Sorenya, mataku sudah tidak perih dan terasa sakit lagi. Aku akan memenuhi undangan Tumari untuk datang ke lapangan yang ada di dekat rumahku. Sialnya, Yati dan Nawang melihatku, mereka lantas mengikutiku dari belakang.
Di sepanjang jalan aku terus menggerutu, sesekali aku berjongkok berpura-pura mengambil batu, tapi sebenarnya hanya untuk melihat dua anak manusia yang sangat menyebalkan itu sedang membuntutiku.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku, sudah kudengar teriakan kebahagiaan anak-anak bermain di sana. Aku semakin bersemangat dan berjalan dengan sedikit berlari agar cepat sampai.
Sampai di pojok lapangan, Tumari sudah berdiri sembari berkacak pinggang menyambutku. Dia hanya mengenakan celana kolor usang yang sudah banyak bagian yang bolong dan bertelanjang dada. Tubuhnya kurus dengan gambaran tulang iga yang nampak begitu jelas.
Aku pun mendekat, tapi masih menjaga jarak karena tidak kuat dengan aroma tubuhnya yang khas, bau matahari.