Mobil yang dikendarai oleh Anton masuk ke lahan parkir Club Mawar, membuat beberapa orang yang ada di sekeliling memandang dengan menyipitkan kedua matanya, heran dengan kehadiran dua orang asing di tempat mereka.
Waktu menunjukkan pukul 4, beberapa orang sudah mulai sibuk menyiapkan semua perlengkapan dan ruangan untuk menerima para tamu di malam hari. Tanpa melihat ke kanan kiri Afzal langsung masuk ke club mawar. Ia disambut oleh seorang seorang laki-laki berseragam hitam yang menyuruhnya untuk memilih ruangan VIP.
Anton yang mengikuti Afzal hanya bisa mengerutkan keningnya ketika dia melihat situasi di ruang VIP yang di tunjuk oleh petugas. Ruangan khusus dengan desain yang sangat elegan itu kini ditempati oleh Afzal. Ia yang memilih duduk di sudut ruangan. Pandangannya ia arahkan ke luar melalui jendela kristal. Di sana dia melihat beberapa orang sedang sibuk berlatih menembak dengan seragam berwarna hitam. Rasa tertarik untuk melihat dan mengamati pergerakan mereka benar-benar membuatnya penasaran dengan kelompok yang kini masih berlomba menjadi seorang penembak jitu.
Anton yang mengikuti arah pandang Afzal juga terpesona menyaksikan pemandangan yang ada di hadapannya.
"Mengapa kamu mengikuti aku? Bukannya kamu memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada sekedar duduk bersamaku? Aku sama sekali tidak suka ketika suasana hatiku sedang kacau seperti ini, ditemani oleh sahabat ataupun manusia manapun. Aku berharap kamu paham akan keinginanku."
Anton menganggukkan kepala. Perlahan dia bangkit lalu memastikan bahwa apa yang diucapkanAfzal hanya gertakan sambal semata. Dia ingin Afzal menarik ucapannya. Namun menunggu beberapa lama tidak membuat laki-laki itu mengurungkan kalimatnya. Afzal benar-benar menghendaki Anton meninggalkan dirinya di ruang VIP tersebut. Apalagi saat seorang bartender datang membawakan minuman yang dipesan oleh Afzal tanpa sepengetahuan Anton.
Satu sloki 2 sloki perlahan namun pasti, minuman yang disajikan oleh bartender habis. Belum ada tanda-tanda dirinya mabuk. Beberapa kali Anton mencoba melambaikan tangan kepada bartender agar dia tidak memberikan minuman tambahan untuk Afzal karena ia khawatir laki-laki itu akan ke kehilangan kesadarannya, namun bartender itu menolak permintaan Anton karena Afzal benar-benar memaksa dirinya untuk memberi minuman yang sama dengan apa yang tadi diminum oleh Afzal.
Anton masih terpana menyaksikan ruangan Afzal yang didatangi oleh seorang gadis muda bertubuh berkerudung biru. Ia yakin wanita itu bukan wanita sembarangan. Terbukti dari beberapa kali dia mencoba mencari tahu informasi tentang Afzal kepada seorang pengunjung.
"Awas aja kalau kedatanganmu untuk mengacaukan pikiran bosku. Aku tidak akan pernah memberi ampun kepadamu meskipun kamu hanya seorang wanita lemah. Aku harus tetap waspada agar tidak kehilangan jejaknya." Anton melangkah meninggalkan kursinya menuju ke luar bar. Dia merasa ada sesuatu yang sedang mengincar dirinya apabila dia berada di tempat itu Ia yakin seseorang pasti akan membuat dirinya celaka karena mengawasi Afzal dengan begitu ketat dan tidak membiarkan orang lain mengganggu bosnya.
Beberapa kali ia melihat orang-orang memandang dia dengan pandangan kesal namun dia sama sekali tidak peduli karena dia memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat untuk menjaga keselamatan Tuannya.
"kamu orang baru di sini, Tuan? Kalau boleh saya tahu apakah aku kau izinkan untuk duduk menemanimu di sini? Aku sedang mencari seseorang bernama tuan Raharja. Apakah Tuan mengetahui tentang laki-laki ini aku datang dari luar kota. Beberapa bulan yang lalu aku menolong seorang laki-laki yang sedang dikeroyok oleh massa. Dia benar-benar kewalahan dan nyaris kalah. Aku tidak tahu bagaimana harus bertindak saat itu. Yang aku pikirkan hanya bagaimana laki-laki itu selamat dan tidak menjadi korban keberingasan preman. Apakah Tuan tahu apa yang selanjutnya aku lakukan?"
Afzal yang sudah mulai terpengaruh oleh minuman beralkohol, kini mengerutkan dahinya mendengarkan penuturan seorang wanita dihadapannya yang mencari dirinya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau dia akan menemukan gadis yang menolongnya di klub malam ini.
"Duduklah dan bicara dengan jelas. Aku tidak suka orang lain mengajakku bicara dalam posisi dia berdiri dan aku duduk."
wanita itu mengangguk lalu dia menarik kursi di hadapan Afzal. Beberapa kali dia menundukkan kepalanya, berpura-pura malu pada laki-laki yang kini menatapnya. Afzal yang selama ini penasaran dengan gadis yang sudah menolongnya, kini menatap wanita di depannya dengan tatapan penuh selidik. Dia tidak ingin percaya begitu saja pada pengakuan orang yang mengaku telah menolong dirinya dari ancaman mafia yang mengeroyoknya. Namun mendengar penjelasan dari wanita dihadapannya, tidak ada alasan baginya untuk tidak mempercayai semuanya.
"Siapa namamu dan mengapa kamu menceritakan sesuatu yang sama persis dengan yang aku alami." gadis di hadapan Afzal tersenyum malu-malu.
"Namaku Miranda Tuan. Aku datang dari kota Purwokerto. Aku seorang mahasiswa di salah satu universitas favorit di kota Jogjakarta ini."
Afzal mengangguk lalu dia tersenyum. Beberapa kali dia merasa kepalanya pusing, namun ia bertahan agar tidak menyerah pada kondisi yang sedang dialaminya saat. Dia melihat Miranda. Ia benar-benar merasa seperti berada pada genggaman tangan penyelamatnya. Tidak ada yang dilakukan sama sekali bahwa gadis yang mengaku sebagai penolongnya itu. Benar-benar seorang gadis lembut seperti Miranda saat ini.
"Bagaimana aku harus percaya pada ceritamu? Saat itu aku benar-benar tidak mengenali siapa yang menolongku tetapi mendengar ceritamu aku bingung. Apakah harus percaya atau tidak."
Miranda tersenyum sekali lagi.
"Memang sulit membuktikan seseorang mengucapkan benar atau salah tanpa bukti. Apakah aku boleh memberikan bukti itu Tuan? Saat aku menolong Tuan, aku memakai pakaian berwarna biru dan aku yakin Tuan pasti masih mengingat pakaian itu. Coba bayangkan kalau aku bukan penolong Tuan. pasti aku tidak bisa beritahu pakaian apa yang aku pakai saat itu karena tidak ada orang lain yang melihat perkelahian itu kecuali aku dan mafia itu."
Afzal menganggukan kepalanya, paham dengan apa yang diucapkan oleh Miranda saat ini. Tidak ada bantahan atas pengakuan Miranda karena ia juga melihat gadis berpakaian dan berkerudung biru yang datang menolongnya. Dan sosok itu tidak jauh dari sosok Miranda saat ini.
"Lalu apa yang kau inginkan dariku? Apakah kau ingin uang, rumah atau kedudukan di perusahaanku agar aku bisa membalas jasa atas pertolonganmu saat itu?"
Miranda menggelengkan kepalanya. Dia yakin kalau langsung menyebutkan harta atau kedudukan, Afzal tidak akan pernah percaya kalau dia adalah penolong sejatinya.
"Aku tidak memilih apapun Tuan. Aku ikhlas melakukannya. Menolong seseorang adalah kewajiban bagi setiap orang apalagi orang tersebut dalam keadaan terjepit dan tidak memiliki banyak cara untuk melarikan diri dari musuhnya. Aku sama sekali tidak menginginkan kamu atau uangmu. Aku bahagia ketika melihat Tuan bisa duduk disini dalam posisi sehat dan aman.'
Afzal menganggukan kepala lalu ia mengulurkan tangannya meraih tangan Miranda.
"Terima kasih atas segala pertolonganmu kepadaku saat itu. Kalau kamu tidak menolongku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Aku benar-benar tidak memiliki kekuatan karena banyak sekali anak buah Leo yang unggul dan kamu tahu itu kan.?"