Miranda menganggukan kepala lalu dia meletakkan tangan Afzal di meja di hadapannya. Sebenarnya dia risih ketika tangan lembut milik Afzal memegang tangannya karena dari sebuah ruangan kekasihnya mengawasi semua tindakannya.
Miranda adalah utusan dari Alex anak buah Leo yang sangat setia kepadanya. Alex adalah saksi saksi kunci peristiwa penyerangan saat dia baru pulang dari kantornya. Alex juga merupakan salah satu penyerang Afzal yang memiliki andil besar terhadap peristiwa bersejarah dalam kehidupan laki-laki muda yang kini benar-benar terlihat sangat rapuh.
"Ikutlah denganku dan aku akan membawamu ke rumah. Sebagai ucapan terima kasih aku akan memintamu untuk menjadi istriku. Apakah kamu bersedia? Aku sudah berjanji suatu saat nanti ketika seseorang yang menolongku datang, maka saat itu juga aku akan menikahinya. Kalau dia seorang wanita. Itupun kalau kamu tidak berkeberatan. Untung saja Andini tidak menerima pinanganku saat itu. Kalau dia mau menerima pinanganku, aku tidak tahu bagaimana kejadian selanjutnya bahwa aku menikahi orang yang salah."
"Andini? Siapa Andini Tuan? Apakah dia kekasihmu?"
Afzal menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menceritakan semua hal tentang Andini seperti yang ia ketahui selama ini. Miranda yang mendengar penuturan Afzal menganggukkan kepala tanda mengerti lalu dia diam sambil menunggu reaksi Afzal selanjutnya.
"Bangun dan kita akan kembali ke rumah. Jangan pernah menolakku karena aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara berterima kasih selain menikahimu."
"A-apakah aku tidak memiliki pilihan lain Tuan. Menjadi adikmu misalnya kau menjadi sahabat yang sangat engkau percaya dan dijadikan sebagai penasehatmu? Aku ini seorang psikolog Tuan. Apapun masalah anda bisa disampaikan kepadaku dan aku akan memberikan solusi untuk semua masalah tuan." Afzal memandang Miranda dengan mata berbinar. Ia bangga pada kemampuan gadis di hadapannya. Ia selama ini mencari seorang psikolog yang bisa membantunya melepaskan diri dari beberapa masalah yang menghimpit hidupnya, namun ia gagal menemukannya dan kali ini Tuhan memberikan Miranda kepadanya
"Apakah kamu benar-benar seorang psikolog? Kamu belajar di manaa selama ini? Kamu sama sekali tidak pernah bertemu denganku? Dimana tempat kerjamu atau kamu masih menjadi seorang mahasiswa jurusan psikologi?"
Afzal dan Miranda melangkah meninggalkan ruang VIP Club Mawar sambil bergandengan tangan. Perasaan mereka masing-masing berbeda. Asal berbunga-bunga karena dia menemukan orang yang selama ini ia cari sedangkan Miranda merasa khawatir ketika semua tindakannya diketahui oleh Alex. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya kepada Alex saat dia bertemu dengan kekasihnya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan pernah berpikir aku akan mengabaikan kamu selama kamu berada di rumahku. Aku akan selalu menjagamu dengan segenap jiwa dan ragaku seperti kamu menjagaku saat itu."
Miranda menganggukkan kepala. Dia pandang wajah Afzal lalu tersenyum. Dalam hati ia menyesali semua perbuatannya karena telah berbohong kepada laki-laki yang sama sekali tidak pernah berbuat salah kepadanya, namun dia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintah kekasih yang selama ini membiayai hidupnya.
"Aku tidak berpikir apapun. Hanya kepergianku ke sini belum berpamitan dengan kedua orang tuaku. Bagaimana kalau mereka mencariku? Aku khawatir mereka akan mencari kemana-mana dan kebingungan ketika melihat diriku tidak kembali ke rumah. Apakah ada usul yang terbaik untukku? Apakah tidak lebih baik aku pulang terlebih dahulu ke rumah ibu dan bapakku baru kemudian aku mengikuti kamu ke rumahmu?"
Afzal menggelengkan kepalanya. Dia memikirkan sesuatu yang sederhana. Tidak serumit pikiran Miranda. Apapun bagi Afzal tidak ada yang sulit. Semua bisa ia genggam di tangannya dengan sangat mudah.
"Aku akan mengirimkan anak buahku untuk datang ke rumahmu dan meminta izin kepada kedua orang tuamu."
"Tapi apakah tidak merepotkan? Mereka pasti beranilah menceritakan semua kronologi yang membuat aku tidak pulang ke rumah."
Afzal mempererat pegangan di tangan Miranda. Ia benar-benar merasa sangat beruntung karena memiliki gadis yang lemah lembut yang saat ini bersedia untuk ikut bersamanya ke rumah. Beberapa kali ia mencium tangan Miranda di depan banyak orang, membuat Alex yang sedang mengawasi kegiatan mereka mengeraskan rahangnya dan mengepalkan kedua tangannya.
Miranda yang tahu reaksi Alex mencoba untuk melepaskan pegangan tangan Afzal, namun ia gagal. Bukan melepaskan tangan Miranda, Axel justru mempererat pegangannya.
"Tidak usah malu kepada mereka karena dunia ini hanya milik kita berdua. Aku bisa membeli semua ini dan ku katakan kepadamu, kalau kamu mau. Mereka semua juga bisa aku jadikan sebagai asisten. Aku mau, saat kau bersamaku, jangan menunduk seperti itu. Tegakkan kepalamu dan pandanglah kedepan. Aku lebih suka gadis yang penuh percaya diri daripada gadis pemalu. Ingat itu karena kamu akan menjadi pendamping hidupku."
Miranda mengangguk lalu dia mencoba untuk menuruti perintah Afzal tanpa menghiraukan semua yang dilakukan oleh Alex. Dengan penuh percaya diri dia menatap kedepan menegakkan badan dan kepalanya tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya. Alex melihat perubahan Miranda benar-benar merasa tidak habis pikir. Alex menggelengkan kepala seolah dia menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Miranda saat ini adalah murni karena keinginannya, bukan karena keinginan Miranda. Ia ingat bahwa Miranda mencoba merayu Afzal karena perintah bukan atas kemauan Miranda sendiri sehingga saat ini Alex menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan untuk mengatur emosinya. Beberapa anak buah Alex tersenyum melihat perubahan sikap atasannya. Mereka merasa lega karena akhirnya Alex mau menerima kenyataan bahwa kekasihnya kini bersama dengan musuh yang sangat dibencinya.
Sampai di halaman Club Mawar, Afzal segera mencari keberadaan Anton. Beberapa kali dia memandang sekeliling mencoba mencari keberadaan anak buahnya sekaligus drivernya. Beberapa menit berlalu namun belum ada tanda-tanda Afzal menemukan posisi Anton sehingga dia memilih untuk mengeluarkan kunci cadangan dan membuka pintu mobil sport warna hitam dan meminta Miranda untuk masuk dan duduk disebelah kemudi.
"Mobilmu bagus sekali Tuan. Aku merasa malu ketika harus masuk ke mobil semewah ini."
Afzal menggelengkan kepalanya lalu ia memegang tangan Miranda mencoba menguatkan gadis itu agar tidak merasa rendah diri pada apa yang saat ini dihadapinya.
"Sudah aku katakan kepadamu saat kamu bersamaku kamu harus percaya diri jangan pernah merasa rendah diri. Kamu lebih berharga dibanding mobil ini kalau kamu ingin tahu. Cintaku kepadamu benar-benar tidak bisa digantikan dengan apapun. Maka jangan pernah berpikir bahwa kamu merasa tidak pantas untuk duduk di sebelahku dalam mobil ini. Kalau kamu menginginkan mobil ini atau yang lebih mewah dari ini, aku bisa memberikannya saat ini juga." Dalam hati sebenarnya Miranda tersenyum bahagia karena ia membayangkan dirinya akan mendapatkan sesuatu yang selama ini ia inginkan dengan sangat mudah. Namun sekali lagi, saat ini dia tidak boleh terlalu gegabah karena mengeluarkan aura bahagia. Hanya sedikit saja kebahagiaan ia pancarkan, pasti akan membuat orang-orang di sekeliling Afzal akan mencurigainya.