Chapter 4 - Trauma

Suara ketukan pintu mengganggu gadis yang masih tertidur. Ia meringis merasa sekujur tubuhnya sakit.

"Shit! Gue bener-bener gak bisa bangun," gerutu Mecca menatap pintu yang masih diketuk.

Mecca mengerutkan keningnya, sudah bisa menduga siapa yang berada di depan pintunya.

"PERGI!" teriak Mecca.

"GUE GAK MAU LIAT MUKA LO!" lanjutnya berteriak.

"Lo gak berangkat sekolah, Ca?" tanya Reval tetap berada di sana.

"NGGAK! UDAH SANA PERGI!" jawab Mecca.

BRAK!

Setelah sahutan Mecca itu, pintu yang sebelumnya terkunci di tendang kuat oleh Reval sampai terbuka paksa.

"REVAL!" Mecca membelalakkan matanya melihat apa yang dilakukan Reval pada pintunya yang sudah rusak.

"Ada yang sakit?" tanya Reval mendekat ke arah Mecca dengan nada cemas.

Mecca berdecak kesal, memukul kepala Reval.

"Lo gak waras?! Udah di bilangin pergi, gue gak masuk sekolah dulu hari ini karena sekujur tubuh gue sakit!" jelas Mecca dengan nada tinggi.

"Ya, udah. Kita ke rumah sakit sekarang, nanti gue jagain." Reval bergerak ingin menggendong Mecca, tetapi dengan cepat gadis itu memberi penolakan.

"Nggak perlu. Gue cuma mau di rumah aja, gue benci ke rumah sakit, Val," sahut Mecca memalingkan wajahnya dan tanpa sadar malah mengungkapkan satu hal.

"Trauma?" Tatapan Reval berganti menjadi hangat. Ia bisa melihat sorot mata terluka yang Mecca tampilkan.

"Lebih dari trauma, Val. Tempat yang mengingatkan gue rasanya kehilangan seseorang tanpa bisa dicegah pergi itu benar-benar sakit," sahut Mecca akhirnya menangis.

Reina dan Hasan melihat kedekatan kedua anaknya yang memang bukan sedarah, mereka berharap perlahan Mecca bisa menerima semua kenyataan yang sudah terjadi.

"Memang kepergian Mas Arsya bukanlah hal yang mudah untuk Mecca, begitupun saya." Hasan memeluk Reina menguatkan.

Memang tidak mudah untuk Mecca dan Reina. Kecelakaan yang menghilangkan nyawa Arsya--ayahnya Mecca adalah hari yang paling menyakitkan untuk mereka. Ingin mencegah untuk tidak kembali ke pangkuan Tuhan, takkan mungkin karena yang pergi tidak akan pulang.

Dan bagi Mecca, ingatan saat Ayahnya pergi tidak bisa ia lupakan. Di saat Tuhan mengambil darinya, tetapi Mecca berharap yang terjadi hanyalah mimpi. Namun, ternyata nyata dan tak bisa ia hindari agar tidak terjadi hari itu.

Mecca menangis dalam dekapan Reval. Ia tak sadar sudah menangis, lalu Reval menyeka air mata Mecca dengan kelembutan.

"Gue ke bawah dulu ambilin lo makanan, jangan nangis lagi, Ca," ucap Reval kembali menyeka air mata Mecca yang jatuh.

Reina dan Hasan yang melihat Reval ingin keluar kamar, segera pergi agar tidak ketahuan. Setelah Reval pergi, Mecca diam tak lagi menangis dengan tatapan kosongnya.

"Hidup gue penuh luka dan kesakitan." Mecca menatap dirinya di cermin yang berada tak jauh dari tempat tidurnya.

Terlihat kondisinya yang sangat menyedihkan, Mecca tertawa, menertawakan dirinya.

"Dan rasa benci gue pada lo, Reval. Sedikit berkurang karena selama ini hanya lo yang tau betapa penuh lukanya hidup gue,"

Reval dengan telaten mengambil lauk-pauk, lalu menaruhnya di piring. Tak lupa menuang susu ke gelas. Reina melihat apa yang dilakukan sang putra tersenyum bahagia.

"Bunda yakin Mecca akan segera menganggap kamu sebagai kakanya. Betulkan, mas?"

"Benar sekali. Papa bangga kamu tetap baik pada adik kamu walaupun dia begitu benci pada kamu,"

"Aku bisa kuat karena Papa dan bunda. Mecca hanya perlu kasih sayang yang penuh, karena dia hanya merasa hidupnya hanya dikelilingi oleh luka, bun," sahut Reval.

Reval kembali lagi ke kamar, tetapi saat melihat penghuni kamar ternyata malah tertidur. Ia menghela napas, menatap sendu sang adik.

Reval menaruh nampan berisi makanan ke atas lemari, lalu duduk di pinggir kasur. Tangannya perlahan tergerak mengelus puncak kepala adiknya dengan kelembutan.

"Gue akan kembalikan kebahagiaan lo, Ca yang hilang dan lenyapkan tiap luka yang menyakiti lo. Gue akan buat siapapun yang melukai, membayar luka yang telah ditorehkan pada lo." Reval menyeka sisa air mata di wajah putih polos Mecca.

"Karena luka harus dibayar dengan luka," lanjutnya.

****

Tatapannya yang datar, wajahnya yang begitu memiliki pesona. Membuat beberapa siswi yang lewat tak bisa memalingkan wajahnya ke arah lain, selain menatap wajahnya.

"Val, senyum dikit ngapa," sindir Evan menyikut lengan Reval yang tetap dengan wajah datarnya.

"Jangan ganggu harimau yang lagi mode marah." Dimas memperingatkan Evan, sebelum nanti malah mendapat masalah dari Reval yang tatapannya tertuju pada seorang gadis bersama teman-temannya tengah tertawa setelah menumpahkan minuman yang di pegangnya pada seorang siswi.

Langkah Reval dipercepat menuju gadis itu dan ternyata yang dilakukan Reval adalah menarik rambut gadis itu dengan kuat tanpa pandang bulu.

"Au! Sakit! Siapa yang berani sama gue?!" Falisha belum sadar siapa yang melakukan itu padanya, saat melihat pelakunya. Matanya langsung membulat sempurna.

"Gue!" Reval menatap dengan penuh amarah dan kebencian pada Falisha.

Lalu Reval semakin menguat tarikannya pada rambut Falisha, sampai sang empu meraung keras kesakitan. Melihat itu Reval sedikitpun tidak kasihan, begitupun dengan teman-temannya yang malah menyuruh Reval memukul wajah Falisha.

"Kalau bukan cewek udah gue pukul tuh muka songongnya. Dasar! Ratu Drama!" cerca Evan.

Mata Falisha sudah berkaca-kaca, menahan tangis dan rasa sakit membalas tatapan Reval.

"Rasa sakit ini gak seberapa dengan apa yang lo udah lakuin sama Mecca. Ingat, ya! Luka harus dibayar dengan luka dan ini hanya awalan dari kesakitan yang akan lo terima!" Reval mendorong tubuh Falisha sampai tersungkur ke lantai.

"Kalau lo berani nekat ngelukain Mecca setelah ini, berarti lo membuka siksaan yang teramat sakit untuk diri lo sendiri," lanjut Dimas melempar botol bekas ke arah Falisha.

Lalu Evan datang dengan tong sampah dan menumpahkan tepat di kepala Falisha. Falisha sudah menangis, menahan malu dan berharap Fathur segera datang menolongnya.

"Berhenti!"

Suara itu mengalihkan Reval, Evan dan Dimas menatap ke arahnya. Seulas senyum tipis terbit di wajah Reval, melihat sebuah hal yang nyata dan seharusnya Mecca melihat ini.

"Belain aja terus kembaran lo yang bersalah ini dan seharusnya sudah mendekam di penjara. Seharusnya Mecca melihat ini, gimana pacarnya lebih membela yang bersalah di bandingkan korban kegilaan, Falisha!" Reval berjalan melewati Fathur dengan sengaja menabrak bahu Fathur.

Tak jauh berjalan, ia kembali berhenti menatap Fathur yang diam tak bergeming. Seluruh siswa-siswi yang menonton hanya membela Mecca, karena memang sebagian murid SMA Damarta sudah membenci Falisha.

"Kalau lo gak bisa ngelindungi Mecca, pergi dari hidup adik gue!" teriak Reval.

"NGGAK!" Fathur akhirnya bersuara membalas menatap Reval.

Reval tersenyum meremehkan. "Berarti lo egois dan akan selalu melibatkan Mecca dalam pahitnya luka tanpa akhir."