Chapter 17 - BAB17

Pagi ini adalah hari bahagia bagi kami. Ya, hari ini Santi lulus. Usaha Santi berbuah manis. Dia akan membuat lukisan senyum indah bercampur bangga di bibir kedua orangtuanya. Hal yang seharusnya juga sudah kulakukan. Namun, hari ini giliranku belum tiba.

"Eh, ayo buruan. Kita tuh kan jadi panitia acara Santi." "Panitia? Kau saja kali."

"Ya elah, Doli. Gitu amat sih lo sama teman sendiri." Panjul melihat dengan tatapan sinis ke arah kami berdua.

"Ck! Nnjul, aku cuman bercanda lagi. Kamu serius amat, sih." Doli malah tertawa.

"Yuk, buruan!" Aku lalu mengajak dua lelaki itu.

Halaman depan gedung sekolah yang baru dibangun itu disulap menjadi tempat pelaksanaan kelulusan. Kiri dan kanannya dipasangkan tirai yang biasa digunakan untuk pesta pernikahan. Tiga orang MC dengan pakaian anak daro dari budaya minangkabau sudah bersiap-siap di sebelah panggung. Di bagian paling depan, ada beberapa baris kursi khusus. Dan, di salah satu kursi itu ada nama sahabat kami: Santi Susanti.

Aku duduk di bagian paling belakang, tempat yang memang di sengaja disediakan untuk para siswa yang ingin mengunjungi hari bahagia teman mereka. Kami memperhatikan satu per satu kelulusan dan kelulusan yang datang. Namun, sahabat kami "Santi" belum juga sampai. Mungkin dia sedang terjebak macet.

Di antara kami bertiga pada hari ini, Panjul-lah yang berpenampilan paling rapi. Aku hanya memakai kaus dilapisi versity, Doli lebih santai lagi, dia hanya memakai celana pendek dengan kaus putih, serta sepatu Vans warna merah-hitam. Sedangkan Panjul memakai kemeja biru muda dengan celana jeans hitam dan sepatu warna hitam. Rambutnya pun disisir rapi.

Saat aku bertanya kenapa dia tiba-tiba rapi begini, dia malah menjawab santai.

"Periode depan, aku yang akan lulus, jadi harus latihan berpakaian rapi dari sekarang." Panjul terlihat begitu bersemangat mengatakannya. Aku tidak melanjutkan pertanyaanku. Aku memang tidak bisa mencari kalimat yang tepat untuk mendebat Panjul perihal kelulusan.

Ada rasa sesak melihat orang-orang lulus, saat aku sudah menjadi siswa akhir begini di sekolahku, apalagi mengingat pesan Ayah. Seharusnya aku bisa lulus lebih cepat, andai saja aku memulainya dengan baik dari awal. Namun, penyesalan itu memang selalu datang belakangan. Apa yang sudah terjadi, kini hanya harus kujalani sebaik mungkin. Ibarat nasi yang sudah menjadi bubur, bagaimana membuat bubur itu bisa menjadi kerupuk yang enak dimakan bersama nasi.

"Hai semuanya!" Santi mendekati kami. Kami bertiga langsung menyalami gadis yang sedang berbahagia pada hari ini itu. Mengucapkan selamat atas apa yang sudah dicapai oleh sahabat kami itu. Hari ini, Santi terlihat berbeda dan tampak sangat cantik dengan make-up yang tidak pernah ia pakai pada hari biasa.

"Kamu cantik sekali hari ini, Santi!" puji Doli, membuat Santi tersipu. Meski sering menggombal, tapi kali ini Doli mengatakannya dengan tulus.

"Kau kenapa, Njul? Dari tadi terlihat aneh mulu." Doli menepuk bahu Panjul.

"Anu-aku nggak apa-apa kok. Ck!" Panjul tampak salah tingkah. "Cuma grogi dengan acara kelulusan ini. Kan kamu mau lulus juga," selorohnya lagi. Dia tampak seperti sedang merahasiakan sesuatu kepada kami. Entahlah.

"Kepada siswa dan siswi calon kelulusan, dimohon untuk duduk di kursi masing-masing yang sudah di sediakan." Terdengar suara MC memanggil. Itu artinya Santi harus segera meninggalkan kami. Aku dan yang lainnya melambaikan tangan, memberi semangat kepada Santi.

Acara yang dimulai dengan tari pasambahan asal minangkabau itu dilanjutkan dengan pembukaan oleh panitia, dekan, dan sambutan dari orangtua. Pembacaan nama siswa dan siswi terbaik yang lulus. Lalu, acara hiburan diisi dengan musik khas Minangkabau dan Melayu, juga penampilan tari piring yang juga berasal dari Minangkabau. Bagiannya di rentakkan pecahan piring itu selalu mengagumkan para penonton.

Beberapa saat kemudian, aku berdiri.

"Mau ke mana Yogi?" sergah Doli saat aku beranjak meninggalkan mereka.

"Ke toilet, bentar. Ikut?" jawabku. "Enggak. Makasih!"

Aku berjalan sendiri, mencari toilet di dekat sekretariat BEMF. Namun, ternyata toiletnya penuh. Daripada menunggu, aku lalu memutuskan untuk kembali ke tempat duduk karena sebenarnya aku hanya ingin mencuci muka saja agar tak mengantuk. Karena semalam, aku tidur pukul empat dini hari dan harus bangun pukul enam pagi—bersiap-siap datang ke acara kelulusan ini.

Aku lalu memperhatikan sekeliling. Melihat-lihat ke arah hamparan manusia yang datang untuk mengunjungi anak, saudara, sahabat, dan orang penting bagi mereka. Aku ingin kembali menuju acara kelulusan yang berada di halaman utama sekolah. Gedung sekolah yang berbentuk setengah lingkaran itu menjadi begitu sesak. Sebab banyak orang yang lalu-lalang dan duduk-duduk di tepi teras halaman sekolah. Aku lalu berjalan mendekati tempat Doli dan Panjul menunggu di bagian kiri sekolah. Dengan menghadap ke tengah serta melihat ke arah panggung di halaman utama. Selepas beberapa meter dari sekretariat BEMF, mataku terhenti pada sosok seorang gadis. Dia...? Aku sungguh tak percaya, tetapi ini sungguh nyata. Mataku benar-benar menangkap sosok seorang gadis yang telah mengobati lenganku saat di pemandian Tirta Alami pada saat itu. Gadis yang keponakannya telah menumpahkan mi gelas milikku.

Segera mungkin aku langsung bergerak ke arahnya, dengan tak menghiraukan panggilan Doli yang heran dengan kepergianku yang tiba-tiba. Gadis itu berjalan di teras sekolah. Dari pakaian yang dia kenakan, bisa dipastikan dia bukan siswi yang ikut dalam acara kelulusan di kampus ini. Mungkin datang untuk seseorang yang diluluskan. Dia memakai baju biru dengan jaket rajut warna senada dan celana jeans hitam. Dengan sedikit terburu-buru, aku akhirnya bisa berada di dekatnya. Kini, mataku berhadapan dengan matanya.

Untuk beberapa saat, kami saling terdiam. Dia menatapku heran. Aku malah tiba-tiba gugup, menyadari apa yang baru saja kulakukan. Kenapa aku tiba-tiba mengejarnya dan memanggil agar dia berhenti. Setelah dia menoleh ke belakang, kami hampir bertabrakan.

"Salam, Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya memecahkan keheningan.

"Kamu nggak ingat aku?" Aku mengerutkan kening. Sungguh, ini benar-benar telah membuatku merasa malu.

"Maaf, kamu siapa ya?" "A-Aku Yogi, kamu boleh panggil, Yo, Gi, atau Yogi. terserah hehe!"

"Aku Anisa. Panggil Anisa saja," balasnya dengan menyambut uluran tanganku.

"Anisa. Saja?"

"Bukan. Anisa. Nggak pakai saja."

"Iya. Anisa." Aku berusaha mengumpulkan fokus karena konsentrasiku mulai goyah. Sial, aku seperti kehilangan kendali karena gadis ini. Alisnya yang tebal tertata begitu rapi, senyumnya yang menenangkan, dan matanya yang agak sipit membuatku terkesima. MasyaAllah.

"Aku yang waktu itu di pemandian Tirta Alami," jelasku, berharap ia ingat.

"Ooo..., yang tangannya kena air mi panas?" huuu Akhirnya, dia ingat juga kejadian itu.

"Iya. Benar."

"Maafin ya, keponakanku waktu itu."

Aku hanya mengangguk, "Terima kasih juga sudah mengobati lukaku," balasku.