Chapter 13 - BAB13

Hal yang bahkan terasa lucu dan tidak mungkin terjadi. Namun, tidak ada yang tahu apa yang dirahasiakan oleh Sang pencipta dan yang Maha Mengatur semesta hari itu. Dan pertemuan itu telah meninggalkan sesuatu yang mempertemukanku dengan banyak hal pada hari berikutnya.

"Yuk, makan!" Doli memecahkan kecanggungan di antara kami. Dia segera mengambil satu gelas mi yang ditaruh di atas batu dekat aku berdiri. Dan mengambilkan untuk yang lainnya. Kami menikmati mi yang sudah hampir dingin itu di tepi kolam. Suasana kembali cair. Doli masih saja menggoda perempuan yang lalu-lalang di sekitar kami. Santi hanya tersenyum melihat ulahnya, sementara Panjul menikmati mi dengan sesekali menatap senyum Santi, tanpa perempuan itu sadari.

Setelah selesai makan mi, aku lalu melihat tempat anak kecil tadi melempariku, tetapi aku tidak menemukan dia di sana—tidak juga gadis itu.

***

Berenang hampir seharian penuh membuat Panjul dan Doli kelelahan. Sampai di tempat kos, mereka langsung tidur dan seolah tidak sadarkan diri. Aku pun juga merasa begitu lelah, tetapi ada satu hal yang mengganjal dalam pikiranku. Gadis tadi siang, dia mulai mengusik kepalaku.

Aku baru ingat, tadi Aku tidak sempat berterima kasih. Kenapa aku malah kepikiran seperti ini?

Aku butuh ketenangan beberapa saat untuk kembali memulihkan pikiranku. Kalau ini hanya penasaran, aku penasaran atas sikapnya yang tetap baik saat aku berkata sedikit meninggi. Meski sebenarnya bukan salahnya, dia malah memperlakukan diri seolah dialah yang bersalah. Aku jadi merasa bersalah telah berkata dengan nada meninggi kepadanya.

"Siapa namanya? bisikku, ah sial, kenapa aku jadi sebodoh itu tadi, aku bahkan tidak sempat bertanya siapa namanya. Tapi, memang aku yang agak payah dalam urusan mendekati perempuan, apalagi untuk berkenalan dengan orang yang baru kutemui. Tertinggal jauhlah dibandingkan Doli.

Aku melepaskan ingatan tentang gadis itu. Berusaha kembali berpikir realistis. Aku memejamkan mata, mencari celah di mana aku bisa melupakan ingatan-ingatan yang dari tadi menunda tidurku.

Aku berjalan menuju perpustakaan. Hari ini sahabat-sahabatku sibuk dengan urusannya masing-masing. Doli dan Panjul, seperti biasa, nongkrong di Warung Sarapan Bude Mery. Sementara, Santi sedang sibuk menyiapkan diri untuk mengikuti sidang beberapa hari lagi. Sepertinya, ketakutan akan sidang pelajaran lebih banyak daripada kebutuhan yang diperlukan Santi saat sidang nanti. Rencananya, sehabis dari perpustakaan, aku akan mengajak Panjul dan Doli untuk memberi semangat kepada Santi.

Aku lalu masuk perpustakaan, melihat ke arah pegawai perpustakaan yang sama sekali tidak pernah memberi senyum. Entah apa yang ada di pikirannya. Apakah terlalu banyak masalah dalam hidupnya hingga untuk memberi senyum saja dia terlihat begitu berat? Dia tidak tahu bagaimana rasanya ditinggalkan tiba-tiba dan tetap berusaha tersenyum.

Mungkin kalau dia mau memberi sambutan lebih ramah, mungkin saja para siswa akan senang datang ke perpustakaan. Kalau semua orang rajin ke perpustakaan, maka semua orang akan senang di perpustakaan, dan minat membaca para siswa sekolah ini mungkin juga akan ikut meningkat. Hasilnya, kualitas siswa sekolah ini akan semakin membaik dan siap bersaing, kan? Tidak menjadi pengangguran berdasi di kemudian harinya. Itu artinya mereka adalah orang-orang yang berperan dalam hal banyak atau tidaknya pengangguran di negara ini.

Aku berjalan menyusuri rak buku fiksi dan puisi. Berniat mencari bacaan hiburan di antara bacaan-bacaan teks teori yang harus kubaca. Jari-jariku mulai menyentuh barisan novel penulis-penulis Indonesia. Koleksi buku fiksi dan puisi di perpustakaan ini cukup banyak. Setidaknya ada ratusan judul novel dan puluhan judul buku kumpulan puisi. Dulu, aku pernah berdiskusi dengan Neti di bagian rak ini. Percakapan yang berakhir dengan teguran oleh petugas perpustakaan. Di bagian rak ini, percakapan itu seolah diputar kembali. >

... seharusnya, dengan koleksi novel dan buku puisi yang banyak begini, para siswa bisa lebih rajin ke perpustakaan. Minat baca siswa - siswa di sekolah ini akan meningkat lebih tinggi," ucapku.

"Kenapa begitu? Nggak semua siswa suka baca novel, apalagi buku puisi. Baca buku pelajaran saja banyak sekali di antara mereka yang malas," jawab Neti.

"Tapi mereka seharusnya rajin membaca, kan? Menyedihkan sekali, kalau sudah jadi siswa malah tidak suka membaca buku."

"Kan nggak harus novel dan buku puisi juga, Yogi." Neti mengangkat bahunya.

"Aku nggak bilang mereka harus baca novel dan buku puisi, Neti. Tapi, novel dan buku puisi bisa jadi pilihan lo untuk membuat mereka suka membaca buku. Novel dan buku puisi adalah bacaan yang baik untuk mulai menumbuhkan minat baca. Jadi, siswa-siswa yang malas dan nggak betah baca buku pelajaran sekolah, mereka bisa mulai dengan membaca novel dan buku puisi. Kalau jadi siswa harus banyak bacalah." Aku menjelaskan maksud pembahasanku.

"Kamu nggak bisa nyalahin minat baca para siswa di sekolah ini rendah karena semata kesalahan mereka. Ada banyak faktor: pelayanan petugas perpustakaan, suasana perpustakaan, juga koleksi buku-buku yang ada, bisa jadi perhatian pejabat kampus juga masih kurang dalam usaha menumbuhkan minat baca. Dan... nggak semua novel atau buku puisi menyenangkan untuk dibaca, apalagi bagi pembaca pemula."

Aku tahu Neti sedang tidak membela kemalasan membaca. Ia hanya sedang merasa resah dengan tuntutanku yang menyatakan harusnya para siswa memiliki minat baca yang tinggi. Padahal maksudku tidak seperti yang dipikirkan Neti.

"Eh, kalian jangan berisik! Ini perpustakaan. Bukan tempat pacaran!" Suara petugas itu menghentikan percakapan kami.

Akhirnya aku dan Neti sepakat bahwa ada banyak hal yang harus dilakukan untuk menumbuhkan minat baca. Tidak cukup dengan hanya koleksi buku yang banyak di perpustakaan, tetapi juga harus ada upaya pihak sekolah: pejabat kampus, guru, dan petugas perpustakaan. Semua elemen harus dengan serius dan fokus menjadi penggerak agar siswa-siswa menyenangi kegiatan membaca.

"... karena, bangsa ini, kebanyakan orang hanya masih berada dalam tahap sekadar pandai membaca, belum pada tahap yang menyukai kegiatan membaca buku."

Sering kita bertanya dalam hati, mengapa negara kita susah bersaing dengan negara-negara lain, apa ada yang salah dalam system perikehidupan rakyat kita. Seberapakah strata pendidikan, kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan yang dimiliki, inovasi dan rekayasa teknologi yang sudah kita buat, apa yang telah dihasilkan karya-karya monumental putra-putri Bangsa Indonesia saat ini, semua itu menggelitik di sanubari para kaum cerdik pandai yang merumuskan dari titik mana kita mau mulai membenahi bangsa kita. Ternyata para penggiat pendidikan sepakat bahwa pintu gerbang penguasaan ilmu pengetahuan adalah dengan banyak MEMBACA. Sebab dengan membaca dapat membuka jendela dunia. Ketika jendela dunia sudah terbuka, masyarakat Indonesia akan dapat melihat keluar, sisi-sisi apa yang ada dibalik jendela tersebut. Sehingga cara berpikir masyarakat kita akan maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera.