungguin angkot," jawabnya.
"kamu pulang naik kendaraan umum lagi?" kakaknya kembali menautkan keningnya tidak suka. Ingin mengumpati adiknya yang selalu keras kepala menolak untuk diberi pengawal tersebut. tentu saja Gwen mengangguk "mobil kamu kemana? Rusak?" tanya Omanya.
Mata Gwen membelalak, benar-benar terkejut "Gosh! Benar aku bawa mobil tadi ya? Aku lupa. Mobilnya masih di parkiran kampus." Omanya mendesah.
Ini bukan kali pertama Gwen kelupaan membawa pulang mobil atau motor yang digunakannya. Gadis itu terlalu sering naik kendaraan umum jika bepergian, jika tidak dijemput dan diantar oleh saudaranya. Makanya tidak mengherankan jika ia sering lupa membawa kembali mobilnya.
"Ya sudah, biar besok Om Jaka yang jemput," ucap Oma nya lagi sambil membawakan handuk untuknya. Setelah mengganti pakaiannya Gwen kembali menuju ruang keluarga tempat semuanya masih berkumpul. Gwen tidak banyak membantah dari pada dia mendapatkan amukan dari abang satu-satunya. Lagipula laki-laki itu yang anggota mafia, kenapa Gwen yang harus dilibatkan.
***
Cahaya matahari yang pelan-pelan masuk ke jendela kamarnya membuat Tara mau tidak mau membukakan matanya. Laki-laki ini menggeliat bangun, dan sudah pasti ditunggu oleh pelayan yang memasangkan sandalnya serta memberikannya sebuah minuman sehat dipagi hari. Selain mereka ada satu lagi orang yang sering datang namun tidak rutin. Dan tentu saja kedatangan pria ini selalu membuat Tara pusing.
"Wijaya Organizer berniat mengadakan salah satu eventnya di hotel kita. Dalam beberapa tahun terakhir hampir setiap event yang mereka selenggarakan sukses. Jika kita menyetujui kerja sama dengan perusahaan ini, promosi hotel kita akan bertambah." Bla, bla, bla, Pak Joan terus saja berkomentar yang hanya didengarnya dengan setengah hati.
"Jika sudah membuat keputusan, kenapa masih merepotkanku?" dumel Tara kepada laki-laki tua itu. Dia tidak pernah peduli pada hotel ataupun bisnis lain yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Tara lebih tertarik dengan bisnis casino serta bisnis lain yang dimilikinya sebagai anggota mafia. Itu lebih menantang untuk memacu adreanalinya. Lebih mendekatkan Tara pada kematian meskipun beberapa kali dia mengucapkan syukur masih bisa selamat.
"Bagaimanapun saya harus meminta persetujuan Anda," ucap laki-laki itu dengan tenang seolah-olah ucapan sinis Tara ini bukan apa-apa baginya.
"Lakukan saja seperti biasa. Aku tidak peduli," ungkap Tara. Pak Joan mengangguk.
"Tanggal 20 nanti, jam 8 ada acara yang harus anda ikuti," ucap laki-laki itu. Tara berhenti dari kegiatan olahraganya sementara.
"Kenapa?" tanyanya pada laki-laki itu.
"Anda harus mulai masuk ke perusahaan" katanya. Tara menatapnya dengan pandangan kesal. Laki-laki ini benar-benar ampuh menganggunya. Joan sudah terlalu lama mengambil alih perusahaan peninggBima orang tuanya. Harusnya sampai Tara cukup mampu untuk menjBimakannya. Namun laki-laki itu terus menolaknya membuat Joan tidak bisa berbuat banyak.
"Haruskah aku menghancurkan perusahaan siBima itu saja?" Tara mendengus kesal. Laki-laki ini benar-benar menghentikan kegiatan olahraganya. Pandangannya beralih pada pigura yang terpajang di dinding ruangan itu. Saat itu masih terasa lengkap, masih ada mama, papa. Namun setelah kecelakaan itu Tara ditinggalkan sendirian tanpa siapa-siapa. Laki-laki ini harus tumbuh sebatang kara.
Sejujurnya dari kecil Tara tidak peduli dengan perusahaan ataupun peninggBima orang tuanya yang lainnya. Pria itu lebih tertarik pada hobinya tentang motor dan segala macamnya. Bahkan saat para pemegang saham berebut mengambil alih posisi menggantikan ayahnya Tara hanya lengah tidak peduli. Pak Joanlah yang mengurus semuanya. Pak Joanlah yang mempertahankan hak-hak Tara.
***
Sebuah buku fiksi entah itu komik, cerpen ataupun novel, satu air minuman -yang jelas bukan olahan rasa teh ataupun susu putih- dan satu earphone ditelinga entah itu dibiarkan menggantung atau hanya duduk manis dalam saku bajunya. Semua perlengkapan itu tidak pernah tinggal oleh Gwen. Satu hal lagi yang terakhir satu gawai lengkap dengan baterai dan kuota yang penuh. Jam istirahat Gwen hanya diisi oleh hal-hal seperti itu.
Tidak seperti mahasiswa pada umumnya yang memiliki banyak teman, gadis ini justru nyaman dengan kesendiriannya. Tentunya setelah sebuah kejadian perundungan di masa Sekolah Menengah Pertamanya. Bukannya Gwen tidak tau dengan desas-desus yang mengatakannya angkuh ataupun sombong. Hanya saja dia tidak peduli, menurutnya semua orang bebas berpendapat. Dan ia nyaman dengan dirinya sendiri.
'Be Yourself, Love Yourself' moto itu ambilnya dari salah satu Idolanya. Membaca buku fiksi, mendengarkan musik, menonton film, drama atau cinema memberinya beberapa pandangan tentang kehidupan. Gwen berfikir menjadi diri sendiri lebih baik ketimbang harus berpura-pura seperti orang lain.
"Beliin gue minum!" Gwen mendengus saat laki-laki yang berstatus sebagai sepupu jauhnya selalu menganggu waktu tenangnya.
"Bima bau!!" Gadis itu langsung kesal dengan pria yang seenaknya mengalungkan tangannya dileher Gwen. Padahal laki-laki beralis lebat itu baru saja selesai bermain bola di lapangan basket.
"Beliin gue minum yuk," ajaknya menarik gadis itu untuk bangkit dari duduknya. Gwen memutar bola matanya jengah lelaki pemaksa ini tidak akan mau menyerah menganggunya.
"Bau lo sana!" usirnya. Namun bukan Bima namanya jika dengan perilaku Gwen yang seperti itu menyerah.
" Nih bau!! Nih!! Ni!!" Bima justru makin suka menganggunya dengan menyodorkan ketiaknya yang sumber keringat itu.
Dan tentu saja aksinya makin membuat Gwen histeris "Jorok!!" teriaknya.
Di sekolah ini memang tidak ada satu pun cowok yang mendekati Gwen sekalipun dia cantik dan menarik. Apalagi sosoknya yang pendiam dengan tatapan yang tajam mencerminkan sosok yang misterius. Sebenarnya Gwen cukup menarik dengan paras tersebut, apalagi dia termasuk murid yang berprestasi. Lelaki manapun pasti akan merasa tertantang untuk mendekatinya. Namun posisi Marvel dan Bima sebagai salah satu pimpinan tertinggi mafia yang ditakuti di kota membuat mereka takut dan segan hanya untuk sekedar menyapa Gwen. Sementara yang perempuan, seperti yang sudah dikatakan tadi sebagian mereka menganggkapnya sombong dan ketus.
" ciee baik banget" Ucap Bima tersenyum penuh kemenangan saat gadis itu benar-benar bersedia membayar jajanannya. Bima bukannya tidak punya uang, tapi memoroti gadis itu juga merupakan salah satu hobinya. Sebagai putra bungsu seorang Gionino Wijaya uang sakunya tentu tidak pernah kurang. belum lagi jika ia memiliki pekerjaannya yang lain seperti membantu bundanya atau ayah. Pastinya ia dikasih bonus tambahan.
Gwen mendelik menatap laki-laki ini. Ia yakin setelah ini ia tidak akan dibiarkan lagi membaca. Pastinya ada permintaan ini itu yang akan membuatnya terus-terusan memberikan tatapan serupa. "Gue denger semalam loe dikejar preman, preman yang mana?" tanya Bima cuek saja dari tatapan mengintimidasi gadis cantik itu.
Gwen menaikkan bahunya. "Gimana Niko?" gadis itu justru bertanya untuk topik yang lain.