Suara tangis yang ditahan agar tidak bersuara, tetapi rasanya sakit sekali. Begitulah Mecca, menumpahkan rasa sakitnya lewat air mata.
Ia sudah kembali ke rumah, setelah meninggalkan Fathur sendirian di taman. Mecca belum siap bertemu Fathur, kekesalan dan rasa sakit yang ia rasakan, membuat Mecca melihat wajah Fathur saja ia tak sudi. Bahkan untuk membagi rasa sakitnya pada pacarnya itu, ia tak mau karena percuma bagi Mecca.
"Gue gak boleh menangis, nanti keliatan lemah, Mecca!" Berucap pada dirinya sendiri di depan cermin.
Mecca menghapus jejak air matanya dan merapikan rambutnya yang berantakan. Bagian pipinya lebam dan bagian bibir bawahnya pun robek. Ia memejamkan matanya, wajahnya terlihat menyedihkan bagi Mecca dan itu semua karena ulah Falisha--kembaran Fathur, pacarnya.
"Akan ada suatu hari di mana gue akan balas semua perbuatan lo sama gue, Fal. Tapi gak sekarang, gue pun akan beri sedikit pelajaran untuk Fathur!"
Mecca menatap nampan berisi makanan yang berada di atas lemari dekat kasurnya. Ia pun mengambil dan memakannya karena butuh isi tenaganya yang sudah lemah.
"Reval di mana sih meletakkan hp gue!" gerutu Mecca kesal sambil menyuap makanannya.
Tiga remaja keluar dari mobil sport berwarna merah, memasuki pusat perbelanjaan, menjadi pusat perhatian karena pesona remaja itu.
"Gue sebenarnya males banget pergi ke mall, tapi karena Reval yang mau. Ya, udah," gerutu Evan.
"Betul. Muka kita-kitakan jadi bahan tontonan, risih gue," timpal Dimas.
Reval tak menggubris ucapan kedua sahabatnya. Ia melanjutkan berjalan menuju toko ponsel.
Memang alasan Reval datang ke sana untuk membelikan hp adiknya yang ia rusak. Karena sebelumnya Mecca sudah bertanya di mana hpnya pada Reval.
"Mas! Saya mau beli hp iPhone keluaran terbaru, terus tolong semua data di hp yang hancur ini, di pindahkan ke hp barunya." Reval menyerahkan hp Mecca yang sudah tak berbentuk.
"Baik, mas. Saya usahakan semua datanya di pindahkan, karena kondisi hpnya sudah sangat rusak."
Evan dan Dimas bergidik ngeri melihatnya, pasalnya kondisi hp Mecca sudah sangat tidak layak digunakan.
"Lo sekuat apa sih banting hp Mecca sampai gak berbentuk gitu?" tanya Dimas.
Reval mengangkat bahunya. "Entah. Gue terlalu marah sampai banting gitu. Lagian ada untungnya hp Mecca rusak, biar Fathur gak bisa menghubungi Mecca lagi."
Tatapan Reval berubah tajam, padahal hanya menyebut nama Fathur. "Gue benci karena dia selalu telat ngelindungi Mecca dan keknya mereka putus lebih baik." ucapnya.
"Mecca gak mungkin mau," sahut Evan.
"Bener. Dia dan Fathur seperti sepasang kaos kaki yang saling melengkapi, tapi juga menyakiti karena ulah orang lain," timpal Dimas.
Reval terdiam, berpikir bagaimana menyelesaikan permasalahan Mecca agar tidak terluka lagi dan bisa menjalin hubungan yang baik seperti pasangan yang lain dengan Fathur. Karena ia rela melakukan apapun untuk adiknya, meskipun Reval hanyalah kaka tiri tanpa ada hubungan darah.
Sentuhan lembut di bahu Reval, membuat laki-laki itu menatap Dimas.
"Udah, jangan terlalu di ambil pusing. Lo udah ngelakuin sebaik mungkin untuk Mecca," ucap Dimas.
"Bener. Mending kita ngisi perut dulu, udah ngasih kode nih. Nanti baru kita juga bahas gimana ngasih pelajaran sama Falisha," timpal Evan.
Mereka bertiga pun mendatangi sebuah restoran yang makanan utamanya seafood. Setelah ketiganya memesan makanan, Reval mengecek hpnya yang kembali mendapat pesan dari sang adik.
Reval tersenyum, melihat Mecca marah-marah lewat pesan chat.
"Kenapa lo senyum-senyum gitu? Pesan dari doi?" tanya Dimas.
"Heh! Sejak kapan seorang Reval Ravindra punya doi, paling itu pesan dari Mecca. Betulkan, Val?" tanya Evan.
"Betul. Dia lagi marah-marah karena gue gak balas pesannya, pulang nanti paling auto ngamuk. Tapi anehnya gue suka Mecca marah, karena kek lebih imut aja dia," jawab Reval.
"Terus? Lo gak ada niatan cari pasangan, Val?" Dimas kembali bertanya.
Reval terdiam, perasaannya tiba-tiba berubah tak karuan, padahal hanya soal pertanyaan pasangan yang diajukan Dimas padanya.
"Sebenarnya untuk bersama adalah ketidakmungkinan, tapi gue udah seneng mencintai dan menyayanginya sebagai adik gue, bukan sebagai seorang perempuan," jawab Reval.
"Reval,"
"Gue udah terlanjur jatuh cinta sama Mecca, sejak dia sering terluka. Gue udah berjanji pada diri gue sendiri untuk menjaga dan memberinya kebahagiaan, walaupun dia benci sama gue. Bisa berada didekatnya udah cukup bagi gue." Evan dan Dimas hanya bisa diam, mereka tak tahu memberi respon apa.
Memang cinta kadang hadir dalam bentuk kepedulian, tetapi untuk Reval. Ia sadar, dirinya punya batas dinding yang tak bisa buat dirinya bisa memiliki Mecca sebagai seorang perempuan yang ia cintai karena Mecca adalah adiknya walaupun tiri. Namun, tetap saja Reval dan Mecca tidak bisa bersama karena orang tua mereka yang menikah.
Makanan pun tiba, menghentikan obrolan ketiga remaja itu. Ketenangan sebentar hadir, tetapi tak begitu lama. Evan memulai pembicaraan.
"Guys!"
"Ngapa?" sahut Dimas menghentikan makannya, begitupun dengan Reval.
"Mecca udah tau yang nyelamatin dia itu lo, Val?" tanya Evan.
Reval menjawab dengan gelengan. "Belum. Dari kemarin aja masuk kamarnya gue diusir, tapi tetap maksa masuk." jawabnya.
"Keknya gue punya cara agar Mecca gak benci lagi sama lo," ucap Evan lagi.
"Hah? Gimana?" Reval sedikit mendekat kepada Evan karena pembicaraan ini sangat menarik.
"Nanti lo kasih tau aja Val, kalau lo yang nyelamatin Mecca dan bilang kalau Fathur lebih milih nyelamatin Falisha di bandingkan Mecca. Gue yakin, Mecca pasti bakal marah sama Fathur," jelas Evan.
"Selama inikan, kalau Mecca terluka, selalunya Reval yang nyelamatin," sahut Dimas.
"Iya, gue tau. Tapi kan selama itu juga, Reval belum pernah bilang ke Mecca kalau dia yang nyelamatin. Pasti kek penyelamat tanpa jejak. Jadi, lo harus bilang sama Mecca, Val." Reval hanya mengangguk, tetapi arah pandangan ke arah lain.
Evan dan Dimas yang bingung apa yang dilihat Reval, ikut menatap ke arah yang sama. Mata ketiga remaja itu terbelalak hebat melihat apa yang terjadi di depan mereka.
"Kurang ajar!" cerca Reval.
"Ratu drama!!" cerca Dimas.
"Buset! Gak tau diri amat tuh orang!" cerca Evan.
Umpatan itu yang lolos saja dari mulut ketiganya, tak menyangka melihat pemandangan dua orang yang sedang makan suap-suapan.
"Heran gue, tuh orang punya masalah hidup apa sih! Sampai-sampai apa dia aja yang mau bahagia," geram Dimas.
"Jahat banget emang! Apa kita labrak aja tuh orang?"
"Ide yang bagus." Dimas dan Evan sudah berdiri berniat menghampiri dua orang yang duduk tak jauh dari meja mereka. Tetapi Reval malah menahan mereka berdua.
"Jangan!"
"Kenapa, Val?" tanya Evan.
"Gue punya cara yang lebih baik untuk ngerjain tuh Ratu drama!"