Chereads / Mecca (Luka yang Tiada Akhir) / Chapter 12 - Sebuah Pertanyaan

Chapter 12 - Sebuah Pertanyaan

Belum ada pembicaraan yang dimulai, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Tetapi untuk pandangan Fathur hanya terus memandangi wajah Mecca.

"Ca." Fathur perlahan turun dari tempat tidurnya, berjalan mendekat ke arah Mecca.

"Diam di tempat lo!" titah Mecca.

Al hasil, Fathur akhirnya diam di tempatnya. Melihat perempuan yang sangat dicintainya enggan menatapnya, benar-benar membuat Fathur semakin merasa bersalah.

"Kenapa lo melukai diri lo sendiri, Far?" tanya Mecca mengangkat wajahnya menatap Fathur.

Fathur membalas tatapan Mecca, terlihat gumpalan air mata yang Mecca tahan. Hingga pada akhirnya Fathur tak kuat menahan dirinya untuk tetap di tempatnya.

Lelaki itu langsung memeluk Mecca. Ia tak peduli Mecca memberi penolakan ataupun marah padanya, karena Fathur tak bisa menahan pertahanan diri lagi untuk tidak merasa cemas atas apa yang terjadi pada Mecca.

Tak lama terdengar suara tangisan dari Mecca. Gadis itu menangis, di bahu tegap Fathur. Tangannya perlahan tergerak membalas pelukan lelaki yang memeluknya erat.

"Ca, maafin gue. Lo terluka karena gue."

Fathur pun menangis. Ia tak ingin menyembunyikan perasaannya yang juga sangat merasa bersalah pada Mecca. Lalu tangisnya berhenti, gadis itu menyekanya dan mengurai pelukan keduanya.

"Maaf? Kenapa gak kata putus aja yang lo ucapkan?!"

Fathur langsung membelalakkan matanya dan menjawab tegas. "Nggak, Ca!"

"Lo udah nyerah untuk hubungan kita?" tanya Fathur menggenggam tangan Mecca.

Mecca terdiam, tatapannya terarah pada pergelangan tangan kanan Fathur yang diperban.

"Tapi gue udah gak kuat, Far." Mecca menyentak tangannya. "Lo tau! Dari awal kita jadian, hubungan kita itu gak ada kenangan manisnya yang bisa diingat. Cuman pahitnya dan luka dari kembaran lo yang gak terima kita bersama!"

Mecca akhirnya mengeluarkan tiap kekesalannya yang ia pendam pada Fathur. Selama ini ia memilih selalu diam dan melampiaskannya lewat air mata, apa sekarang jika Mecca sudah tak kuat, apa salah?

"Ca," lirih Fathur dengan nada bersalah.

Lelaki itu berusaha kembali meraih tangan Mecca untuk ia genggam.

"Baik, Ca. Lo ingin ada hal yang manis untuk kita ingatkan? Gue akan wujudkan selama seminggu ini." Pandangan Mecca terangkat menatap Fathur yang menatapnya dalam.

"Seminggu? Far, untuk sehari aja kita bersama aja susah. Falisha pasti gak akan biarin kita punya waktu berdua." Telunjuk Fathur tergerak diletakkan di bibir Mecca agar mendengarkan penjelasannya selanjutnya.

"Kali ini gue bakal wujudkan, Ca. Bukan hanya sekedar ucapan, gue pun pengen punya momen yang indah bersama lo, perempuan yang sangat gue cintai." Fathur kembali memeluk Mecca.

Lelaki itu benar-benar takut kehilangan Mecca, karena tak sedikitpun terbersit di pikirannya ada kata perpisahan pada hubungannya.

Mecca tersenyum tipis, mengelus puncak kepala Fathur lembut. "Lo pun adalah laki-laki yang gue cintai setelah papa."

Ini yang Mecca harapkan, kebersamaannya dengan Fathur tanpa ada hama pengganggu. Saling mengungkapkan isi hati masing-masing yang akhirnya hari ini terungkap.

Reval mengetuk pintu sebelum masuk, karena ia sudah merasa cukup lama menunggu di luar.

"Masuk, Val!" sahut Mecca.

Reval pun masuk dengan membawa beberapa makanan. Ia berjalan ke arah Mecca memberikannya pada sang adik.

"Ini gue beliin bakso kesukaan lo, Ca. Makan sekarang," ucap Reval menyerahkannya pada adiknya.

Mata Mecca berbinar, bakso adalah makanan favoritnya. Namun, gadis itu tak langsung menyantapnya. Ia kembali menatap Reval yang membukakan air mineral untuk di minum Mecca.

"Untuk gue doang? Buat Fathur?" tanya Mecca.

"Ada, cuman ...." Reval menjeda sebentar ucapannya.

"Emang dia mau makan pembelian gue?" lanjutnya.

Mecca menatap Fathur, wajah lelaki itu memang seperti tak sudi menerima makanan yang dibelikan Reval.

"Mau, kalau enggak. Gue bakal marah lagi." Mecca menatap dengan ancaman kepada Fathur.

Hingga mau tak mau lelaki itu mengangguk, setelah mengembuskan napas kasar. Sedangkan Reval tersenyum dengan penuh kemenangan, memberikan bungkusan makanannya kepada Fathur.

"Makanya jangan banyak tingkah jadi cowok, bocah!" sindir Reval kembali duduk didekat adiknya.

"Reval," tegur Mecca.

"Biarin! Sekali-kali ni cowok berani dikit, gak pengecut mulu!" sahut Reval dengan nada tinggi.

"Gue bukan pengecut!" balas Fathur dengan amarah yang terpancing.

Mecca menghela napas kasar, lagi-lagi kedua laki-laki dengan dirinya yang menjadi penengah kembali seperti ingin berantem.

"DIAM!" teriak Mecca saling bergantian menatap keduanya.

"Bisa gak sih tiap kalian ketemu gak perlu ada amarah? Sekarang makan dengan tenang, jangan nambah kepala gue yang udah sakit!"

Akhirnya Reval dan Fathur makan dengan tenang, melihat itu Mecca sedikit lega. Kedua lelaki ini mau mendengarkan ucapannya. Mecca pun kembali melanjutkan makannya, walaupun di hatinya ada sedikit kegelisahan.

"Reval," panggil Mecca setelah menyelesaikan makannya.

"Kenapa?"

"Rumah gimana? Udah ada yang jagain?" tanya Mecca.

"Udah gue suruh Bi Vian dan Pak Satyo ke rumah. Jadi, gue pun bisa nginep di sini jagain lo," jelas Reval.

Reval yang sebelumnya menatap Mecca, beralih menatap Fathur yang ia rasa tengah menatapnya, dan ternyata benar.

Jarum jam menunjukkan waktu 22.34 WIB. Mecca menguap, pertanda gadis itu sudah mengantuk.

"Kalau ngantuk tidur, Ca." Reval dan Fathur saling menatap karena ucapan yang mereka ucapkan sama.

Mecca tercengang, bergantian menatap kedua lelaki di sampingnya. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa suasana sedikit mencekam.

"Apa lo ngikutin ucapan gue?!" tanya Reval menatap tajam.

"Ogah, ya! Elo yang copy paste ucapan gue!" balas Fathur tak mau kalah.

"STOP!"

Mecca memegang kepalanya yang seketika nyeri, lalu beralih menatap bergantian kedua lelaki di sampingnya.

"Gue mau tidur, kalau kalian masih aja mau ribut. Keluar!"

Kedua lelaki itupun akhirnya meredam emosi mereka. Reval beranjak menaikkan selimut untuk adiknya yang sudah memejamkan matanya.

"Lo tidur, Ca. Gue yang bakal jagain lo," ucap Reval.

Mecca menghela napas panjang. "Apapun yang lo lakuin, tetap rasa benci gue gak akan pudar!"

Kata-kata itu sangat menusuk di pendengaran Reval, begitupun dengan Fathur yang sangat terkejut mengetahui kebenaran itu. Mulutnya kehilangan kata-kata untuk berucap, Reval menggenggam erat kepalan tangannya.

Rasa sabar seseorang memang ada batasannya, begitupun Reval berusaha meredam sedikit emosinya dan memaklumi sifat adiknya yang kasar dalam berbicara. Namun, padahal Mecca memiliki sisi yang sebenarnya baik.

"Val." Reval menatap lawan bicaranya yang tengah menatapnya.

"Bisa kita bicara berdua?"

Hembusan angin di malam hari mengenai rambut kedua lelaki yang tengah larut dengan pikiran masing-masing. Dinginnya tak membuat kedua lelaki itu memilih kembali ke ruangan.

Langit pun dihiasi bintang-bintang, ditambah lampu yang menghiasi kota Bandung, terlihat sangat indah.

"Kenapa lo ajak gue ke sini?" Tatapan Reval datar menatap dari atas gedung rumah sakit ke bawah orang-orang yang lewat di jalanan.

Fathur belum menjawab, lelaki itu yang sebelumnya menatap ke arah langit, beralih menatap Reval.

"Apa lo mencintai Mecca sebagai adik tiri lo atau seorang perempuan?"