Dokter Cicilia mendengar teguran itu. Secepat mungkin dia menarik kepalanya dari pintu kamar VVIP Sea. Banin yang merasa heran sekaligus penasaran itu ikut-ikutan memicingkan matanya.
"Pak! Kok Anda ikut-ikutan mengintip?" tegur Dokter Cicilia sambil menatap wajah tampan Banin. Dadanya berdesir ketika manik matanya bertemu dengan mata biru keabuan itu.
Banin sedikit canggung lalu menarik wajahnya berhadapan dengan Dokter Cicilia.
"Dokter mau masuk?" tanya Banin datar lantas membuka pintu itu. Terlihat Dokter Alex sedang duduk menghadap ke arah pembaringan Sea dan mereka tampak dekat sekali membuat gemuruh kebencian sekaligus kemarahan mengglepar di dadanya.
"Dokter Alex!" Sapaan keras itu membuat Dokter Alex dan Sea menoleh berbarengan. Senyum sumrik terlihat di bibir Sea yang mungil. Keadaan itu semakin membuat dada Banin panas.
"Pak Banin, Anda sudah datang. Kebetulan sekali. Sea kondisinya hari ini sudah mulai membaik. Saya akan ajak dua jalan-jalan ke taman rumah sakit."
Dengan sempurna mata Banin membulat membentuk lingkaran bola. Dada yang panas itu semakin terasa terbakar.
"Nggak usah, Dok. Biar sama saya saja. Lagi pula itu tanggung jawab saya." sambar Banin dengan cepat. Senyum tipis mengembang di bibir Dokter Alex. Yang semakin membuat geram hati Banin.
Ternyata dekat-dekat dengan Dokter muda itu malah bikin dirinya punya penyakit jantung. Sea dan Dokter Cicilia hanya saling berpandangan melihat kekacauan yang dibuat oleh dua pria dewasa itu.
Ada yang menyeruak di hati Dokter Cicilia melihat sosok Sea yang sukses bisa membuat dua pria dewasa itu saling mencari perhatiannya.
"Dokter Alex, Siang ini Anda ada operasi bukan?" tanta Dokter Cicilia yang tiba-tiba ikut nimbrung berbicara. Sejenak Dokter Alex mengerutkan dahinya. Sekilas memasang wajah cantik tang dewasa itu lalu beralih ke wajah Sea yang polos namun bikin candu untuk selalu memandangnya.
Semenjak kapan dokter muda cantik itu mau bertegur sapa dengannya. Semenhak dia menolak perasaan dokter muda itu hubungan Alex dan Cicilia otomatis terputus meskipun mereka sebelumnya juga nggak pernah dekat.
Karena pada dasarnya ayah Cicilia adalah pemilik Rumah Sakit Berlian, hingga gadis itu beberapa tahun yang lalu dengan congkaknya menyatakan perasaan hatinya pada seorang pria muda dan tampan, Dokter Alex. Alih-alih diterima perasaannya ternyata Dokter Alex nencampakkan begitu saja perasaan tang sudah dia ungkapkan.
Setahun sudah betlalu dan kini sosok cantik itu sudah tumbuh menjadi dewasa penuh dengan sikap yang manis dan mendominasi penampilannya yang terlihat dari kalangan atas.
"Sea, sepertinya saya belum busa menemanimu, karena ternyata ada operasi mendadak yang nggak pernah saya perkirakan," ucap Dokter Alex sungguh-sungguh sambil menatap wajah polos Sea.
Gadis polos itu hanya tersenyum lalu mengangguk pelan dan membiarkan dokter muda itu pergi bersama dengan dokter cantik di sampingnya. Sea hanya menatap kepergian mereka dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Banin mengikuti arah mata Sea yang masih menatap kepergian Dokter Alex dan Dokter Cicilia.
"Kenapa kamu menatap Dokter Alex sampai segitunya, Sea? Apa kamu menyukai dokter itu?" tanya Banin dengan nada sinis dan tidak suka.
Sea tersentak mendengar pertanyaan yang terkesan sangat sinis itu. Gadis itu memberanikan diri untuk menatap dalam-dalam wajah bosnya yang baginya begitu tampan dan selalu membuat dadanya berdesir manakala mata biru keabuan itu menatapnya tajam.
Banin yang nggak mendapat jawaban seketika menoleh ke arah Sea. Mendapati gadis cantik itu menatapnya dengan mata jernihnya, jantung Banin seketika berdegub dengan keras. Bertalu-talu seakan ada kendang yang ditabuh terus menerus.
Entah bagaimana awalnya dan siapa yang memulainya, kedua makhluk berlainan jenis itu sudah saling melumat dan menyesap bibir.
Banin yang begitu takut kehilangan Sea dan tak ingin Sea bersama dengan orang lain begitu rakusnya mencium Sea dan memberikan gadis itu ciuman-ciuman panas yang membuat Sea semakin terlena dan terbuai.
Tanpa mereka sadari di balik pintu itu sudah ada camera pengintai seseorang yang sudah merekam gambar-gambar mereka.
****
Ceklek!
Suara itu mengagetkan Banin yang tengah menyesap bibir ranum Sea. Sedang gadis itu itu hanya memejamkan matanya menikmati semua ciuman panas dan sentuhan mesra Banin.
"Aku lihat siapa yang sudah mengingup kita Sea," ucap Banin sambil mengecup bibir Sea lembut lantas pergi ke arah pintu. Sedang Sea hanya mengeluh dalam hati dan membuka matanya dengan berat.
Rasanya dia tidak ingin membuka matanya dan waktu bercumbu dengan Banin berlalu begitu saja. Akh! Ada apa dengan dirinya ini? Kenapa setiap sentuhan Banin sekarang jadi candunya.
Di Luar Rumah Sakit,
Banin menebarkan matanya ke seluruh sudut lorong dan koridor rumah sakit. Dia meneliti setiap celah yang memungkinkan untuk seseorang bersembunyi.
Ketika dia mulai membalikkan badan untuk kembali ke ruang perawatan tiba-tiba dia dikejutkan dengan sebuah tepukan berat seperti benda menimpanya.
Bukkk!
Tak ada yang mampu Banin lakukan selain tergeletak. Bahkan ketika ramai orang bergemuruh mendatangi tubuhnya yang sudah terkaoar di lantai koridor rumah sakit dia sudah tak ingat apa-apa.
"Bani! Sayang, kamu sudah sadar?" Suara yang tak diinginkan oleh Banin itu bergema keras di telinga pria itu. Ada kesal yang begitu sangat saat melihat wajah yang sama sekali tak ingin dilihatnya itu.
Banin mencoba bangkit dari pembaringan namun tangan Eudrie gadis yang sedang menungguinya dari tadi itu dihempaskan dan disentakkan dengan keras oleh Banin. Membuat gadis itu seketika luruh.
Ada air mata yang tiba-tiba membanjiri pipinya membuat Banin sejenak tertegun tapi dia tetap melanjutkan langkahnya keluar dari ruang pemeriksaan dokter itu.
Dengan langkah seribu Banin berjalan ke arah kamar VVIP Sea. Gadis itu entah sudah berapa lama dia tinggalkan. Ada ketakutan dan kecemasan menggelayut di hatinya.
Dengan tergesa pria itu segera membuka pintu kamar itu tapi kamar itu nampak kosong dan rapi. Hati Banin bergemuruh luruh. Pikiran buruk langsung menghinggapi dadanya. Tak di pedulikannya banyak merah dan rasa gatal di tangannya yang mulai menggila rasanya, dia segera lari ke kasir rumah sakit.
Di urungkannya niat untuk menanyakan tentang Sea yang tidak ada di kamarnya karena dilihatnya ruangan itu banyak sekali orang-orang berkerumun dan mengantri.
Kepala Banin seketika terasa berkunang-kunang. Napasnya seperti terasa sesak dan tersengal. Dengan segera dia berlari keluar menjauhi kerumunan itu.
Di tepi rumah sakit Banin berdiri jongkok mengatur napasnya. Diaseperti habis dikejar anjing liat. Napasnya satu-satu dan terasa sulit untuk dihirup.
Tanpa sengaja matanya terbentur pada pemandangan yang tak ingin dilihatnya. Pemandangan yang membuat dadanya semakin sesak dan sulit untuk bernapas.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Banin melangkahkan kakinya dengan amarah yang sudah menyala-nyala di dada.
"Sea!" teriaknya menggema di tempat terbuka itu. Sebuah taman di samping gedung rumah sakit. Teriakan yang keras itu membuat Sea dan Dokter Alex yang asyik bercanda seketika kaget. Lebih kaget lagi ketika tinju mentah itu sudah melayang.
Bukkk!
****