"Aku akan melakukan itu jika saja aku belum melamar Hana!" jawaban yang menjadi balasan dari kalimat pertamanya. Ternyata kalimat yang ia ucapkan diawal tadi itu belum selesai dan Rania sudah menyambungnya sehingga rasa sakit di hati Rania, ia ciptakan sendiri karena rasa terlalu percaya diri yang ia tanamkan di hatinya. Tawa dan gembira yang muncul di wajahnya saat mendengar kalimat pertama itu adalah titik kehancuran hatinya ketika mendengar kalimat selanjutnya.
"Kamu apaan sih, Ditto? Kamu benar-benar sudah menyakiti hati Rania!" ujar ibu Surya sangat marah karena merasa bahwa Ditto sudah menyakiti hati Rania pada saat itu. Ditto langsung melihat kearahnya, dan menatap dengan tatapan sinis serta dengan senyuman beringas.
"Lalu Mama mau apa? Mama mau aku membatalkan pernikahanku dengan Hana dan menikahi Rania?" tanya Ditto dengan sangat tenang, tapi tetap dengan tatapan yang berkesan mengejek kepada sang ibu. Ibu Surya sangat marah, tapi tidak bisa menjawab apa-apa sama sekali karena ia merasa tidak bisa memutuskan apa-apa, yang penting dan terutama baginya adalah keselamatan perusahaannya. Tapi ia masih belum merelakan kalau Rania tidak menikah dengan Ditto, ia terus berusaha meyakinkan Ditto untuk menikahi anak sang sahabat yang sangat ia sukai.
"Ditto, kamu bisa menikahi ke duanya!" ujarnya bersikeras, tentu Ditto merasa kalau sang ibu sudah tidak waras, ia baru saja akan menikah dengan Hana, tidak mungkin ia bisa menikahi Rania dalam wakttu dekat ini pula.
"Mama sudah tidak waras? Aku dan Hana bahkan belum menikah dan sekarang Mama meminta aku menikahi Rania!" bentaknya, ia sudah sangat kesal dengan hal itu. Sedangkan pada saat itu Rania sudah putus asa hanya bisa menangis di pelukan sang ibu, ia saat itu merasa bahwa tidak ada lagi harapan karena Ditto, lelaki yang paling ia cintai menolaknya tepat di hadapannya sendiri.
"Kamu tidak harus menikahi ke duanya dengan sah, kamu nikahi Hana dengan sah dan nikahilah Rania secara sirih, bereskan!" ucapnya, memudahkan semua hal memang adalah sifat ibu Surya yang paling tidak ia sukai, banyak hal yang harusnya berhasil dan akhirnya menjadi masalah besar hanya karena sifat tersebut.
"Tidak! Ditto tidak akan melakukan hal itu, Mama tidak punya hati!" jawab Ditto tetap menolak, ia tidak mau melakukan hal itu, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan pernah melakukakn poligami.
"Kamu yang tidak punya hati, Ditto! Baiklah kalau begitu biarkan aku mati saja!" ujar Rania dengan berteriak memegang pisau yang ia ambil dari wadah buah yang berada di meja samping tempat tidurnya.
"Nak, kamu tidak boleh melakukan hal ini, ingat Mama, Nak!" teriak ibu Veni, ia tentu menghalagi anaknya untuk mengakhiri hidupnya karena tidak ingin kehilangan Rania, ia langsung mendekati Ditto duduk, merendah dan memohon agar Ditto mau menikahi Rania.
"Nak, Ditto tolong, jangan biarkan anak Tante melakukan hal itu!" ia memohon dengan sangat lirih, ia merendahkan dirinya di hadapan Ditto untuk menyelamatkan sang anak, namun Rania tidak peduli akan hal itu, ia bahkan tidak kasihan pada ibunya yang menyatukan ke dua telapak tangannya jongkok memohon pada Ditto, ia sendiri tau kalau sang ibu tidak akan pernah melakuka tindakan itu pada siapaun jika bukan karena ingin menyelamatkan Rania, ia tidak peduli yang ia inginkan hanyalah Ditto.
"Tante, tolong jangan membuatku merasa berdosa yang akan kuingat sampai aku mati!" Ditto langsung meminta ibu Veni untuk berdiri karena tidak pantas seorang ibu duduk memohon pada anaknya sendiri, begitu kira-kira yang ada di fikiran Ditto, ia memohon untuk ibu Veni segera mengakhiri aksinya, ia juga kasihan pada ibu Veni karena ia tau jika bukan karena Rania maka ia tidak akan pernah melakukan hal itu sama sekali.
"Tolong, Nak! Tidak apa-apa Tante terlihat rendah asalkan Rania tidak melakukan hal itu!" jawab ibu Veni dan terus memohon pada Ditto. Ditto yang sudah tidak tahan langsung mengatakan suatu hal yang akan menyakiti hati calon istrinya, Hana.
"Baiklah, Tante! Tapi, jangan pernah tuntut aku untuk bisa membagi sama waktuku dengannya dan untuk Hana karena bagaimanapun Hana itu adalah korban dari kesalahanku!" ucapnya menyetujui hal itu, namun dengan suatu syarat dimana tidak siapapun diantara mereka yang bisa marah jika ia tidak bisa membagi waktu sama dengan Hana. Ia tidak mencintai Hana, namun hatinya berkata kalau ia harus lebih mementingkan Hana yang berjasa besar padanya dan keluarga.
"Baik, Nak! Tidak masalah asalkan kamu mau menikahi Rania sudah lebih dari cukup untuk Tante!" jawab ibu Veni, sebenarnya sebagai seorang ibu ia tidak tega dan tidak akan pernah ikhlas dengan syarat yang diberikan oleh Ditto. Namun, demi Ditto yang setuju dengan pernikahan yang dikehendaki Rania, ia harus ikhlas dengan syarat yang begitu berat tersebut.
"Oh iya, satu lagi, Tante! Aku tidak mau Hana sampai tau tentang pernikahan ini, jika sampai Hana tau maka dengan sangat terpakasa Ditto harus menceraikan Rania," ucapnya mengutarakan hal selanjutnya. Ibu Veni mengangguk setuju dengan permintaan Ditto. Rania sangat bahagia dengan hal itu, dengan segera pula ia langsung melepaskan pisau itu dari genggaman tangannya.
"Mama setuju dengan hal itu, Nak! Mama juga berfikir hal yang sama seperti kamu!" ujar ibu Surya bahagia juga dengan persetujuan Ditto. Tapi, wajah Ditto terlihat sangat merasa bersalah, tapi ia tidak bisa memikirkan hal lain untuk menyelamatkan Rania. Matanya berkaca-kaca tak tega ketika itu ia langsung membayangkan wajah Hana yang begitu polos seakan tidak tau apa itu kejahatan yang sesungguhnya.
"Mama harusnya sudah puas! Persiapkan semuanya, aku ingin pulang!" senggaknya berbisik pada sang ibu, ia sangat kecewa dengan apa yang ia dapatkan dari rumah sakit tersebut. Ia pulang dengan wajah yang putus asa merasa ia adalah lelaki terbodoh yang pernah ada di dunia ini. Ia tidak bisa membahagiakan seorang perempuan pun, bahkan ia yang sudah melukiskan luka dengan tinta permanen yang tidak akan pernah bisa hilang sampai kapanpun.
Lalu setelah itu ia pulang, waktu sudah menunjukkan jam 19.00 malam, ia memang sudah terlalu lama di rumah sakit, sesampainya di rumah ia langsung melihat Hana dengan pakaian polos bermodel dulu dengan rambut dikepang satu ke depan menunjukkan kalau ia memang sudah sangat akrab dengan tata cara kehidupan kampung. Ia sedang menyiapkan makanan bersama sang ibu, sedangkan rumah masih terlihat sangat sepi tidak ada kebeadaan sang ayah, ya memang ayahnya mengatakan kalau ia ingin bertemu dengan rekan kerja sehingga mungkin akan pulang sangat terlambat hari itu.