Chapter 11 - BAB11

Kisah cintaku menjadi seperti ini karena memang sudah seharusnya demikian. Kita mencintai seseorang tak hanya karena apa yang kita rasakan saat itu saja, namun juga karena apa yang ia berikan untuk kita sehingga kita merasa aman dan diterima.

Tentu saja, perasaan cinta lebih mendominasi daripada emosi. Kumpulan emosi inilah yang membuatku berpikir bahwa apa yang kita rasakan sudah tentu dirasakan pasangan kita, padahal mungkin kenyataannya berbeda. Sehingga kehadiran orang baru di hidupku nampaknya akan sia-sia jika aku masih belum bisa melupakan dirinya.

Hubungan kami menjadi tak ada juntrungannya. Sehingga satu-satunya hal yang aku ingat dari dirinya adalah tentang bagaimana ia dengan hebatnya menggoreskan luka dan membuatku kepayahan untuk bernafas. Dan akupun mulai bertanya-tanya, apakah ini cinta yang sebenarnya? Karena semakin lama perasaan ini semakin tak karuan.

Aku hanya takut tak bisa terbiasa tanpanya. Dan meskipun sulit untuk kuakui, hubungan ini tak bisa dibawa kenana-mana lagi. Bagaimana bisa aku berjalan menjauh begitu saja ketika faktanya orang inilah yang berhasil memberikan banyak warna? Aku tak ingin kehilangan dirinya, meskipun ia bukan yang terbaik untukku. 

Rasanya memang tak pernah mudah untuk merelakan seseorang yang begitu berpengaruh dalam hidup kita, namun itu harus tetap kulakukan.

Bukan berarti aku tidak bisa merelakan, aku hanya tak ingin merelakan. Aku menolak untuk mengikhlaskan dan melupakannya. Dan kenyataan bahwa aku masih kesulitan melupakannya tak serta merta membuatku buru-buru mencari cinta yang baru. Aku percaya suatu hari nanti aku akan menemukan kebahagiaanku yang pernah direnggut. 

...

Ingatan sering kali menjelma bagaikan pisau yang mengiris hati. Malam ini, kenangan semakin mengambang pada malam yang terlampau larut dan semakin larut. Namun, belum juga menjadi pagi. Kenangan bersama Neti kembali datang. Tadi aku berusaha tidur lebih awal, entah mengapa tengah malam begini malah terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Dalam suasana sepi begini, sejujurnya aku tidak bisa menolak ingatan yang datang. Aku merindukan Neti. Teramat sangat rindu.

Banyak kenangan yang sudah kami lalui. Dua tahun, hampir sebagian besar tempat wisata di Pekan Baru Riau pernah kami kunjungi. Sebelum putus—tepatnya, sebelum dia meminta putus—kami datang ke acara budaya MinangKabau di Sumatra Barat. Aku masih ingat, dan ingatan itu semakin jelas malam ini.

Raut wajah Neti terlihat bahagia meski lelah setelah menempuh perjalanan panjang setelah kami sampai di kota Padang, lalu kami langsung menuju Kabupaten Tanah Datar, 96 km dari Kota Padang. Hari itu, aku menemaninya melihat acara Alek Nagari di Batusangkar, namanya Pacu Jawi». Salah satu budaya lokal yang sudah mendunia.

"Aku nggak pernah dapat izin dari ayahku, dari dulu udah sangat penasaran. Jadi, kamu harus menemaniku ke sana." Kami pun pergi tanpa izin ayah Neti.

Suasana riuh langsung menyambut kami. Percakapan-percakapan dengan logat dan bahasa Minang yang kental serasa di pasar tradisional. Samar-samar di antara keriuhan suara pengunjung, ada alunan musik tradisional yang memanjakan telinga. Bunyi-bunyian suara talempong, gandang, dan saluang begitu sangat memeriahkan suasana. Di kiri dan kanan bagian sawah yang dijadikan lapangan Pacu Jawi, ada ratusan penonton berbaris. Mulai dari masyarakat lokal sampai turis lokal dari luar negeri. Juga, media lokal dari luar negeri yang datang meliput.

"Kalau udah gini, aku jadi semakin bangga dengan budaya Minangkabau," ucap Neti dengan nada haru. Pemandangan yang ada di sekitar kami benar-benar mempesona.

Beberapa puluh meter dari kami, terlihat berkumpul ratusan jawi yang akan mengikuti permainan. Ya, ini hanya permainan, bukan perlombaan. Namun, tetap ada pemenang. Unik dan sungguh sangat berkesan bagiku.

Neti lalu mengajakku duduk dekat seorang laki-laki tua, penduduk daerah itu.

"Dari mano, Nak?" Lelaki yang terlihat kira-kira berusia sekitar 50 tahun itu menanyai kami dengan ramah.

"Dari Pekan Baru, Pak," jawabku tersenyum.

"MasyaAllah jauah yo, alah pernah menonton Pacu Jawi sabalunnyo?"

"Belum, Pak. Baru pertama kali," jawabku dengan bahasa Indonesia. Aku antusias ingin tahu banyak tentang acara ini. Terpikir untuk bertanya lebih tentang acara ini. Namun, lelaki yang mengenalkan nama sebagai Agus itu malah lebih dulu bercerita. Neti tentu langsung fokus pada apa yang diceritakan Pak Agus. Mumpung pacuannya belum dimulai. Jawi-jawi-nya masih dipersiapkan.

"Jadi, kapan Pacu Jawi ini dimulai, Pak?" Neti penasaran.

"Tidak ada yang tahu pasti kapan kali pertama acara ini diadakan. Dari ratusan tahun lalu, dari zaman nenek moyang kita sudah ada. Sudah menjadi tradisi turun-temurun...," jelas Pak Agus.

"Saya sudah menjadi joki lebih dari dua puluh lima tahun." Pak Agus berkata dengan perasaan bangga.

Joki adalah penunggang jawi di permainan Pacu Jawi. Uniknya, dari cerita Pak Agus, permainan Pacu Jawi ini tidak hanya sekadar acara hiburan semata, tetapi juga ada makna yang dalam. Jawi pemenang pun bukan jawi yang larinya paling cepat ataupun yang tubuhnya bagus.

"Jawi nan manang, Jawi nan larinyo luruih'"" Sebab banyak jawi yang melenceng dari arena, bahkan ada yang pindah haluan ke sawah lain. "Jawi yang larinya lurus itu, apalagi yang bisa menuntun pasangannya untuk tetap lurus adalah jawi terbaik. Filosofinya, jawi yang jalannya lurus adalah jawi yang baik, begitu juga manusia. Yang jalan hidupnya di jalan lurus adalah manusia terbaik."

"Bedanya dengan karapan sapi yang ada di Madura apa, Pak?"

"Ya, bedanya, di luar filosofinya, secara permainan pun juga sudah beda. Kalau karapan sapi di Madura, diadakan di lapangan kering. Nah, seperti Anak lihat sendiri, pacu jawi di tengah sawah. Dulu, sejarahnya, Pacu Jawi ini dibikin untuk hiburan petani setelah selesai panen padi. Lama-kelamaan malah tumbuh menjadi kebudayaan daerah ini." Pak Agus menjelaskan dengan sangat bersemangat.

Setelah panjang lebar bercerita, acara pun di mulai. Terdengar sorak para joki di tengah sawah.

"Ayok tagak. Acara alah mulai." Pak Agus mengajak kami berdiri, mendekat ke tepi sawah untuk melihat jawi yang dipacu.

Uniknya, jawi yang dibawa di permainan pacu jawi ini adalah sepasang jawi, jantan dan betina, dengan seorang joki menggunakan bajak sawah sebagai tempat berdiri.

"AYO!" Sorak suara pemandu memulai acara.

Sepasang jawi berlari sambil ekor mereka dipegang oleh sang joki. Untuk mempercepat lari jawi-nya, tak jarang sang joki menggigit ekor jawi yang dikendalikannya. Terlihat mudah pada awalnya. Namun nyatanya, usaha mengemudikan jawi di tengah sawah itu sangat tidak mudah. Sawah yang penuh lumpur itu menjadi menarik diperhatikan saat jawi mulai berlari. Pemandangan seperti hujan lumpur menggelimangi tubuh para joki. Dalam permainan itu, tidak semua joki berhasil sampai garis akhir.