Chapter 18 - BAB18

Aku lalu memberanikan diri mengajaknya untuk duduk sebentar dengan alasan tidak enak ngobrol sambil berdiri. Aku tak akan mau melewatkan momen ini. Karena Dia sudah mengusik ketenangan malamku sejak kali pertama bertemu dengannya waktu itu. Kali ini, aku sama sekali tidak ingin melepaskannya lagi.

"Kalau boleh tahu Kamu ke sini ngapain?"

"Ada temanku yang lulus di sini," jelasnya.

" Ow teman kamu sekolah di sini juga?"

"Iya." Dia tersenyum.

Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Ada pesan singkat dari si Doli.

Yogi... kau di mana? Santi udah mau selasai nih.

"Maaf, Anisa, sepertinya aku harus pamit dulu ngk apapa kan?...," ucapku. "Kalau kamu nggak keberatan, aku boleh minta nomor ponselmu? Maksudku, supaya kita bisa berkomunikasi lagi setelah ini."

Aku butuh beberapa detik menunggu, sebelum gadis itu mengangguk. Lalu, tersenyum dan menyebutkan dua belas digit angka ponselnya.

"Terima kasih." Lalu, aku pergi. Kulihat dia masih memberikan senyum tanpa bicara apa pun mengiringi kepergianku. Sejujurnya aku grogi, tapi entah mengapa, aku sepertinya merasa terlalu banyak bicara.

Setelah meninggalkannya, aku baru sadar kalau ternyata aku terlalu aktif mendekatinya. Yang penting penasaranku sudah hilang dan aku punya nomor kontaknya. Juga tahu di mana dia tinggal. Katanya, dia tinggal di dekat daerah sekolah, hanya beberapa kilometer saja dari tempat kosku.

"Ke mana aja sih?" tanya Doli saat aku kembali.

"Ada deh!" jawabku diikuti senyum. "Kamu udah ditungguin Santi nih." Sambung Panjul.

Santi hanya tersenyum melihat tingkah kami. Senyuman yang menenangkan. Senyum kebahagiaan. Meski tidak bisa ditutupi gurat lelah di wajahnya. Namun, semua itu masih tersamarkan oleh make up-nya yang berbeda.

"Yuk, kita ketemu keluargaku dulu. Kita foto-foto!" Santi mengajak kami bertemu keluarganya yang datang untuk menemani anak mereka lulus. Kami pun mengikuti langkah Santi.

Semua ini terasa begitu cepat berjalan. Baru saja rasanya kami menjadi siswa baru di sekolah ini. Tapi kini satu di antara kami akan segera menempuh jalan yang baru. Selesai sudah perjuangan Santi di sekolah ini. Dia sudah melalui proses panjang ini lebih cepat. Kami berempat bagaikan daun yang tumbuh di ranting yang sama. Menghadapi badai dan hujan bersama. Namun, Santi adalah daun yang cepat matang, dia jatuh lebih dulu daripada kami. Dia pindah untuk mencari tempat lain. Bukan sebagai daun lagi, melainkan menjadi wujud lain.

Hari ini, aku mulai belajar tentang kepergian, keharusan menerima kepergian, dan tentang sesuatu yang tumbuh setelah lama ditinggalkan. Juga tentang perputaran hari yang berlalu tanpa terasa. Semua bergerak begitu cepat. Aku mengenang banyak hal yang terjadi belakangan ini. Hari-hari yang bahagia. Juga, hari-hari kesedihan datang tak terduga. Tuhan selalu punya kejutan atas rasa penerimaan manusia pada kenyataan yang diberikan-Nya. Aku memulainya dengan belajar menerima diriku yang dilepaskan begitu saja. Pun pertemuan-pertemuan dengan orang baru setelahnya. Ada perasaan yang tak bisa kuelakkan di dada ini. Dia meletup-letup setiap kali aku mengingat Anisa. Seorang gadis yang hari ini kutemui lagi. Tidak hanya nama, dia bahkan mau memberikan nomor kontaknya.

Apa ini saatnya aku harus berpindah? Benar-benar meninggalkan yang yang telah menanggalkan hatiku. Aku menatap langit-langit kamarku. Semuanya seolah membawaku semakin jauh. Enam bulan sudah aku ditinggalkan oleh Neti. Dia bahkan tak pernah lagi bertemu denganku. Perlahan-lahan, rasa rindu yang dulunya begitu kuat kepadanya terasa sudah mulai hambar. Dan seperti daun yang jatuh, akan ada daun baru yang tumbuh untuk membuat pohon tetap hidup. Untuk membuat pohon tetap terlihat indah.

Wajah Neti dan Anisa seolah bergantian hadir di langit-langit kamarku. Aku mencoba memejamkan mata. Dan hanya Anisa yang terlihat. Ya, hanya dia. Tak ada perempuan lain.

Matanya yang sipit, tetapi tajam, alis tebal, barisan giginya yang rapi dan putih, juga pakaian yang bernuansa gelap, membuatnya semakin nyata di kepalaku. Dia memiliki senyuman yang dingin, tetapi melekat di ingatan.

"Yogi!" Kepala Doli muncul dari balik pintu seiring suaranya sampai ke telingaku. "Lah, kenapa malah tiduran? Kan malam ini kita ngerayain kelulusannya Santi."

Sial, aku lupa kalau malam ini kami akan pergi makan-makan untuk merayakan kelulusan Santi. Doli dan Panjul sudah terlihat siap berangkat, sementara aku malah bermalas-malasan di tempat tidur. Terhanyut dengan pikiranku yang menerawang entah ke mana.

"Tunggu sebentar. Aku lupa!" Aku bergegas bangkit dari tempat tidur. Mengambil handuk dan bergerak ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku keluar dan bergegas berpakaian. Hanya hitungan menit, kami pun siap berangkat.

Perlahan, namun pasti. Aku pelan-pelan mulai tahu sedikit demi sedikit tentang Anisa. Meski terkadang tetap bersikap dingin, kedekatanku dengan Anisa semakin baik. Beberapa hari belakangan ini, kami malah intens berkomunikasi via telepon. Aku dan Anisa mulai bertukar cerita. Anisa datang ke Pekan Baru untuk satu alasan yang tidak bisa dia sebutkan. Setidaknya, sampai dia bisa bercerita kepadaku. Begitu katanya. Aku tentu harus menghargai ruang pribadinya itu. Apa pun alasannya, itu tidak jadi masalah. Yang jelas, semakin hari aku merasa kami semakin memiliki kedekatan. Dan kabar baiknya lagi, dia bersedia bertemu denganku. Dan kabar kurang baiknya, dia tidak bisa lama-lama. Hanya satu jam. Pertemuan itu direncanakan lusa, di sebuah taman dekat sekolah. Dan aku menunggu momen itu dengan perasaan harap-harap cemas. Entah kenapa, rasanya seperti menunggu sesuatu yang sudah begitu lama kunantikan.

"Tidur, Yogi! Sudah pukul dua pagi nih." Doli tiba-tiba mengagetkanku dari belakang. Dia terbangun dan beranjak menuju kamar mandi.

"Iya. Bentar lagi. Aku masih ada pekerjaan." Dia tidak menghiraukan jawabanku. Seusai dari kamar mandi, dia langsung masuk ke kamar dan kembali tidur. Aku masih menikmati hening malam hingga beberapa saat kemudian.

Beberapa penantian beruntung dan menemukan pertemuan, meski selebihnya tidak menemukan apa-apa, selain tetap menjadi penantian yang tanpa kejelasan apa-apa. Aku sedang beruntung. Penantian itu pun berakhir, dan aku menemukannya. Akhirnya, aku bisa bertemu kembali dengan Anisa. Tadinya, aku ingin menjemput Anisa ke rumah neneknya, tempat ia tinggal. Namun, Anisa tidak berkenan.

Aku menunggunya di taman sekolah. Entah kenapa, dia malah tidak mau diajak bertemu di kafe atau tempat untuk sekadar mengobrol.

"Aku lebih suka di taman sekolahmu, lagi pula aku nggak terlalu tahu banyak daerah sini."

Pukul setengah lima sore, matahari turun dengan tenang. Hangatnya sudah tak begitu kejam membakar kulit. Aku duduk sendiri di satu bangku taman sekolah. Ini hari Minggu, orang-orang sedang libur. Namun, ada beberapa siswa terlihat berlalu-lalang, mungkin ada kegiatan lain.

Aku melirik jarum jam di tanganku. Sudah dua puluh menit, Anisa belum juga datang. Apa dia membohongiku? Namun, rasanya tidak mungkin. Kalau seandainya dia tidak mau menemuiku, pasti dia tidak akan membuatku menunggu. Aku berusaha tetap tenang. Meyakinkan diriku bahwa dia pasti akan datang.