"Makan, Ca." Reval berulangkali membujuk Mecca.
"Di bilangin gak mau," sahut Mecca dengan wajah ketusnya.
Reval menghela napas kasar, kehabisan cara bagaimana menyuruh sang adik agar makan.
"Makan atau mau gue yang suapin?" Reval mengajukan pertanyaan, sedangkan Mecca menaikkan kedua alisnya.
"Tuh sendok yang lo pegang emang gak dipakai buat nyuapin gue?" tanya Mecca menatap sendok berisi bubur yang seharusnya sudah mendarat di mulutnya.
"Lo tadi bilang gak mau," jawab Reval.
"Terus kenapa bilang mau nyuapin?"
"Gue suapin pakai tangan, mau?" Mecca dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Gak!"
"Atau mau gue suapin pakai kaki biar unik dikit?" seulas senyum tertarik sambil mengatakan itu.
"REVAL!"
Setelah cukup lelah beradu mulut, Mecca dan Reval saling diam dengan pikiran masing-masing.
"Gimana sekarang?" tanya Reval memulai pembicaraan.
Mecca beralih menatap sekilas laki-laki yang duduk di kursi di dekatnya sambil menghela napas berat.
"Pulang," jawab Mecca singkat.
Pandangan Reval berubah serius, menatap jam di dinding.
"Ini udah sore, Ca. Udah bisa dipastikan, Papa pun udah pulang, Bunda pun udah berulangkali nelpon gue. Gimana caranya sekarang kita berbohongnya?" tanya Reval dengan nada frustasi.
"Udah! Itu biar gue yang atur. Buruan, pulang sekarang!" Mecca mencoba turun dari brankar, tetapi ternyata kakinya yang seharusnya kuat menopang tubuhnya malah terasa mati rasa.
Beruntung dengan cepat Reval menangkap Mecca.
"Ckk! Lepasin!" Mecca berusaha memberontak melepaskan tangan Reval yang memeluknya menahan tubuhnya.
"Kalau di lepas, lo bakal jatuh lagi, Ca," sahut Reval mengangkat tubuh Mecca untuk duduk kembali ke brankar.
Mecca memegang kepalanya yang masih sedikit sakit, melihat itu, Reval langsung mengecek kepala Mecca.
"Ck! Jauhin tangan lo dari kepala gue!" Mecca menepis kasar tangan Reval dari kepalanya.
Reaksi Reval tetap tenang, sudah biasa dengan sikap kasar adiknya.
"Lo cuma kaka tiri gue, tapi kenapa lo begitu peduli sama gue, hah?!" tanya Mecca menatap Reval dengan matanya yang memerah.
"Karena bunda nyuruh gue buat jagain lo, Ca!" jelas Reval.
"Gue gak perlu di jagain," sahut Mecca menatap ke arah lain.
"Tapi gue mau jagain lo, Ca!"
Mecca berdecak kesal, beradu mulut dengan Reval tidak akan berakhir dengan cepat, malah membuat kepalanya bertambah sakit.
"Ya, udah. Bawa gue pulang sekarang!"
Mereka pun pulang menggunakan mobil milik Reval, dalam perjalanan. Raut wajah Reval gelisah, berpikir bagaimana ia menjelaskan pada Bundanya karena ia gagal lagi menjaga Mecca.
Sedangkan Mecca, wajah tenang saja. Namun, hatinya sakit. Lagi-lagi kenyataan membuatnya terluka, di mana Fathur lebih menolong Falisha yang bersalah di bandingkan dirinya. Mengingat itu rasanya Mecca ingin menangis, tetapi berusaha ia tahan dan membuang waktu saja.
"Lo gak usah merasa bersalah, ini semua karena Falisha," ucap Mecca menatap ke arah jendela.
"Tapi Fathur penyebab lo terluka, Ca," sahut Reval mengeratkan genggaman tangannya.
Mecca terdiam, entah kenapa ia tidak bisa menyalahkan Fathur. Di saat orang lain menyalahkannya, hanya Mecca yang tetap tidak bisa menyalahkan terlukanya dirinya itu karena Fathur.
Mobil berhenti di depan pekarangan rumah besar, Reval beralih menatap Mecca yang terdiam dengan tatapan kosongnya.
"Ca," panggil Reval.
"Lo terluka karena Fathur, dia penyebab lo ngerasain sakit," lanjutnya.
Mecca pun beralih menatap Reval dengan tatapan seperti ingin menangis. "Gue gak tau apa dia harus gue salahkan."
Mecca dan Reval masuk ke rumah sama-sama, Mecca berjalan tidak dibantu oleh Reval agar dirinya terlihat baik-baik saja di mata kedua orang tuanya yang sudah keluar mendengar kedatangan mereka.
"Ya, ampun! Mecca!" Reina--ibunya Mecca langsung menghampiri sang putri ketika melihat balutan perban di kepalanya.
"Kamu kenapa, Ca? Kenapa bisa terluka gini?" Mecca hanya menarik seulas senyum, seraya menatap ke arah Reval untuk melakukan tugasnya.
"Mecca tadi kata teman-temannya jatuh di tangga, bun," sahut Reval dengan nada bersalah dan mendapat tatapan terkejut dari Reina dan Hasan--ayahnya.
"Apa?!"
"Tapi aku udah gak papa kok, bun. Udah di obatin di rumah sakit tadi. Ya, udah. Aku ke kamar dulu." Mecca hanya menyahut menatap bundanya, tidak menatap Hasan.
Dengan secepat mungkin Mecca ingin pergi ke kamar, tetapi tangannya ditahan oleh tangan kekar. Mecca menatap dengan penuh kebencian seseorang yang menahan tangannya dan menyentaknya dengan kasar.
"Jangan kurang ajar anda! Berani sekali anda menyentuh saya!"
"Mecca!" tegur Reina--ibunya.
"Apa? Bunda mau belain orang asing ini?! Gak Bapak, gak anak, dua-duanya sama aja sok peduli sama gue!" Mecca pun menaiki tangganya, tetapi di tangga ke empat. Ia kembali berhenti.
"Ingat! Kalian hanyalah orang asing, gue gak pernah sudi punya bapak tiri ataupun punya saudara tiri!" lanjutnya, lalu hilang dengan suara pintu dibanting cukup keras.
Reval menghela napas sebentar, begitupun Hasan--ayahnya dan Reina. Terlihat sekali dari tatapan dan ucapan Mecca yang menunjukkan kebencian, padahal mereka sudah tinggal bersama selama dua bulan lalu, sejak Hasan dan Reina memutuskan menikah setelah lima bulan ayahnya Mecca meninggal akibat kecelakaan yang merenggut nyawanya.
"Maafkan, Mecca, ya, mas," ucap Reina merasa bersalah.
Hasan menggeleng kepalanya, bahwa ia tidak apa-apa. "Mecca mungkin butuh waktu untuk terbiasa menerima kehadiran saya dan Reval, benar katanya. Kami hanya orang asing, yang masuk ke kehidupan kamu dan Mecca secara dadakan." ucapnya.
"Pah." Reval menyentuh pundak ayahnya.
"Mecca pasti akan menerima kita nanti dan tidak lagi menatap kita dengan penuh kebencian," ucap Hasan.
Lalu menatap kedua orang tuanya meminta penjelasan Reval perihal Mecca yang terluka.
"Reval! Kenapa adik kamu bisa sampai celaka seperti itu?" tanya Hasan dengan nada menahan amarahnya, sedangkan Reval langsung menundukkan wajahnya.
"Bunda udah kasih kepercayaan sama kamu untuk jagain Mecca, tapi sudah berulangkali adik kamu terluka dan ini lebih parah dari sebelumnya. Sebenarnya apa ada yang kamu sembunyikan dari kami?" Reval yang sebelumnya menundukkan wajahnya, langsung terangkat menatap sang bunda.
"Maaf, bun. Maaf Reval kali ini gagal lagi menjaga Mecca." Hanya kata maaf yang keluar dari mulut Reval karena ia tak mungkin memberi tahu yang sebenarnya.
****
Sebuah gelas dilempar kuat ke dinding sampai pecah dan pecahan kacanya berserakan dimana-mana.
"Gue hanya minta lo putusin Mecca! Kenapa lo gak bisa nurutin permintaan gue ini, Far?! Lo udah janji sama mama untuk nurutin semua keinginan gue!" teriak Falisha menatap Fathur dengan matanya yang memerah.
Fathur menatap Falisha dengan penuh amarah, lalu mengambil pecahan kaca dan mengiris telapak tangannya.
"Fathur!" Falisha membelalakkan matanya dan langsung mendekati Fathur melukai tangannya yang sudah berlumuran darah.
"Sampai kapanpun, gue nggak bakal mutusin Mecca dan nggak semua keinginan lo harus gue turuti!" bantah Fathur.