Chereads / Mecca (Luka yang Tiada Akhir) / Chapter 2 - Kebencian

Chapter 2 - Kebencian

"Gue benci untuk kesekian kalinya melihat lo terluka, Ca." Tatapannya datar menatap sang adik yang masih setia memejamkan matanya.

Darah memang tak lagi mengalir di kepala Mecca, tetapi ia belum sadar dan itu sangat membuat Reval cemas.

"Kondisi Mecca kali ini cukup parah, benturan di kepalanya membuatnya harus banyak istirahat setelah ini," ucap Tirta--dokter khusus yang sering mengobati Mecca.

Reval menghela napas panjang, dadanya bergemuruh hebat mengingat kejadian saat ia tahu adiknya jadi korban lagi atas kelakuan gila Falisha.

Flashback On

Setelah bel berbunyi, Reval dengan Evan dan Dimas bersiap untuk ke kantin mengisi perut yang butuh asupan. Tetapi baru saja keluar kelas, Reval sudah dikejutkan dengan teman kelasnya yang datang dari arah tangga lantai dengan napas terengah-engah.

"Val! Val! Gawat!"

"Gawat kenapa? Bernapas yang bener dulu." Adi pun melakukannya seperti ucapan Reval. Setelah dirasa baik, baru ia melanjutkan ucapannya.

"Itu, Val. Mecca jatuh di tangga di dorong Falisha!"

"APA?!"

Flashback Off

"Reval." Panggilan Dokter Tirta membuyarkan lamunannya.

"I-iya, dok?"

"Kalau boleh saya tau, di sekolah apa Mecca jadi korban bully para kakak kelasnya? Karena untuk kesekian kalinya bulan ini Mecca sudah 7 kali masuk rumah sakit dengan berbagai macam luka, tapi yang ini sangat parah." Ucapan itu membuat Reval merasa bersalah telah gagal menjaga adiknya yang sudah dititipkan untuk ia jaga.

"Bukan korban bully, dok. Tapi ...." Reval beralih menatap Mecca.

"Korban kejahatan gak manusiawi kembaran pacarnya yang sangat gak bertanggung jawab," lanjutnya.

Drttt ...

Suara telpon masuk, tetapi suaranya dari hp milik Mecca yang retak akibat ikut jatuh tadi.

Tertera nama Bunda, Reval menghela napas kasar, apa yang harus ia katakan pada Bundanya. Akhirnya Reval memutuskan mengangkatnya.

'Halo. Assalamualaikum, Bunda,'

'Waalaikumsalam. Loh? Kenapa kamu yang ngangkat, Nak? Kenapa hp Mecca sama kamu?'

'Aku lagi sama Mecca, Bun,'

'Terus Meccanya mana? Bunda mau denger suaranya, soalnya dari tadi Bunda gelisah kepikiran Mecca,'

Reval menjauhkan sedikit hpnya.

"Sial!" umpatnya menatap Dokter Tirta yang diam saja mendengarkan.

'Reval!'

'Iya, Bun?'

'Mana Mecca, Bunda mau denger suaranya,'

'Aduh, Bun. Meccanya masih di toilet, aku tutup ya, Bun. Soalnya lagi ada guru BK. Assalamualaikum,'

Reval kembali menghela napas setelah mematikan telpon dari Bundanya, rasanya ia kesal harus berbohong pada Bundanya.

"Dosa lagi berbohong sama orang tua, catet!" Reval beralih menatap sinis Dokter Tirta.

"Berisik, dok!"

"Sampai kapan kamu berbohong terus pada Bunda dan Papa kamu tentang kondisi Mecca. Hebat juga ya kalian sembunyikan ini dari mereka dan sampai sekarang gak ketahuan," ucap Tirta.

Reval berdecak kesal, mengacak-acak rambutnya. "Kalau ini bukan permintaan Mecca, udah gue aduin sama Papa untuk nuntut Falisha!"

"Memangnya kenapa Mecca gak ingin sampai orang tua kalian tau? Kan cewek itu udah sangat keterlaluan,"

Reval belum menjawab, matanya memerah menahan amarah melihat nama yang muncul di layar hp Mecca.

"Dia! Dia orang yang jadi alasan kenapa Mecca terluka!"

"Fathur?" Tirta tidak mengerti.

Reval melempar kuat hp Mecca ke dinding sampai hancur.

"Gara-gara dia, alasan kembarannya bernama Falisha itu yang selalu mencelakai Mecca karena dia sangat gak suka mereka pacaran dan berusaha memisahkan dengan cara apapun itu!"

Fathur berusaha menelpon Mecca, tetapi telponnya kali ini sudah tidak tersambung. Ia benar-benar dilanda kecemasan, ingin sekali dirinya berada di sisi Mecca.

Falisha yang melihat kecemasan di wajah Fathur berdecak kesal, ia kesal kembarannya masih saja mengkhawatirkan Mecca.

"Putusin Mecca!"

Tatapan Fathur berubah tajam menatap Falisha.

"Gak! Dan lo berhenti nyakitin Mecca!" teriak Fathur dengan memukul dinding dengan kuat.

"Sampai mati pun kalau lo gak putus sama dia, gue gak akan berhenti melukai Mecca!" bantah Falisha.

Fathur terdiam dengan tatapan marahnya, lalu memilih pergi meninggalkan Falisha.

"Fathur!"

"Sial! Gue gak akan berhenti melukai lo, Mecca. Sampai Fathur melepas lo karena gue benci, lo merebut Fathur dari gue!"

Terpaan angin menerpa wajah Fathur, ia sekarang berada di rooftrop menyendiri. Hatinya sakit, melihat hari ini Mecca, perempuan yang sangat dicintainya terluka akibat ulah kembarannya.

Rasa bersalah dan tidak berguna, kata-kata itu pantas diberikan untuk Fathur yang selalu saja tidak berguna sebagai seorang pacar yang seharusnya melindungi Mecca.

"HAH!" Tetesan air mata di pelupuk matanya tak bisa ia bendung lagi.

"Kenapa gue harus berada di situasi seperti ini!" teriak Fathur dengan linangan air mata di wajahnya.

"Dan andai saja janji itu gak harus ditepati, mungkin Mecca gak akan terluka seperti hari ini!" Fathur benar-benar menyalahkan dirinya karena memang dirinyalah alasan Mecca terluka.

Fathur biarkan air matanya mengalir tanpa menyekanya, rasanya ia sudah mulai tak kuat apalagi apa yang dilakukan Falisha terhadap Mecca sudah kelewatan.

"Gue egois! Gue gak mau lepasin lo, Ca. Karena gue cinta sama lo!" teriak Fathur lagi.

"Lo memang egois!"

Ucapan itu, membuat Fathur mengalihkan pandangannya menatap dua orang laki-laki yang sekarang ada di hadapannya.

"Kalau lo cinta sama Mecca, tinggalin dia! Biar Falisha berhenti menyakiti Mecca!" timpal yang satunya.

"Gak!" jawab Fathur dengan tegas.

Keduanya tertawa setelah mendengar ucapan Fathur.

"Lo memang orang yang gak pantes buat Mecca dan bodoh!" Fathur mengeratkan genggamannya menatap tajam laki-laki di depannya.

"Memang bodoh, Dim. Jelas-jelas Falisha bukan menganggap lo sebagai kembaran bersaudara, melainkan seorang laki-laki," timpalnya membuat kening Fathur mengerut tak mengerti.

"Maksud kalian apa, hah?"

Sayup-sayup pendengarannya menangkap suara orang mendengkur, perlahan Mecca membuka matanya walaupun terasa berat. Setelah matanya terbuka sempurna, menatap langit-langit ruangan putih yang sangat ia kenali, lalu Mecca beralih menatap seseorang di sebelah kanannya tengah tertidur sambil mendengkur memegang tangannya.

"Lagi-lagi pasti lo yang nyelamatin gue," ucap batin Mecca dengan mata sendunya.

Mecca mencoba ingin bangun, tetapi kepalanya benar-benar sakit, membuatnya kembali merebahkan tubuhnya saja.

"Sial! Falisha kali ini benar-benar kelewatan dan begitupun lo, Far." Tanpa sadar mata Mecca berkaca-kaca.

"Seharusnya lo yang nyelamatin dan ngelindungi gue seperti ucapan lo, tapi semua itu hanya sekedar ucapan," lanjutnya.

"Dia pembohong, Ca." Mecca langsung membelalakkan matanya saat tiba-tiba seseorang yang sebelumnya tertidur pulas malah menyahut.

"Apaan, sih! Tiba-tiba udah bangun, bikin kaget aja," gerutu Mecca karena ia memang terkejut.

Matanya yang masih setengah mengantuk, bukannya menjawab, melainkan menatap Mecca. Membuat Mecca menjadi risih.

"Berhenti natap gue, Val!"

Reval pun berhenti menatap Mecca, tetapi berganti menggenggam tangan Mecca seraya menelungkup wajahnya ke tempat tidur.

"Gue benci melihat lo terluka dan gagal menjaga lo, Ca. Maafin gue sebagai kaka selalu terlambat." Suara Reval berubah serak seperti menahan tangis.

Mecca diam tak memberi respon, memalingkan wajahnya ke arah lain dengan matanya yang kembali berkaca-kaca. "Dan gue benci dikasihani."