Beberapa malah terlempar ke sawah, sementara Jawi yang ia tunggangi lari tidak terkendali.
"Tolong fotokan, Yogi!" Neti memintaku memotret untuk mengabadikan momen gembira itu.
Inilah foto yang malam ini mengingatkanku kepadanya. Foto yang menyimpan kenangan manis itu. Mendatangkan rindu ketika dilihat dan dikenang, dan juga rasa pilunya yang tidak juga kunjung hilang. Ingatan itu masih segar di kepalaku.
Aku melihat tawa Neti lepas begitu bahagia. Di penghujung acara Alek Nagari itu, dia memintaku mengabadikan momen lain. Jawi yang telah selesai bertanding itu didandani layaknya anak daro, kemudian diarak keliling kampung. Perhelatan budaya yang luar biasa. Juga hal yang membekaskan kenangan yang tidak mudah bagiku untuk di lupakan.
Malam semakin larut, aku melihat foto Neti. Senyum itu, masih saja terlihat jelas di pelopak mataku. Juga riuh suara penduduk lokal yang logat dan bahasa Minang yang kental itu mengiang-ngiang di telingaku. Malam dan kenangan sering kali membuat rindu yang tidak seharusnya kuulang, pulang, mengiris tajam di dadaku.
Kepadamu yang telah pergi
Telah kutitip rindu pada langit senja yang yang teduh seteduh matamu
Pandangilah merah, jingganya, hingga rindu yang hangat itu
Merasuk kedalam cakrawala hatimu
Layaknya gelap dan terang yang bertemu dikala senja
Pertemuan kita yang singkat namun indah itu
Takkan pernah ku lupa
Segala kenangan telah tersimpan dalam relung jiwa
Biar kumiliki hingga senja tak lagi ada
Satu hal yang perlu kau tahu
Perihal melupakanmu, aku tak mampu
Karena ingatan tentangmu serupa sang mentari
Walau ia terbenam hari ini
Ia akan datang lagi dikeesokan harinya
"Neti, aku sangat merindukanmu".
...
Jera riuh suara anak kecil bersahutan. Di kolam mandi alami dengan air bening itu, terlihat tiga sahabatku sedang menikmati sejuknya air pemandian, Tirta Alami biru. Kolam di tempat ini tidak dibuat dengan marmer ataupun keramik, hanya dibentuk oleh susunan batu alam. Airnya yang sejuk berasal dari Mata Air. Itulah yang menarik dari Tirta Alami Biru, pemandian yang berada di jalan lintas Pekan Baru-Dumai ini menjadi pilihan kami untuk lari dari kenyataan sejenak. Lari dari sekolah yang membosankan. Lari dari patah hati yang menyedihkan.
"Yogi..., ayo, mandi!" Santi memanggilku dari dalam kolam. Dia terlihat sedang berenang dengan pelampung, sementara Panjul dan Doli tampak bermain air di dekatnya.
Aku lalu melompat masuk ke dalam kolam. Air langsung seketika mengalir menjalari seluruh kulitku. Dinginnya membuatku sedikit agak menggigil.
"Nanti kalau aku udah lulus, kalian pasti kesepian, kan?" Santi secara tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan itu.
Aku ingin menjawab, tetapi Doli lebih dulu mengeluarkan pendapat, "Emang sih kami bakal kesepian, tapi kayaknya yang lebih kesepian lagi itu, kamu deh, Santi. Udah nggak bisa ketemu kami, udah nggak bisa ketemu si Bambang. hmmm, Ckckck!" Dia tertawa seperti menang undian.
"Ah, kamu bercandanya nggak asyik, nih. Bawa-bawa Bambang." Aku bisa melihat wajah Santi yang tampak sedih.
"Ck, maaf deh kalau begitu." Doli mencoba mencairkan suasana.
"Lagian ya, kalian tahu nggak sih, aku udah punya tiga cowok keren, yang ketiga cowok itu adalah kalian, jadi mana mungkin kan aku kesepian," celetuk Santi, tampak berusaha mencoba menyenangkan hatinya.
Aku hanya tersenyum, kulihat Doli juga tidak membantah apa pun. Aku tahu Santi tidak pernah merasa kesepian saat berada bersama kami. Seperti halnya aku yang seolah kehilangan semua masalah saat bersama ketiga sahabatku ini.
"Mandi di sana, yuk." Panjul menunjuk ke arah air terjun kecil buatan yang berada di kolam atas.
Kami segera beranjak menuju kolam itu. Di tempat itu, kami menikmati kucuran air mancur yang tingginya lebih kurang dua meter, yang sering jadi favorit para pengunjung tempat ini. Rasa lelah berenang dan bermain air, aku merasa perutku mulai lapar.
"Ada yang mau makan ngk?" Tanyaku kepada mereka. Dan persis seperti dugaanku, semuanya kelaparan.
Aku langsung bangkit dan beranjak keluar dari kolam, mencari warung kecil yang berada di sekitar pemandian. Di sini memang tidak ada kedai yang menjual makanan berat, tidak ada juga restoran, yang ada hanya warung kecil yang menyediakan camilan ringan, minuman botol, dan mi instan.
Aku lalu memesan empat porsi mi gelas. Menikmati mi gelas dengan kondisi tubuh sehabis berenang adalah salah satu surga rasa yang tidak akan kami lewatkan di sini. Tak lama kemudian, pesananku sudah siap dan aku segera membawanya ke tepi kolam renang.
"Hei..., ayo ke sini." Aku mengacungkan mi gelas di tanganku. Tak perlu dua kali memanggil ketiga sahabatku itu. Mereka telah bergegas keluar dari kolam.
PLAAAAK! Tiba-tiba, sebuah bola melayang mengenai tangan kiriku, membuatku kaget dan menjatuhkan dua mi gelas yang sedang kupegang. Sial! Aku tiba-tiba geram. Siapa yang berani melempariku dengan bola? Aku spontan langsung melihat ke arah kolam, tiba-tiba seseorang gadis menghampiriku.
"Maaf, ponakan saya yang melempar bola itu tadi, sekali lagi maaf," ucap seseorang dengan nada panik. Gadis itu....
Cantik sekali, bisikku dalam hati. Namun, untuk saat ini, mi lebih penting daripada gadis cantik mana pun. "Kalau punya ponakan, dijagain dong! masak jagain keponakan aja ngk bisa?!" ucapku dengan nada tinggi. "Panas lagi nih." Aku meniup-niup lenganku yang tersiram kuah panas mi.
"Iya, tolong maafkan ponakan saya, iya memang agresif, tapi dia ngk sengaja kok" ucapnya. Dia memegangi tanganku. "Sebentar," ucapnya. Dia berjalan mencari sesuatu. Berlalu ke arah deretan warung yang ada di sekitar pemandian. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan obat yang dibawanya, aku tidak tahu itu obat apa. Hanya berbentuk minyak dengan ramuan tradisional. Mungkin dia dapatkan dari pemilik warung. Aku tidak pernah memakai obat-obatan seperti itu sebelumnya. Yang pasti—mungkin karena kulitku perih—aku tidak menolak saat dia mengoleskan obat itu ke tanganku.
"Pelan-pelan ya," pintaku saat kulitku terasa perih akibat terkena obat yang dia oleskan.
"Sebentar ya, biar saya belikan mi lagi." Lalu dia pergi sebelum aku sempat mencegahnya.
Tiga sahabatku sedang terlihat bingung menatapku dan melihat ke arah gadis yang baru saja pergi.
"Siapa itu gi'?" tanya Panjul.
"Nggak tahu, itu mi nya jatuh gara-gara kena lemparan bola ponakannya." Aku melirik dua gelas mi yang berserakan.
Beberapa saat kemudian, gadis itu datang lagi dengan mi gelas.
"Ini mi gantinya. Sekali lagi, tolong maafkan ulah keponakan saya. Saya permisi dulu," ucapnya pamit. Lagi-lagi, tiga sahabatku terlihat kebingungan. Kali ini, aku pun ikut bingung. Sekaligus bertanya di dalam hati, "Siapa dia?"
Itulah awal baru untuk kisah ini. Terdengar klise, tapi kenyataan kadang-kadang memang dibentuk dari hal-hal klise.