"seru tuh kayaknya punya saudara." Tara yang anak tunggal selalu iri dengan mereka-mereka yang punya saudara. Rasanya selalu ada cerita unik yang tidak dia dapatkan dari anak tunggal.
"lumayan. Walaupun pada menyebalkan." Gwen tertawa lucu mengingat pertengkaran kecilnya dengan saudara-saudaranya. "Kamu anak tunggal?" Gwen menggigit bibirnya setelah itu. Merasa bersalah pada Tara yang menanyakan hal tidak sopan seperti itu pada Tara. Laki-laki itu mengangguk sebagai jawaban.
"Mama dan papa udah terlanjur masuh tanah sebelum memberikan gue saudara yang lain." Tara menyatakan hal tersebut dengan sangat santai. Seolah-olah tidak berarti apa-apa baginya.
"Sorry. Aku.."
"Biasa aja lagi. Udah lama juga. Toh pada akhirnya, cepat atau lambat semua yang bernyawa juga akan mati." Tara tersenyum geli melirik spion pada gadis yang entah kenapa terlihat menggemaskan dengan perasaan bersalahnya.
Motor mereka pada akhirnya berhenti juga dihalaman rumah dengan beberapa penjagaan yang sedikit berlebihan. Bahkan beberapa orang langsung menyambut puteri satu-satunya keluarga tersebut dengan sedikit berlebihan. Menjaga Gwen seperti tuan puteri yang sesungguhnya. Senyum Tara tertarik sedikit.
"Makasi!" ucap Gwen lantas selanjutnya berjalan memasuki kediamannya. Sebelum benar-benar tenggelam di balik rumahnya, Gwen sempat berbalik memperhatikan Tara sampai hilang dari pandangannya.
***
Suara pukulan pada samsak tinju memenuhi kediaman Tara. Pria yang baru beberapa waktu lalu mendapatkan beberapa lebam di tubuhnya akibat penyanderaan itu seolah-olah tidak merasakan laki sakitnya. Sama sekali tidak tengganggu dengan luka yang terdapat pada bagian yang tentunya belum sepenuhnya mengering.
Hanya dua orang yang berani masuk dikediaman tersebut tanpa banyak ketakutan. Satu diantaranya sudah dapat dipastikan Andreas, sosok yang paling rutin masuk kesana bahkan sudah seenaknya sendiri mengklaim sebuah kamar di kediaman itu sebagai miliknya. Orang lainnya tentu saja Pak Joan, laki-laki pengacau yang selalu berusaha menggiring Tara pada bisnis yang aman dalam versi laki-laki tua itu.
Padahal baik Pak Joan atau Tara sama-sama tahu Tara kehilangan keluarganya karena urusan bisnis yang sekarang mati-matian Pak Joan pertahankan untuk Tara. Bukankah pada hakikatnya sama saja? toh semakin membahayakan semakin baik. Tara sudah lama sekali menunggu kematian agar laki-laki itu tidak perlu merasakan kesepian lagi.
"Barangnya datang besok, pastikan Loe mengerjakannya dengan bersih." Tara bersuara bahkan sebelum dia memastikan sosok itu benar-benar Andreas. Pak Joan pasti lebih melangkah sopan dari laki-laki yang usianya tidak berbeda jauh dengan Tara tersebut.
Andreas menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu masih berdiri disana berniat mengemukakan sesuatu pada atasannya tersebut dengan tatapan keraguan. "kita mendapatkan masalah didepartemen lain, Boss."
Pukulan Tara terhenti. Nada suara Andreas sedikit serius yang mengindikasikan ada suatu permasalahan serius. Laki-laki itu menoleh ke belakang melirik pada Andreas dengan pandangan tanya. "Pembangunan pada distrik enam masih terhambat karena penghuni disana yang masih belum jera juga untuk pindah."
Alis Tara terangkat sebelah pada laporan sepele yang dikemukakan wakilnya tersebut. "Ndre, Distrik kecil gitu aja Loe nggak bisa beresin?" Tara tidak percaya dengan rekannya yang biasanya sangat kompeten tersebut.
Andreas berdehem sedikit canggung untuk melanjutkan kalimatnya namun dia masih memiliki kewajiban penuh untuk melaporkannya. "Masalahnya distrik itu dikuasai Elvander." Andreas bersuara membuat Tara langsung mengabsen kata-kata terkotor yang Tara tahu. Marvel sialan! Selalu laki-laki itu yang menghadang setiap pergerakannya.
"Sejak kapan keparat itu menguasai distrik itu?!"
Tara memejamkan matanya. Dia paling tidak suka ada yang mengganggu rencananya. Sialannya, mereka tidak bisa terus-terusan berperang secara terbuka. Kelompok kriminal dengan kekuasaan yang besar itu bukan lagi bertarung secara fisik. Mereka lebih sering mengandalkan otak. Tara menyadari hal itu.
"Cari cara secepatnya, Ndre! Loe tahukan gue nggak suka dengan namanya kegagalan?!" Andreas menganggukkan kepalanya. Pembicaraan serius seperti ini Andreas tidak perlu banyak bantahan untuk atasannya.
Tara sudah merencanakan akan membangun Cassino di distrik tersebut juga beberapa bisnis lainnya yang berhubungan bagi mereka yang kecanduan dunia malam. Benaknya sudah bisa menggambarkan distrik kumuh itu menjadi tempat yang gemerlap dengan beberapa fasilitas tempat malam yang menjanjikan.
Tara memberikan pukulan keras terakhir pada samsak tinjunya sebagai bentuk amarahnya pada Elvander. Mata Tara sudah bertekad. Kematian Anan harus dibalasnya dengan prestasi yang gemilang agar laki-laki itu bisa tenang.
***
Ruangan dengan luas dua kali tiga meter itu sengaja tidak dipenuhi cahaya yang terlalu terang namun cukup mampu mengidentifikasi setiap wajah orang yang berada disana. setidaknya ada empat orang dengan satu diantaranya berjenis kelamin perempuan. Saling beradu pandang kemudian menganggukkan kepalanya.
Satu orang pria dengan mengenakan jaket, berdiri menyalakan power point yang sudah dipancarkan sebelumnya pada layar. "Seperti yang sudah diketahui ada dua kelompok besar yang paling mendominasi. Elvander dan Bermuda. Sindikat yang ditangkap bisa dipastikan salah satu dari keduanya meskipun belum ada pengakuan apapun yang keluar dari mulut tersangka."
"kalau begitu bagaimana bisa kita menuduhnya dengan pransangka belaka…" seorang gadis menghela nafasnya sedikit lebih panjang dengan sedikit ogah-ogahan. Matanya tidak menatap pada layar tapi jelas dia sedang menyela presentasi yang disampaikan. Ia kemudian mendongak menatap rekan-rekannya yang memberikan tatapan tidak suka dengan aksinya yang tiba-tiba menyela tersebut.
"Apa? Apa semua kejahatan di kota ini hanya didalangi dua kelompok mafia itu? Belum tentukan?" protesnya pada rekan-rekan. Ia memang baru dipindah tugaskan kesana. Wajar saja dia belum mengetahui banyak hal.
"Hanya Elvander atau Bermuda yang menguasai pelabuhan. Seperti lubang gelap mereka membagi wilayah tanpa diketahui pihak kepolisian. Semua pasokan barang yang datang melalui kaki tangan mereka." Beberapa gambar kembali dipaparkan dengan layar yang dipancarkan. "memang benar kita tidak bisa memastikan dengan benar saat ini, tapi tugas kita memang menangkap bos mereka."
Layar selanjutnya menampilkan seorang pria dengan tubuh tinggi tegapnya serta matanya yang tajam. Sejenak dia memang tampak seperti bos dengan gayanya yang terkesan kuat mendominasi."Marvel Orlandio. Pimpinan Elvander saat ini setelah sang kakek lebih mempercayakan semua pada cucunya. Kejam dan cerdas. Tercatat sebagai seseorang yang menjalani bisnis properti tapi tentu saja beberapa bisnisnya dijalankan secara illegal."
"Dan kenapa tidak menangkapnya?" gadis tadi mulai tidak sabaran lagi dengan presentasi panjang yang bertele-tele seperti ini.
Pria yang berbicara itu menghampirinya. Mencondongkan badannya pada perempuan itu. "Bukankah karena itu alasan kamu dipindah tugaskan kesini?"
Saling beradu tatap memancarkan aura ketidaksukaan dengan satu sama lain. Lainnya yang berada di ruangan itu memang merasakan aura yang berbeda. Namun tidak ingin menghentikan kapten mereka yang sedang memberikan beberapa penjelasan pada puteri manja satu itu.
"Kau harus tahu Aku paling tidak suka ada pengacau di timku. Aku tidak peduli bagaimana orang lain memperlakukanmu. Masuk dalam timku kau harus gunakan otakmu atau kau bisa menelepon ayahmu untuk pindah divisi."
Setelah perkataan tajamnya tersebut sang kapten meninggalkan ruangan tersebut diikuti anggotanya yang lain. tinggal dia saja sendirian yang berada di ruangan itu dengan mata terpejam. Ah, rasanya dia ingin menghajar laki-laki itu tapi dia tahan untuk saat ini. Membuktikan pada laki-laki itu bahwa dia mampu dengan tugas tersebut lebih baik. Sudah cukup selama ini dia diremehkan dengan nama besar ayahnya sebagai seorang komandan pusat.
Laenora atau Nora namanya. Ia sendiri tidak pernah meminta akan terdampar dari tempat yang jauh seperti ini. Hanya ada satu alasan kenapa dia menyetujuinya. Nora sudah akrab dengan sikap pembangkangnya. Mungkin karena segan dengan jabatan ayahnya. Namun kapten kali ini berbeda. Menarik!
"Okeh! Mari kita lihat berapa lama permainan ini berlangsung papa!" ucapnya membaca potret laki-laki mafia tersebut. kasus mafia memang yang kali pertama ditanganinya. Sangat wajar dia tidak mengerti dengan banyak hal.