"Mama masih waras, Ditto! Tapi ini yang terbaik!" ibu Surya memaksa dengan alasan kelumpuhan yang dialami oleh Rania.
"Mah, tidak mungkin! Sebentar lagi Ditto akan menikah dengan Hana. Tidak mungkin aku menghianati wanita yang mau menikah denganku tanpa kenal sama sekali!" tolak Ditto, walau sebenarnya belum ada rasa cinta di hatinya untuk Hana, ia masih punya hati nurani untuk tetap menjaga kesetiaanya pada Hana, bahkan ia sangat kasihan pada Hana yang harus menjadi korban untuk kesalahan yang dilakukan Ditto sendiri, harusnya Hana dicintai dengan hati yang tulus dan dinikahi dengan kemauan dan rasa rasa cinta bukan malah menjebaknya untuk menyelamatkan hal yang tidak ia gunakan sama sekali, bahkan makanan yang ia lahap selama ini bukan dari perusahaan itu melainkan dengan kerja kerasnya sendiri.
"Tapi, ini semua karena kamu, Ditto!" ibu Surya malah menyalahkan Ditto untuk apa yang dialami Rania.
"Mengapa Mama menyalahkan Ditto? Bukankah menikah wanita soleha itu juga keinginan Mama?" tanya Ditto dengan sini karena ia merasa sangat terganggu pada ucapan sang ibu yang malah menyalahkannya dalam hal ini. Bukankah ia juga yang memaksanya menikahi Hana dan kini ia juga memaksa Ditto untuk menikahi Rania.
"Kamu menyalahkan Mama?" tanya ibu Surya dengan tatapan marah, bisanya Ditto menyanyalahkannya dalam perjodohan demi perjodohan yang ia lakukan, ia hanya tidak menyadari betapa ia sangat serakah saat itu. Ditto dengan bibir tersenyum aneh mulai mendekati sang ibu dan ia mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada dalam hatinya, betapa ia sangat merasa terpuruk dengan semua keinginan sang ibu selama ia hidup penuh dengan aturan, apapun yang ingin ia lakukan harus dengan persetujuan sang Ibu bahkan walau itu hanya pilihan model baju pun sudah akan menjadi kewajiban untuknya.
"Mah, Mama mikir gak sih? Aku tuh sudah membawa Hana ke kota untuk menikah denganku, tapi mengapa Mama ingin aku menikahi Rania?" ucap Ditto karena ia memang merasa itu bukan hal yang mungkin bisa ia lakukan.
"Kamu keterlauan, Ditto!" bentak marah sang ibu yang tidak mau disalahkan dalam segala hal itu. Tapi waktu itu Rania merasa terlalu lama menunggu di dalam, ia sudah tidak sabar ingin segera Ditto masuk ke dalam ruangan untuk menjenguknya, ia membayangkan sebuah hal dimana Ditto akan mengatakan hal manis untuk ia nikmati semasa hidupnya.
"Mah, mengapa mereka belum datang juga?" tanya Rania dengan nada yang kesal karena mereka yang ia tunggu tidak kunjung masuk ke dalam. Ibunya langsung melihat ke luar dari arah kaca, ia melihat mereka masih saja berbicara entah apa yang mereka bicarakan sehingga terlihat begitu tegang dan lama sekali. Ia menjauh dari kaca itu dan menghampiri Rania kembali.
"Sayang, Ditto sudah berada di luar berbicara dengan Tante Surya, mungkin mereka sedang membicarakan sesuatu!" ujarnya memberikan informasi pada Rania. Rania tanpa mengatakan apapun pada sang ibu langsung saja memainkan scenario seakan ia merasa kesakitan pada bagian kepala yang terluka akibat kecelakaan itu
"Aduh, Mah! Kepala Rania sakit sekali! Mah! Mah!" teriakan itu langsung terdengar ke luar, Ditto dan ibu Surya langsung masuk untuk melihat Rania. Pada saat itu juga ibu Veni yang tidak tau kalau Rania sedang berpura-pura.
"Sayang, Mama panggilkan dokter ya, Nak!" ia langsung berlari, tapi tangannya ditahan oleh Rania, pada saat itu juga sang ibu tau kalau Rania sedang berpura-pura. Ia langsung saja terdiam dan membiarkan Rania melanjutkan jeritannya. Ia tidak tau apa yang sedang ia rasakan sendiri, dia marah, dia sedih atau mungkin sangat kecewa ia pun tidak tau, ia melakukan semuanya demi kebahagiaan Rania. Sikap keras yang ia milliki selama ini sirna tidak terlihat sama sekali setelah kejadian itu.
"Nak, kamu kenapa, Sayang? Mana yang sakit, Nak?" tanya ibu Surya dengan sangat lembut bak ia sedang berbicara dengan anak perempuannya. Ditto juga ada di sana melihat Rania dengan penuh rasa kasihan, ia tidak tau kehidupannya akan berdampak pada Rania. Pada saat itu juga hati Ditto sangat luluh melihat orang yang ia cintai menderita menanggung semua efek kehidupannya.
"Kepalaku sakit!" ucap Rania meringis pura-pura kesakitan, sedangkan sang ibu hanya terdiam duduk di samping Rania tidak mengatakan apapun lagi karena ia sudah tau anaknya baik-baik saja. Ditto langsung membelai rambutnya dengan sangat mesra dan lembut. Setelah belaian itu Rania menjadi diam seakan ia tenang, yang sebenarnya adalah ia sedang menikmati kelembutan tangan Ditto.
"Kamu jangan takut, semua akan baik-baik saja!" ucap Ditto mencoba menenangkan Rania, ia tidak tega mendengar ringisan Rania yang begitu sendu.
"Aku sedih, aku tidak akan pernah memiliki orang yang bisa mencintai aku dengan tulus melihat kakiku sudah tidak bisa digerakkan!" Rania mencoba untuk merendahkan dirinya di hadapan Ditto untuk mendapatkan sebuah simpati. Benar saja wajah Ditto menjadi semakin sedih mendengar ucapan Rania, ia kasihan sekali melihat Rania yang terbaring tak berdaya di rumah sakit.
"Tidak! Kamu akan dicintai dengan tulus kok, jangan pesimis gitu dong!" ujar Ditto, ia meyakinkan Rania untuk bisa menumbuhkan rasa semangatnya, tapi bukannya semangat Rania malah semakin mengeluarkan rasa sedih yang terlihat sangat jelas di wajahnya. Ditto menangis tidak tau apa yang ia fikirkan tapi ia sangat tidak bisa melihat Rania, orang yang ia cintai merasa sedih dan tak berdaya, hatinya yang sebenarnya lembut juga tidak bisa menahan air matanya.
Ibu Surya menatap dengan wajah yang sangat bahagia karena ia sangat bahagia dengan ucapan Ditto pada Rania, itu sudah menunjukkan hal baik yang memberikan kemungkinan kalau ia memang akan menikahi Rania dengan keadaan Rania yang seperti demikian. Tidak ada lagi halangan untuk mereka bersama kalau Ditto sudah menerima pernikahan itu bahkan Hana pun tidak akan mampu membuat mereka berpisah, tembok pemisah itu akan sangat lemah dan dengan perlahan akan hancur dengan sendirinya.
"Siapa? Siapa yang mau menerima seorang wanita cacat sepertiku?" tanya Rania dengan air mata berderai dengan sangat deras, bahkan ibu Veni sendiri sangat bingung ternyata anak yang ia cintai selama ini begitu sangat berpotensi untuk menjadi pemeran film karena memang semua sandiwaranya benar-benar tidak bisa ditebak sama sekali, ia membuat sebuah sandiwara yang sangat a lot sehingga tidak ada satu orang pun yang akan menyadari bahwa itu hanya sebuah kebohongan yang sangat jahat demi merampas hak orang lain.
"Aku! Aku yang akan menikahimu!" jawab Ditto dengan ucapan yang begitu lembah, namun Rania tidak peduli yang ia fikirkan hanya kebahagiaannya saja, tidak pernah ia mencoba memikirkan seorang perempuan yang sudah dilamar oleh Ditto. Ia tidak memikirkan bagaimana sakitnya menjadi seorang calon istri yang dihianati sebelum dinikahi. Wajah Rania sangat bahagia mendengar bahwa Ditto mengatakkan dia yang akan menikahinya.
"Benarkan, Ditto?" tanyanya dengan sangat semangat, sama seperti mimic wajah Rania, wajah ibu Surya juga sangat bahagia dengan pernyataan Ditto itu.