Agenda sorenya adalah bermain di taman belakang bersama laki-laki itu. Sudah pernah dikatakan bukan, selama laki-laki itu berada didekatnya tidak pernah sedikitpun ia membiarkannya tenang membaca buku-buku fiksinya. Selain renang, olah raga lain yang turut digemarinya adalah basket.
Memang tidak ada yang percaya bahwa gadis feminin itu cukup hobi bermain basket meski tidak terlalu mahir. Jika ada yang bertanya alasannya semua bermula dari beberapa tokoh idolanya yang juga hobi bermain basket. Ah, mungkin terlalu berlebihan jika disebutkan sebagai hobi. Katakan saja suka, dia suka bermain basket. Sesekali.
Menunggu jam pulang kerja kakaknya mereka memang sering menghabiskan dengan berbagai hal. Selain main baseket kadang-kadang mereka jogging atau bermain PS. Atau kadang-kadang Bima mengajaknya keluar sekedar bersepeda di taman atau melakukan kegiatan yang lainnya. Memang jika bersama Bima laki-laki itu akan sering membuatnya melakukan aktivitas fisik yang berujung pada pembakaran kalori.
Hal ini dikarenakan Bima tidak tahan melihat lemak dipipi wanita itu yang menurutnya gendut. Padahal bisa dikatakan badannya tidak terlalu gendut namun juga tidak terlalu kurus dan seideal artis-artis bolllywood ataupun korea. Badannya memang sedikit berisi saja dengan bentuk wajah yang bulat serta pipi yang lumayan tembam. Namun entah kenapa Bima masih merasa gadis itu terlalu gendut.
"Cie yang sekarang udah jago mencetak poin." Laki-laki itu meledeknya. Ia benci itu. Padahal ia baru memasukkan beberapa kali ke dalam ring setelah dari sekian banyak percobaan. "jadi gimana, masih mau lanjut ikut kepanitian itu?" ucap Bima sambil memantul-mantulkan bolanya ke lantai.
"Udah mulai minggu kemarin rapat pertama. Zahwa juga ikut," ucapan terakhir Gwen berhasil membuat Bima kehilangan fokusnya. Dalam beberapa minggu terakhir waktunya memang lebih banyak tersita kepada musuhnya dan Niko yang masih menggigil jika mengingat insiden pemukulannya itu.
"Loe nggak bakal diterima kepanitiaan," celetuknya yang tau kemana arah pemikiran laki-laki itu. Kali ini Gwen berhasil merebut bola dari pria yang sedang kehilangan fokusnya itu.
"Kali aja jadi seksi perlengkapan," jawabnya dengan percaya diri. Secara bundanya juga sering minta tolong padanya untuk bantu-bantu seksi perlengkapan. Jadi bisa dikatakan laki-laki itu cukup berpengalaman.
"OR-nya udah tutup," balas Gwen yang masih menguasai bola di tangannya.
Bima mendengus. Untuk hal-hal kampus seperti itu. Kurang menantang baginya saat hanya bermain dengan mereka yang masih takut terjerat banyak aturan. Paling-paling aksi paling brutal mengkritik aturan. Bima lebih suka melanggar aturan.
Karena hal itulah dari dini dia sudah masuk organisasi mafia yang dipimpin sepupunya sekalipun keberadaannya di perlukan hanya saat-saat melakukan kekerasan saja. Marvel belum mau melibatkannya akan banyak hal. Bukan karena tidak percaya. Tapi menyuruh laki-laki itu untuk bisa sedikit menikmati waktu bebasnya.
"Abang!!" Gwen berlari ke depan rumah begitu mendengar suara salam laki-laki. Semenatara Bima berjalan santai menatap punggung gadis itu. Bukannya sekarang Bima tidak ada agenda, dalam waktu dekat mereka akan bertarung lagi dengan Bermuda. wakil dari geng itu meminta tantangan lagi. Dan tentu saja mereka kembali membutuhkan strategi.
Tetapi sore ini Bima lebih memilih mengisi waktunya dengan putri tunggal itu. Selama ini kegiatan yang dilakukannya termasuk menganggunya membaca fiksi adalah tidak lain agar gadis itu tidak terlalu merasa kesepian dengan apa yang dialaminya saat ini. Bima sendiri tidak mungkin membawa gadis itu kelingkungan pertemanannya. Berada dilingkungan hingar-bingar sama sekali bukan gaya gadis setengah introvert itu.
"Udah bisa mencetak tiga poin?" Gwen memajukan bibirnya. Tidak Bima, tidak Abangnya, kedua orang itu juga turut meledeknya tiap kali bermain basket. Memang disaat semua orang lebih memilih untuk kegiatan marching ataupun cheeledears Gwen justru lebih memilih untuk bermain basket. Mungkin ini dampak dari punya saudara laki-laki.
***
"Bagaimana hasilnya?" Tara yang akhir-akhir ini disibukkan oleh Pak Joan memang agak sedikit ketinggalan dengan informasi yang ada di kelompoknya. Sayangnya Tara tidak bisa menyerahkan jabatan begitu saja. Bermuda bukanlah kelompok kecil, pemimpin haruslah orang yang tangguh dan memiliki kriteria tertentu sebagai pemimpin. Terutama memiliki dedikasi yang tinggi terhadap geng. Pemimpin geng harus kuat, serta cerdas.
Andreas, sang wakil sudah siap dengan sebuah pulpen dan kertas yang ditempelkan di dinding. "kepala polisi yang baru itu semakin mengetatkan pengawasannya di pelabuhan. Saya sudah mengatakan untuk bertindak hati-hati pada orang kita. Transaksi bisa dilakukan saat dini hari ketika para penjagaan sedikit di turunkan."
Tara tersenyum smirk "berapa orang yang berada disana?"
"menurut pengamatan Rega totalnya ada 50 orang yang berjaga. Kita harus berhati-hati sebelum mereka mencium transaksi yang akan kita lakukan." Andreas menjelaskan situasi dengan cermat.
Tara menggeleng, "kita hanya perlu melakukannya dengan tepat dan cepat. Bilang sama yang lainnya untuk tidak bertindak bodoh kali ini. Semua harus pada tugas masing-masing."
Sebagai geng besar, geng Bermuda tentu tidak memiliki satu musuh saja. Dan tidak melakukan satu kegiatan saja. Perdagangan senjata juga mereka lakukan. Tentu saja dengan illegal. Demi mempertahankan posisi puncak banyak kelompok-kelompok lain yang ingin ditaklukkannya. Entah itu kelompok kecil atau besar, entah itu mafia atau bukan, selama mereka mengibarkan bendera perang selama itu pula Bermuda selalu siap untuk menyerang mereka.
Tara menyandarkan raganya setelah diskusi berdua dengan Andreas terselesaikan. "Jaya masih belum ingin kembali?" Andreas bertanya sambil meletakkan catatannya.
Tara mengeluarkan rokoknya, menatap kosong pada seisi ruangan "katanya masih ada tanggungan yang diembannya. Mungkin saja Ibu masih belum siap untuk kehilangan putranya sekali lagi."
Andreas juga turut menghembuskan asap rokoknya. Laki-laki berambut agak gondrong dengan mengikat rambut bagian atasnya itu menengadah menatap kosong pada langit-langit. "Padahal Kak Anan pendiri kelompok ini. Akan lebih sah jika Jaya yang akan melanjutkan tugas-tugas ini."
Tara mengangguk mengiyakan. Anan membentuk kelompok itu bermula dari geng kecil hingga membawanya ke posisi puncak. Sayangnya laki-laki itu tidak lama berada ditahtanya karena ajal yang terlalu cepat menjemputnya. Setelah kematiannya, Anan masih menjadi sosok yang dihormati oleh bawahannya. Jaket pria itu masih terpajang abadi di salah satu dinding tanpa ada yang berani menyentuhnya. Anan juga selalu disebutkan dalam setiap pencapaian mereka.
Kilasan Tara kembali ke beberapa tahun silam. Saat dirinya melakukan pemberontakan terhadap Pak Joan hingga kabur dari rumah. Dia yang nyaris semaput di jalanan dibawa Anan ke tempat kumuh ini. Saat itu Anan tidak bicara apa-apa, laki-laki itu hanya diam menatapnya memakan sebungkus roti.
Semenjak saat itu Tara langsung menjadikan laki-laki itu sebagai panutan setelah tahu kerasnya kehidupan yang dijalaninya. Anan dipaksa menjadi dewasa diusianya yang masih remaja. Pemberontakan Tara tidak ada apa-apanya dibandingkan tanggung jawab yang dimiliki oleh lelaki yang selalu tersenyum ramah tersebut.
***