Chapter 8 - BAB8

Awalnya, aku berpikir, ronggeng ini bukan budaya Minangkabau. Namun, ternyata Ronggeng Pasaman ini memang salah satu kebudayaan Minang. Santi yang menjelaskannya kepada kami. Meski menurut yang Santi jelaskan, budaya itu memang bukan murni dari orang Minang. Ronggeng Pasaman ini sudah melalui proses pemodifikasian, tetapi memiliki ciri khas sendiri.

"Aku pernah tanya sama kakekku. Dulu sih, awalnya Ronggeng Pasaman ini dibawa oleh pekerja karet dari Jawa pada zaman Belanda. Tapi, kemudian dimainkan oleh warga Minang. Yang membedakan Ronggeng Pasaman dengan yang ada di Jawa-Sunda, Ronggeng Pasaman ini justru dimainkan oleh laki-laki, yang salah satu dari mereka berpakaian seperti perempuan. Karena pada saat itu aturan adat dan agama sangat kental di Minangkabau, perempuan nggak boleh menjadi pemain Ronggeng Pasaman ini. Itu sebab awal pemainnya laki-laki yang berpakaian dan berdandan seperti perempuan," jelas Putri.

"Wah, pengetahuanmu keren juga ya, Santi," puji Doli sambil terus menikmati makanan di tangannya dan menonton pertunjukan kesenian yang terus berganti.

Kami pun larut dalam suasana yang kental dengan nuansa dan budaya Melayu. Acara seperti ini memang seharusnya diadakan lebih sering agar anak muda lebih dekat dengan budaya asal.

Meski awalnya terpaksa, aku senang bisa datang malam ini ke Festival Kebudayaan Melayu ini.

Sepulang dari festival, aku duduk di kursi depan kos. Aku menatap ke jalanan yang masih saja ramai. Seolah malam belum mampu menghentikan pergerakan manusia. Ingatan tentang Neti muncul di pikiranku. Seiring semerbak wangi perih dibawa angin mengempas dadaku. Pada beberapa detik kemudian, sosok Ayah juga hadir di pikiranku. Buruh Harian Lepas itu menginginkanku menjadi seperti dia. Tidak banyak uang yang bisa dia dapatkan dari menjahit, tapi dia selalu bahagia.

Ayah tidak pernah mempermasalahkan uang yang dia dapat dari menjahit. Ia percaya bahwa Allah memberikan rezeki dari banyak hal, dan tidak hanya dalam bentuk uang. Kepuasan batin juga bentuk dari rezeki yang diberikan Allah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Setidaknya, aku melihat itu di matanya setiap kali dia menceritakan perihal pekerjaannya.

Aku juga mencintai keterampilan menjahit, tetapi takdir berkata lain. Namun, keinginan itu masih ada.

"Kamu yakin mau belajar keterampilan menjahit?" tanya Neti pada suatu ketika.

"Yakin, ayahku seorang pejahit."

"Tapi, menurutku lebih baik kamu nyambung kuliah dulu nanti setelah kita lulus, kan sayang. Mana tahu nasibmu akan jadi lebih naik lagi.

"Tapi, aku bercita-cita jadi pengusaha jahitan.

Bagiku, keterampilan lebih menjamin.

Aku ingin meneruskan ketermpilan Ayahku, walaupun terkadang penghasilannya tak seberapa, Ayah tidak pernah patah semangat. Untuk memenuhi kebutuhan kami sekeluarga, ayahku juga mengolah ladang di tanah warisan keluarga Ibu. Meski tidak kaya, orangtuaku masih mampu membiayaiku sekolah dan menghidupi keluarga kami.

Aku menyadari ada kekecewaan di mata Neti. Namun, dia tidak menuntut apa pun setelah itu. Dia berusaha menunjukkan cintanya. Hingga, sepertinya dia lelah. Neti melihatku sebagai lelaki tanpa masa depan dengan kemewahan—meski selama bersamaku dia tidak mengejar kemewahan-tetapi keluarga dan ayahnya adalah orang-orang yang mengondisikan dia seperti itu. Kebiasaan selalu membuat manusia gamang akan hidupnya sendiri. Dan mungkin Neti merasakan kegamangan itu denganku.

Aku mencoba mengukir senyum di bibirku. Aku mencintai ayahku seperti dia mencintai keterampilan yang dimilikinya.

"Nak, kau tahu kenapa Ayah sangat mencintai keterampilan menjahit ini? karena ini sangat menjamin dan sangat mudah untuk mencari pekerjaan".

Aku bangga dengan prinsip ayahku. Meski hidup secara sederhana, dia adalah ayah yang selalu membuatku ingin menjadi lebih baik.

"Ayah merasa beruntung memiliki ibumu, bagi Ayah, Ibumu adalah perempuan yang luar biasa. Apa pun yang Ayah lakukan selalu didukung oleh ibumu. Kelak, carilah perempuan yang bisa menerima impian dan hidupmu. Karena itu akan membuat hidupmu menjadi lebih bergairah meski banyak hal yang harus kau lalui dengan susah payah. Seperti Ayah mencintai keterampilan, Ibumu mencintai Ayah melebihi itu. Cinta membuatnya selalu merasa cukup dengan segala keterbatasan kita." Ayahku memang beruntung bisa mendapatkan pasangan hidup seperti ibuku.

Ingatan tentang Neti malam ini dikalahkan oleh ingatan tentang ayahku. Ada satu hal yang kini aku sadari dari Neti. Ternyata—seperti yang sempat disinggung Doli dan aku sangkal—Neti tidak benar-benar mencintaiku. Itu adalah alasan mengapa aku harus belajar melupakannya.

" Yogi." Suara perempuan yang berusia lebih dari empat puluh tahun itu memanggilku. Bu Rahmi namanya. Guru pembimbing di sekolahku. Aku langsung beranjak dari kursi. Dengan sedikit grogi, aku berdiri. Ini kali pertama aku menghadap Guru pembimbing. Sejak Neti memutuskanku, aku merasa menulis adalah cara terbaik yang harus kulakukan. Doli benar, aku harus memulai pelajaran menulisku. Meski ada beberapa mata pelajaran yang harus kuulang. Meski bisa saja tidak kuulang, namun nilai C itu akan menurunkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di transkip nilaiku nanti. Makanya, aku harus mengulang dan agak memiliki beban sekolah yang cukup berat karena sekaligus mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Namun, aku tidak punya pilihan lain. Ini risiko yang harus aku tanggung jika ingin lulus sekolah tepat waktu. Aku harus berusaha lebih keras.

"Kamu yakin mau mulai menulis?"

Pertanyaan meragukan macam apa itu? Aku kan sudah masuk semester tujuh. Lagi pula, emangnya aku tampak sebodoh itu ya, mau mulai mengerjakan tulisan saja mesti ditanyai dengan penuh keraguan segala?

"Yogi?" "Iya, Bu, maaf." Sial, aku ketahuan melamun. "Kamu baik-baik saja?"

"Iya, Bu, saya baik-baik saja."

"Jadi, bagaimana, kamu siap mengerjakan tulisan?"

"Iya, Bu, saya siap."

"Bagus kalau begitu. Tapi, Ibu lihat di laman lapormu, mata pelajaranmu masih ada yang harus diulang, ada beberapa nilai yang masih C. Baiknya kamu ulang agar IPK-mu tidak terlalu rendah," tatapnya dengan mata penuh tanya.

"I-iyaaa sih, Bu, tapi saya ingin memulai menulis secepatnya. Takut nanti malah kelamaan menyelesaikannya."

"Ya sudah kalau kamu yakin bisa menjalani sekaligus, sekarang kamu cari buku-buku yang sesuai dengan judul yang kamu ajukan ini. Minggu depan silakan ajukan kepada Ibu." Dia menyerahkan proposal judul tulisanku yang baru saja dibacanya. "Oh iya, bikin sampai bab tiga, ya!" lanjutnya.

Aku menelan ludah, "Sampai bab tiga, Bu?"

"Emang kenapa? Ada masalah?"

"Oh, enggak, Bu, siap, nanti insyaAllah saya bikin sampai bab tiga." Aku pikir memulai tulisan dari bab satu saja, ini malah diminta nulis dari bab satu sampai bab tiga.

Aku segera meninggalkan ruangan konsultasi yang membuat otak mulai pusing itu. Aku berusaha meyakinkan hati, ini adalah cara terbaik untuk memulai melupakan Neti sepenuhnya. Meski bayangan Neti masih saja hadir dan masih sangat jelas di lingkar kepalaku.