"Au!" Falisha meringis saat Fathur terlalu kencang menyentuh luka di lututnya.
Lamunan Fathur seketika buyar, lalu ia membuang kapas dan menjauh berjalan ke arah jendela.
"Far! Lanjutin obatin luka gue!" pinta Falisha.
"Lo punya tangan dan udah bukan bayi yang apa-apa perlu gue yang bantu!" sahut Fathur dengan nada tinggi.
"Far," panggil Falisha dengan nada memelas.
Fathur tak menyahut, ingatannya kembali berputar mengingat kejadian beberapa saat tadi waktu Reval mengatakan dirinya egois dan hanya membawa Mecca dalam pahitnya luka tanpa akhir.
'Gimana sekarang keadaan lo, Ca?' ucap batin Fathur.
Fathur pun mengambil tasnya di atas lemari dan melongos pergi, meninggalkan Falisha yang berulangkali berteriak memanggil Fathur.
"Ckk! Gue harus gunain cara yang lebih aman agar Reval gak mempermalukan gue seperti tadi!" Bukannya Falisha akan berhenti melukai Mecca, tetapi ia akan menggunakan cara lain.
Setibanya di kelas, Fathur mengedarkan pandangannya yang langsung tertuju pada meja Mecca, tetapi kosong.
"Megan." Fathur menghampiri meja Megan.
"Apa?" sahut Megan ketus.
"Mecca mana?" tanya Fathur.
"Heh!" teriak Megan mengarahkan pulpen di tangannya ke arah wajah Fathur.
"Lo pikir setelah kejadian kemarin, Mecca jatuh di tangga, bakal hadir hari ini. Pikir! Orang gak waras pun tahu, jatuh di tangga yang tinggi, emang ada yang gak terluka!" teriak Megan mendorong kasar bahu Fathur.
Fathur hanya diam, tidak memberi perlawanan.
"Seharusnya lo tinggalin Mecca aja, Far. Biar Falisha berhenti nyakitin Mecca, karena Falisha itu suka sama lo!" teriak Theresia.
"NGGAK!"
Lagi-lagi perintah meninggalkan Mecca harus Fathur dengar. Ia benar-benar benci kata itu, karena sedikitpun Fathur tak ingin meninggalkan Mecca.
Theresia mendekat, mendorong pelan kepala Fathur.
"Kalau lo gak mau ninggalin Mecca. Setidaknya lo harus menjadi tameng pelindung buat Mecca bukan malah membela pelaku kejahatan yang gak waras itu!" murka Theresia.
Pelajaran pun berlangsung, setelah Bu Rusida masuk memberi materi pelajaran Biologi.
Pikiran Fathur hanya berisikan tentang Mecca. Khawatir bercampur kebimbangan meliputi pikiran Fathur, rasanya ia ingin sekali langsung bertemu Mecca sekarang. Tetapi tak mungkin, ia harus sedikit bersabar menunggu waktu pulang.
Reval merenung, pikirannya hanya berpikir bagaimana melindungi adiknya agar setelah ini sedikitpun Falisha tidak berani lagi menyentuh Mecca walaupun adiknya masih bersama Fathur. Karena ia tahu, adiknya sangat mencintai Fathur, begitupun Fathur. Hanya saja, Falisha yang membuat hubungan keduanya untuk baik-baik saja sulit.
"Gue rasa ancaman lo tadi udah sedikit membuat nyali Falisha menciut," ucap Evan menyeruput segelas boba.
"Betul. Jelas terlihat dari wajahnya sedikit ketakutan tadi, harus lebih kejam lagi abis ini, Val," sahut Dimas.
"Gue hanya ingin Falisha tidak bermain fisik pada Mecca lagi, kasian Mecca. Hidupnya yang ia rasa seperti hanya dikelilingi oleh luka," ucap Reval tak ingin melihat adiknya terluka lagi.
Evan dan Dimas mengangguk membenarkan, sebagai sahabatnya Reval. Mereka sudah menganggap Mecca sebagai adik mereka juga.
"Tapi gimana sekarang keadaan Mecca? Masih di rumah sakit atau di rumah?" tanya Evan.
"Udah di rumah, dia gak mau di rumah sakit karena trauma. Nyesel gue baru tau," jawab Reval.
"Trauma kenapa?" tanya Dimas.
Reval menatap ke arah lain, melihat seseorang yang baru saja ia ancam datang ke kantin dengan jalan terpincang-pincang.
"Woy! Ratu drama!" teriak Reval, membuat Falisha menatap ke arah pemanggil dan membelalakkan matanya.
'Ckk! Kenapa harus ketemu mereka lagi sih!' ucap batin Falisha.
Falisha pun memilih mengabaikan dan buru-buru pergi dari kantin. Melihat itu Evan dan Dimas langsung tertawa.
"Haha ... rasain! Takut jugakan akhirnya," ucap Dimas.
Reval meminum minumannya, menatap layar hpnya yang bergetar muncul pesan dari nomor tidak di kenal, tetapi Reval sangat mengenal ketikan pesan dari sang pengirim ini. Seulas senyum terbit di wajahnya.
"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Evan.
"Gak papa, Mecca barusan ngechat. Yuk! Ke kelas." Reval dan teman-temannya pun pergi kelas.
Bel pulang akhirnya berbunyi, Fathur langsung secepat mungkin berlari menuju parkiran untuk segera ke rumah Mecca.
Falisha yang melihat kembarannya berlari tergesa-gesa menuju parkiran, menatap heran. Ia pun mengejar Fathur, karena tahu jika Fathur akan ke rumah Mecca.
Namun, terlambat. Fathur sudah pergi dan hilang setelah keluar pagar. Falisha berdecak kesal, ia gagal menahan Fathur untuk tidak menemui Mecca dan hari ini Falisha benar-benar kesal karena ia telah dipermalukan oleh Reval.
Tak banyak memakan waktu perjalanan menuju rumah Mecca, Fathur berhenti di perumahan yang cukup luas dengan pagar yang tinggi.
Fathur mengeluarkan hpnya, mencoba menelpon Mecca. Tetapi tidak bisa di hubungi seperti sebelumnya, membuat Fathur menatap ke arah jendela kamar Mecca.
"Ckk! Di liat doang pesan gue," gerutu Mecca.
"Mana sih Reval meletakkan hp gue," lanjutnya bangun mencari-cari di meja belajarnya, tetapi tetap tidak ketemu.
Tuk! Tuk!
Suara lemparan krikil terdengar, Mecca menatap heran jendelanya yang di lempari krikil oleh seseorang.
"Siapa yang ngelempar krikil ke jendela kamar gue?" Mecca pun membuka jendelanya, begitu tatapannya bertemu dengan lelaki yang sangat ia kenal, tetapi hatinya mendadak langsung nyeri.
Dinginnya wajah Mecca, hampir sama dengan es batu. Dingin dan keras, tetapi Fathur berusaha mencairkan.
Keduanya tengah berada di taman didekat rumah Mecca. Gadis itu tetap menemui Fathur, padahal hatinya ingin sekali marah dan memberi pelajaran pada Fathur.
"Ngapain lo ke sini?" Mecca bertanya tanpa menatap Fathur.
Sedangkan Fathur perlahan ingin menggenggam tangan Mecca, tetapi dengan cepat gadis itu menarik tangannya.
Helaan napas kasar terdengar dari Fathur. "Gue tau gue salah, Ca. Maaf dan maaf, hanya kata itu yang bisa gue katakan."
Mecca memalingkan wajahnya ke arah lain, hatinya sakit. Ia tidak bisa lupa tiap masalah yang menimpa hubungannya dengan Fathur akibat ulah Falisha.
"Tapi kata maaf seperti tidak bisa buat hati gue ikhlas dengan apa yang udah lo lakuin!" Mecca berdiri memberi jarak antara dirinya dengan Fathur.
"Ca." Fathur dengan cepat menarik tangan Mecca hingga gadis itu terduduk kembali ke kursi sampai Fathur.
Cekalan tangan Fathur yang kuat, membuat Mecca tak bisa untuk pergi.
"Jangan kaya gini, Ca. Gue semakin merasa bersalah karena udah buat lo terluka," ucap Fathur dengan suara serak.
Mecca beralih memberanikan menatap Fathur, matanya membulat melihat laki-laki di sampingnya menangis.
"Apa lo terluka parah, Ca? Bilang sama gue mana yang sakit dan bagi sama gue." Fathur tak bisa menyembunyikan rasa cemas dan bersalahnya pada Mecca.
"Sejak kapan lo peduli gue terluka dan mana yang sakit?" Mecca menatap ke arah lain dengan tatapan kosongnya.
"Luka ini udah terlalu sakit untuk ditimpakan ke orang lain, Far!" lanjut Mecca dengan air mata yang tanpa sadar lolos di pelupuk matanya.