"Mas," ujar Hana, yang berjalan berlahan dengan menunduk menuju arah Ditto. Ditto yang belum bisa sepenuh hati menerima Hana, hanya merespon sedikit dengan menatap Hana.
"Iya ada apa?" tanya Ditto setelah Hana sampai di hadapannya. Hana langsung menunjuk kearah meja makan dengan malu-malu mengatakan,"Ayo makan dulu, Mas!" ajak Hana melakukan kebajiwabannya sebagai seorang istri walau pada saat itu ia masih menjadi calon istri dan belum istri. Wajah Ditto tiba-tiba luluh karena untuk pertama kalinya ia melihat ada seorang perempuan yang memasak di dapurnya selain Bik Sun, sang pembantu rumah tangga. Ia tidak menjawab apa-apa tapi ia berjalan menuju meja makan seakan menerima tawaran dari Hana. Saat Hana sedang menyiapkan makanannya, ia terus menatap Hana dengan wajah kasihan.
"Silahkan, Mas!" ujar Hana mempersilahkan ia untuk segera menyantap makanan yang dihidangkan Hana.
"Ayo, Nak! Itu adalah masakan Hana, calon istrimu!" ujar ibu Ratih dengan bahagia, Ditto tersenyum kecil mengangguk pada ibu Ratih sembari memasukkan sesendok makanan itu ke mulutnya, ia terdiam untuk sesaat tidak mengatakan apapun, hal itu membuat Hana yang masih berdiri sopan di belakangnya merasa sedikit khawatir, ia khawatir kalau Ditto tidak suka dengan makanan yang ia masak.
"Ma … maaf Mas. Apa masakannya tidak enak? Hana ganti yang baru ya!" ujar Hana merasa bersalah sekaligus panik. Saat Hana ingin pergi ke dapur untuk mempersiapkan makanan yang lain, Ditto langsung menahannya dengan memegang pergelangan tangannya. Hana sangat malu dan salah tingkah ketika menatap tangannya yang ditahan oleh Ditto. Melihat hal itu Ditto langsung melepas tangannya dari pergelangan tangan Hana.
"Ini enak banget, masakan kamu enak!" jawab Ditto dengan dingin, ia juga menjadii sedikitt salah tingkah, hingga makan selesai ia tidak berani menatap wajah Hana, ia terus menunduk saat mengambil air minum pun. Ibu Ratih tertawa melihat mimic wajah yang diperlihatkan oleh Ditto, ia tau kalau bunga-bunga cinta seorang suami akan mudah mekar dengan masakan istrinya saja.
Setelah makan malam selesai, Ditto langsung pamit untuk naik ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat. Setelah semua masakan dan piring kotor dibersihkan oleh Hana dan ibunya mereka juga langsung masuk ke kamar yang disediakan untuk mereka. Di sana ibu Ratih kepikiran dengan pot Bungan mewah yang sudah pecah karena tersenggol oleh pak Abu yang terjatuh tadi pagi.
"Ibu, apa yang Ibu fikirkan? Mengapa wajah Ibu terlihat khawatir?" tanya Hana saat melihat kekhawatiran sang ibu.
"Nak, Ibu kepikiran dengan Pak Abu, bagaimana jika memang Ibu Surya akan meminta ganti rugi, Nak? Jika Ibu punya uang maka Ibu akan membayarnya, tapi kita tidak punya!" jawabnya bersedih, ia sangat khawatir, sama seperti ibu Ratih, Hana pun sedari tadi memiliki ketakutan yang sama.
"Benar, Ibu! Tapi apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya?" Tanya Hana karena ia juga bingung dengan cara apa mereka bisa membantu Pak Abu, kasihan pak Abu yang memang sudah tidak muda dan sakit-sakitan, bagaimana ia akan membayar pot yang begitu mahal hingga jika ia mengapdi disana sampai mati pun tidak akan pernah bisa melunasi pot yang harganya mahal tersebut. Mereka memikirkannya dengan semua cara yang bisa ia lakukan, tidak lupa juga ibu Ratih memeriksa uang yang ia punya dan ternyata tidak cukup sama sekali. Ia bahkan hanya punya uang untuk ongkos pulang ke kampung setelah pernikahan itu selesai.
"Bagaimana, Ibu? Apakah uangnya cukup?" tanya Hana dengan penuh harapan kalau uang yang mereka miliki cukup untuk membantu Pak Abu.
"Tidak, Nak! Ini hanya cukup untuk ongkos Ibu pulang kampung!" jawab ibu Ratih bersedih karena tidak bisa membantu walau ia ingin membantunya. Setelah beberapa menit memikirkan cara untuk bisa membantu Pak Abu, ibu Ratih memikirkan satu ide dimana Hana yang bisa melakukan hal itu.
"Ibu punya ide, Nak! Tapi, ini harus kamu yang melakukannya!" ucapnya, Hana sedikit bingung mengapa tidak bersama ibunya melakukan hal itu, mengapa harus ia sendiri yang melakukannya.
"Apa itu, Ibu?" tanyanya dengan penuh kebingungan.
"Kamu harus meminta bantuan, Ditto!" ujar ibu Ratih, ternyata ia ingin agar Ditto membantu mereka tapi bagaimana caranya.
"Apa yang harus aku katakan pada Mas Riko, Ibu? Apa aku harus meminta uang atau mungkin meminjam uangnya?" tanya Hana, pertanyaan itu membuat ibu Ratih tertawa begitu polos cara berfikir sang anak.
"Tidak, Sayang! Kamu katakan pada Ditto tentang hal ini, agar ia yang akan mengatakan pada ibu Surya!" ucap ibu Ratih, ia menyuruh Hana untuk pergi ke kamar Ditto agar ia bisa memberitahu Ditto tentang hal ini.
"Baiklah, Ibu! Hana pergi dulu ya, Bu!" ucapnya, ia langsung pergi ke kamar Ditto, ia pergi ke sana dengan beraninya, tapi ternyata saat sudah berada di depan pintu kamar Ditto hatinya kembali berdebar kencang, ia bahkan bukan hanya tidak berani mengeluarkan suaranya, untuk mengetuk pintu kamar Ditto pun ia tidak berani. Tapi kembali ia mengingat bagaimana Pak Abu akan merasakan penyiksaan dari sang calon ibu mertua, ia menguatkan hatinya untuk tetap memberitahu hal ini pada Ditto.
Tok … Tok … Tok …
Suara ketukan yang sangat kecil itu terdengar oleh Ditto yang sedang duduk memikirkan ketidakbecusannya menjadi seorang pria, langsung berteriak bertanya siapa yang ada di depan pintu kamarnya.
"Siapa?"
"Ha … Hana, Mas!" jawab Hana dengan nada bergetar karena panik, salah tingkah dan malu. Ditto yang mendengar suara Hana langsung duduk dengan tegak menampar kecil pipinya mengira itu hanya mimpi, tapi tetap untuk memastikan hal itu ia membuka pintu dan ia sangat terkejut melihat Hana menunjukkan wajahnya yang malu.
"Ka … kamu! Sedang apa kamu kesini? Ada yang kamu butuhkan?" tanya Ditto dengan sangat panik juga. Tapi Hana tidak menjawab, ia hanya menggeleng, Ditto langsung membuka lebar pintu kamar dan masuk ke dalam dengan tetap membuka pintu kamar dengan lebarnya.