Hari ini adalah seribu hari setelah kematian Anan. Maka tidaklah mengherankan rumah sederhana itu sudah dipenuhi oleh laki-laki berjaket serigala di punggungnya. Mereka datang untuk peringatan ketua legendaris mereka. Satu dari sekian banyak orang, ada seorang gadis yang duduk menyendiri setelah berbincang-bincang dengan Jaya dan Ibu.
Gwen melamun, mengingat lagi bagaimana Anan membawanya pertama kali ke rumah ini. Memperkenalkannya pada Ibu sebagai wanita ketiga yang dicintainya setelah Ibu dan Denis. Ibu langsung memberikan Anan cubitan dirusuk saat laki-laki itu seenak jidatnya mengatakan mereka akan menikah seminggu lagi. Padahal waktu itu Gwen masih berada di sekolah menengah pertama dan Anan baru berusia 18 tahun.
Ibu juga pernah nyaris melemparkannya dengan sapu atau kayu kecil, saat laki-laki itu menganggu Gwen dan Denis yang sedang memberikan pupuk pada bunga-bunga yang dirawat Ibu. Anan dengan santainya memotong bunga kesayangan Ibu seolah-olah itu hanya rumbut belaka. Gwen terkekeh miris, menatap bunga-bunga yang tumbuh indah itu. Sekarang tidak ada lagi yang akan menganggu pertumbuhan mereka.
Tidak ada lagi yang menganggu Denis dalam tidur siangnya dengan knalpot bisingnya. Tidak ada lagi yang akan menganggu Denis bermain layangan. Tidak ada lagi Ibu yang akan menghabiskan energinya hanya untuk marah-marah atau sekedar mengoceh belaka. Bersamaan dengan itu sudah tidak ada lagi tawa membahana yang keluar dari rumah itu.
"ehm sorry ganggu. Numpang duduk boleh?" Gwen menatap sekeliling rumah yang memang sudah dipenuhi anak-anak geng tersebut. Gwen menggeser duduknya mempersilakan Tara untuk duduk disebelahnya.
"Lucu ya, kita hidup di kota yang sama selama bertahun-tahun tapi kenapa baru akhir-akhir ini sering bertemu." Tara memulai pembicaraan seiring dengan asap rokok yang dihembuskannya. "gue ngerokok nggak apa-apa kan?"
Gwen tertawa kecil, "minta izin setelah mengeluarkan asap pertama? Kacau. Kalau aku bilang nggak boleh emang mau dimatiin tuh rokok?"
"Nggak juga sih. Jadi boleh?" tanya Tara dengan sebelah alis terangkat. Menjawab dengan wajah konyolnya. Gwen geleng-geleng kepala dengan pemimpin Bermuda yang baru tersebut.
"Ngerokok aja." Gwen menarik nafas pelan "sebenarnya kak Anan pernah cerita kalau dia punya adik lain selain Denis dan Jaya. Mungkin kita pernah bertemu disuatu tempat Cuma nggak ke notice aja."
Tara menghembuskan asap rokoknya sambil mengangguk-angguk "Kak Anan pasti bilang kalau dia punya adik yang sangat tampan, sangat pintar, sangat baik, sangat sempurna."
Gwen menatap tidak percaya pada Tara. Tidak lupa dengan sebelah alisnya yang diangkatnya satu. "Idih ge-er. Kak Anan tu bilang kalau dia punya adik yang sok jago dan keras kepala."
Tara tertawa karena yang dikatakan oleh gadis itu bukanlah bohong. Tara yakin sekali Anan akan berkata seperti itu. Ah, Tara terlalu banyak merepotkan Anan di masa lalu. selain Jaya, pasti Tara yang paling menganggu pemikirannya.
"Kak Anan.." Tara menghentikan ucapannya sebentar. Tiba-tiba saja untuk alasan yang tidak dimengertinya ada rasa sesak yang menyeruak dalam dirinya "Kak Anan pasti sangat beruntung karena loe masih mengenangnya. Bahkan sudah bertahun-tahun semenjak kematiannya."
Senyum Gwen luntur, Apakah Anan benar-benar seberuntung itu memilikinya? Apakah Anan benar-benar bahagia pernah bersamanya? Karena bagi Gwen sendiri segala rasa bersalah masih kental menyusupi hatinya. Tara pasti tidak pernah tahu bagaimana hubungannya dengan Anan sebenarnya.
Apa Tara tetap akan mengatakan Anan adalah laki-laki yang paling beruntung setelah tahu kenyataan Gwen mencintai laki-laki lain saat dulu ia masih berstatus pacar Anan? Dan di mana gadis itu saat Anan menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Tara? Apakah Tara juga tetap mengatakan Anan beruntung ketika Gwen tahu kenyataan bahwa Gwen memiliki darah Elvander yang sangat kental mengalir dalam dirinya?
Dering telfon Gwen menganggu obrolan mereka sebentar. Gadis itu izin untuk mengangkat panggilan tersebut "Ya halo. Hmh, sebentar lagi. Ya nggak apa-apa. nanti Gwen minta tolong sama Jaya aja untuk diantarkan pulang."
"Kenapa? Udah disuruh pulang?" tanya Tara padanya.
"Begitulah" Gwen membalasnya dengan senyuman. Tara memperhatikan ke dalam pada Jaya yang terlihat berbincang dengan para tamu. Sangat tidak memungkin untuk Gwen merepotkan Jaya saat ini.
" Jaya sibuk banget kayaknya. Biar gue aja yang antar," tawar Tara.
"Nggak usah. Gue pesan ojek online aja." Gwen berbasa-basi.
Tara tersenyum "Nggak usah sungkan. Gue lakuin ini karena juga nggak mau dipukulin kak Anan gara-gara nggak nganterin pacarnya."
Gwen menggigit bibirnya berpikir sejenak. Sementara pandangan Tara masih mengintimidasinya. Pada akhirnya gadis itu melangkahkan kaki untuk berpamitan pada Jaya dan Ibu. Terakhir kali dia memberikan pelukan hangat pada Denis dan Ibu. Seperti biasa bocah kecil itu melepas Gwen dengan rengekan serta janji agar gadis itu sering-sering menemui mereka seperti biasa.
"Nanti aku datang pas Denis tampil di acara sekolahan," kata Gwen menaikkan kelingkingnya sebagai janji.
"Benar ya? Gwen udah janji lho" Denis sekali lagi memastikan. Gadis itu mengangguk.
"Pokoknya Denis semangat terus berlatihnya." Gwen memberikan satu usapan di kepala mereka masing-masing sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat penuh kenangan itu. Seperti biasa pula kepulangan mereka selalu dilepas Ibu dengan pesan hati-hati.
***
"kok loe bisa akrab sih sama Denis? Padahal kalau sama gue dia selalu kabur pergi ke belakang punggung Ibu." Tara membuka pembicaraan mereka di atas motor setelah beberapa menit perjalanan.
Gwen tersenyum "awalnya juga gitu. Trus suatu ketika mereka liat di ponselku ada kartun kesukaan mereka. Trus kami bahas bersama-sama. Habis itu mereka jadi dekat aja lagi. Dan berakhir kayak tadi. Tiap Anan ngajak untuk bertemu Ibu, Denis pasti udah selalu siap di depan. Masih pada mungil waktu itu. Masih pada cadel."
Gwen mengenang lagi waktu tiga tahun yang lalu. saat pertemuan pertamanya dengan dua bocah kecil itu. Bagaimana tinggah mereka yang menggemaskan hingga selalu membuat Gwen tertawa geli. "Hmmh mungkin karena loe emang suka anak kecil?" Tara juga turut tersenyum mendengarkan ucapan Gwen. Laki-laki itu dapat membayangkan seperti apa kejadiannya.
"Nggak juga. Justru aku tu jarang terlibat dengan anak kecil tapi nggak tahu kenapa sama mereka bisa akrab," katanya.
Alis Tara terangkat masih tidak percaya dengan penuturan gadis bermata tajam itu. "serius!. Aku tuh anak bungsu yang apa-apa diliatin, apa-apa dijagain. Bahkan untuk mengambil keputusan untuk diriku sendiri harus diawasi mereka dulu. Seperti misalnya pergi keluar gini. Liat tadikan? Tiba-tiba udah disuruh pulang aja."
Tara menganggukkan kepalanya. Terlihat sekali bagaimana Gwen diperlakukan dengan ketat oleh saudaranya tersebut. Bukankah di makam mendiang Anan waktu itu Gwen juga dijemput oleh seseorang? Tara berani jamin bahwa Gwen bisa saja punya satu bodyguard yang akan selalu siap menemaninya kemanapun.