"kondisinya belum terlalu membaik," ucap laki-laki itu. Masih ada bara kemarahan di dalam matanya. Gadis itu menghela nafas melihatnya seperti itu ia yakin pria ini akan melakukan serangan lagi dan lagi. Dendam tidak akan pernah mencapai titik kepuasan. Jika saja pria ini mempan dengan ocehan-ocehan idealis Gwen.
"Nanti pulang mau balik ke tempat Niko?" tanya Gwen.
Bima mengangguk. Kalau mereka bicara serius ini semuanya memang terlihat baik. Dan lagi sebenarnya tidak setiap waktu mereka perang. Hanya saja masih terhitung dalam kapasitas sering. "Gue diajak masuk kepanitiaan kampus Fair," ucap Gwen. Bima menatapnya. Pasti karena nanti Marvel akan menolak permintaannya tersebut. Apa Bima tidak bisa membantunya untuk kali itu saja? dia benar-benar ingin seperti orang normal. Itu saja.
***
Tadinya Jaya sedang berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya membawa bata, semen, dan lainnya. Hal-hal yang biasa dilakukan seorang kuli biasa pada umumnya. Namun fokusnya terganggu saat seorang pria dengan setelan rapi berjalan padanya membuat Jaya tidak kuasa menahan geli yang menggelitik perutnya.
Tara mengumpat sekaligus memberikan tatapan kesal kepada laki-laki itu. "Oh, harusnya pakai helm pelindung tuan muda. Ini tempat proyek. Lain kali kabari kalau mau berkunjung." Jaya terus-terusan meledeknya dengan sangat puas.
Tara memilih tidak menanggapi ocehan Jaya. Sambil bersandar pada salah satu tiang yang aman dan kokoh Taramenyalakan rokoknya. Menghisap pelan, sebelum menghembuskan kumpalan-kumpalan asap dengan mulutnya.
Jaya menoleh padanya sebentar, kemudian menambah air pada semen yang sebentar lagi akan diaduknya. Tetapi Jaya tidak menanggapi pernyataan pria itu. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya. Tara melonggarkan dasinya. Entah sejak kapan kemeja itu di gulungnya sampai siku. "kelompok butuh pemimpin selanjutnya begitu gue benar-benar fokus ke perusahaan. Pak Joan terus-terusan merong-rong. Sulit buat menghindar jika dewan direksi buat ulah lagi."
Jaya menghentikan kegiatan sebentar hanya untuk menoleh pada kawan yang sudah lama akrab dengannya tersebut. "Jadi kapan loe mau fokus ke perusahaan?" tanya Jaya.
Tara bergidik, "Belum tahu, yang pasti nggak lama lagi"
Jaya berdiri tegak, setelah selesai mengaduk semua semen dan meletakkannya ke dalam ember-ember untuk dibawa pekerja yang lainnya. Ia juga turut mengambil rokok Tara, kemudian menghirupnya. "The Dragons memang makin berada di puncak semenjak Marvel memimpin menggantikan kepemimpinan kakeknya."
"Seberapa kuat tikus itu sekarang?" tanya Tara.
"Gue pikir loe udah tahu saat kalian bertarung kemarin." Jaya mematikan rokoknya yang masih tersisa. "gue mau bersih-bersih bentar." Setelah beberapa langkah Jaya berbalik, mengeluarkan ponselnya kemudian membidik Taradengan kameranya. "Lumayan buat foto pemakaman."
Lagi, Tara mengumpat. Sahabat sekalius adik dari salah satu pria yang pernah dihormatinya ini sepertinya sesekali perlu Tara berikan pukulannya. Sialnya Tara tidak bisa marah. Kedekatan mereka lebih dari sekedar teman. Jaya tahu itu, karenanya laki-laki itu benar-benar memanfaatkan keadaan untuk mencemooh Tara sepuasnya. Siapa lagi yang akan berani kalau bukan Jaya?
***
Sepulang sekolah Gwen mampir dulu ke tempat ini. Dan setiap kali ke sini selalu didapati dengan lelehan air mata. "Apa kabar Nan? Rencananya aku mau masuk kepanitiaan di kampus. Abang lagi baik tuh, tumben nggak dipermasalahin ama dia. Oh ya, kemarin aku ketemu Ibu, Ibu sekarang sehat, kamu nggak perlu khawatir Jaya menjaga ibu dengan baik. Juga, Denis udah masuk SD. Dia bilang katanya mau jadi mekanik juga. Sama kayak cita-cita kamu," Dia terus mengoceh sendirian, sampai semua sumpek dihatinya dikeluarkan.
Tara dan Jaya menghentikan langkahnya saat melihat seorang gadis tengah berdiri di kuburan Anan. Baik Tara ataupun Jaya sama-sama tidak berniat menganggu gadis itu hingga gadis itu menoleh saat menyadari seseorang didekatnya. "oh hai! " Gwen menyeka tangisnya sembari menarik ingusnya. Menyapa Jaya dengan mata sembabnya. Sepertinya mereka berdua memang sudah kena.
"Nggak perlu laporin tentang gue sama dia. Dia lebih peduli sama loe," ucap Jaya pada gadis bermata tajam itu. Gwen menanggapi ucapan Jaya dengan senyuman kecil "lama nggak bertemu Gwen. Oh ya kenalin ini Tara pemimpin Bermuda yang baru setelah Anan."
Baik Gwen ataupun Tara sama-sama bertatapan "Harusnya nggak baru lagi ya kalau setelah Anan. Udah tiga tahun berarti kan? Ah! harusnya aku langsung tau dari gambar dijaketmu." Gwen terlalu bodoh sampai melewatkan sebuah gambar serigala yang berada di belakang jaket setiap anggota Bermuda yang menjadi ciri khas mereka.
"Kalian pernah bertemu?" tanya Jaya. Baik Tara dan Gwen sama-sama mengangguk.
"Dia pernah membantuku dari kejaran preman." Gwen menghela nafas pelan saat ponselnya terus bergetar yang pasti dari seseorang laki-laki yang menunggunya di luar makam "aku pergi dulu," pamitnya. Seolah tahu alasan Gwen tidak bisa berlama-lama disana.
Jaya mengangguk, lalu mereka, Jaya dan Tara terus saja memperhatikan langkah gadis itu sampai menghilang dari pemandangannya. Dari ujung sana Jaya samar-samar bisa melihat seorang pria yang sudah menunggu. Posisinya memang berada sedikit jauh dari pintu masuk makam, pantas saja Jaya dan Tara tidak melihat tadi. Jaya tahu laki-laki yang menjemputnya tidak akan pernah menginjakkan kaki di makam ini terlebih dengan adanya Jaya dan Tara disini.
"Dia,,," Tara ragu-ragu dengan gagasan yang dikemukakannya tapi Jaya sudah menganggukinya terlebih dahulu. "Yap, dia pacarnya Anan," kata Jaya menatap Tara lalu kemudian mengubah arah menatap makam kakak sulungnya itu.
"Dia cantik kan? Anan beruntung memilikinya." Tara menatap makam Anan dengan diam. Pikirannya berkelana pada gadis yang beberapa saat lalu berdiri di tempat yang sama dengannya berdiri saat ini.
Selain kepada Jaya adik kandungnya, Anan juga dekat dengannya. Pria itu sangat sering menceritakan berbagai hal padanya terutama tentang kekasihnya. Anan tidak akan pernah bosan-bosan menceritakannya setiap ada kesempatan. Pacarnya yang sedang inilah, pacarnya yang sedang itulah, pacarnya suka ini lah dan lain sebagainya bahkan sampai di hari terakhir sebelum kematiannya Anan hanya berbicara perihal pacarnya.
"Pulang nanti main ke rumah. Ibu sudah memasakkan sesuatu," ucap Jaya saat mereka mulai berjalan keluar dari tempat itu.
"Mungkin lain kali saja. Bukan menolak permintaan Ibu, tapi Pak Joan memintaku menemuinya katanya ada satu hal," jelas Tara. Jaya mengangguk mereka sudah bertosan ala laki-laki sebagai tanda perpisahan. Saat naik menuju motornya sebelum memasang helm gerakan tangan Tara berhenti sebentar "Jay, Bermuda masih menunggu loe untuk kembali," ucapnya.
Jaya tersenyum kecut "Tidak sekarang, masih ada Denis dan Ibu yang harus gue jaga. Bukannya Alpha tidak menjadi prioritas tapi loe tahu sendiri kan." Tara hanya bisa menghela nafas panjang ketika melihat motor Jaya yang menjauhinya. Harusnya jabatan Bermuda jatuh pada Jaya bukan padanya. Kalau saja Jaya tidak memiliki tanggung jawab Ibu dan adiknya.
***