"Marsell, ke mana aja? Kenapa baru pulang? Seharian kamu di mana? Dari malam Sabtu, baru pulang sekarang. Udah makan?" tanya seorang wanita yang semula tengah asyik membaca majalah dan langsung menghampiri anaknya saat melihat anaknya yang baru saja kembali pulang.
Marsell menatap wanita itu dengan tatapan yang begitu datar. "Gak usah sok peduli sama gue, urus hidup lo sendiri." Tidak ingin basa-basi lebih lama dengan wanita yang sama sekali tidak dia sukai, Marsell hendak langsung melanngkahkan kakinya menjauh dari tempat ini.
"Tunggu, kamu belum makan kan? Makan dulu yuk," ajak wanita itu dengan nada yang masih saja lembut, padahal semula Marsell sudah berbicara dengan nada bicara yang sama sekali tidak bersahabat.
Dengan begitu malas, Marsell kembali menatap wajah wanita itu dengan tatapan yang semakin menampakkan kebencian yang ada dalam dirinya. "Gue bukan anak kecil yang kalau ingin makan harus bilang terlebih dahulu kalau gue lapar. Gue akan makan saat gue ingin," ujar Marsell dengan nada yang semakin datar.
"Marsell!" panggil seseorang dengan nada yang begitu tinggi.
Mendengar suara yang cukup dia kenali, Marsell melirik ke arah dari mana datangnya suara. "Ada apa? Papah mau membela wanita ini? Silakan bela saja semau Papah, karena di mata Papah orang yang selalu benar adalah dia! Dia wanita yang gak pu—
Plak!
"Jaga mulut kamu saat berbicara dengan Mamah kamu!" bentak Papahnya dengan nada yang benar-benar tinggi serta ekspresi yang penuh dengan kebencian.
Doni, alias Papahnya Marsell begitu tidak suka dengan kelakuan anaknya yang seperti ini. Lina dengan santai berdiri di samping suaminya sambil memperhatikan Marsell beberapa saat yang mana Marsell menatap dirinya dengan tatapan yang penuh dengan kebencian.
"Wanita yang ada di hadapan aku bukanlah Mamah aku, dia hanya istri Papah!" tekan Marsell. Sampai saat ini Marsell tidak menerima kalau wanita yang ada di hadapannya harus dirinya akui sebagai Mamahnya.
Tidak.
Begitu banyak kebencian yang begitu mendalam di diri Marsell terhadap wanita bernama Novita yang merupakan istri dari Papahnya. Novita bukan wanita yang sudah membuat Marsell berada di dunia, Novita hanya berstatus sebagai Mamah tiri bagi Marsell yang entah kapan akan diterima oleh Marsell atau mungkin tidak akan bisa Marsell terima.
*****
"Icha!" teriak Amel dengan nada yang begitu bersemangat.
Prisya menatap layar ponselnya dengan tatapan yang begitu kesal. "Bisa lo pelankan suara lo tidak? Gue kasian sama speaker handphone gue, gue takut dia minta resign dari handphone gue." Prisya berucap dengan nada yang begitu datar, tapi mampu membuat teman-temannya tertawa mendengar apa yang sudah Prisya ucapkan.
"Cha, nanti kita ke sana ya. Nginep sekalian malam Minggu-nya kita ke pasar malam, kata Cindy sih ada pasar malam." Klara menjelaskan dengan cukup santai.
"Iya Cha, nanti kita main-main happy-happy di sana," ujar Cindy.
Prisya menganggukkan kepalanya dengan begitu santai. "Boleh aja, gue tunggu di Rumah ya. Gue juga bosan nih gak ada acara, boleh tuh kalau mau ke pasar malam."
Prisya tidak merasa keberatan dengan ide-ide mereka, malahan dirinya merasa senang sebab nanti malam dirinya tidak perlu terbengong dengan pikiran yang beterbangan dan akhirnya akan membuat dirinya tersiksa kalau sampai pikiran itu yang muncul dalam otaknya.
"Hore!" teriak Amel lagi yang membuat banyak pasang mata tertuju padanya dan dengan seketika Amel tersenyum dengan begitu lebar layaknya orang yang tidak berdosa.
"Kalem-kalem liatinnya," ucap Amel sambil terus menunjukkan raut wajah yang tidak berdosa, tapi sekarang bercampur sedikit ketakutan. "Ya udah, gue mau siap-siap buat nanti malam. Bye-bye!" pamit Amel sambil kembali berteriak dan langsung mematikan sambungan teleponnya sebelum sahabat-sahabatnya marah pada dirinya.
*****
"Yey, kita kayak orang!" teriak Amel. Benar-benar Amel begitu hobby berteriak-teriak. Di mana pun tempatnya, kapan pun waktunya, Amel akan lebih suka berteriak meski dirinya sering dimarahi oleh sahabat-sahabatnya saat dia sedang berteriak.
Klara memperhatikan Amel dengan tatapan yang cukup tanda tanya. "Emang sebelumnya kita apaan? Batu? Atau tiang listrik?" tanya Klara.
"Ya kan sekarang kita malam mingguannya di luar, gak di rumah terus. Jadi, sekarang kita kayak orang deh malam mingguan di luar." Amel menjelaskan alasan kenapa sebelumnya dia mengatakan kalau sekarang dirinya dan juga sahabat-sahabatnya seperti orang.
"Padahal tiang listrik tiap hari di luar," ujar Prisya dengan nada yang begitu datar. Di sini Prisya menyinggung kalimat yang mengatakan kalau yang keluar pada malam minggu adalah orang, padahal ada juga yang tiap hari di luar, yaitu tiang listrik.
"Berarti sekarang kita cosplay jadi tiang listrik?" tanya Cindy sambil terus memikirkan kalimat yang sudah Prisya ucapkan.
Amel menjadi mengernyitkan alisnya. "Apa iya?" tanya Amel dengan nada yang begitu polos.
"Lo aja bertiga yang jadi tiang listrik, gue sih tetep manusia." Prisya berucap dengan nada yang santai sambil melangkahkan kakinya mendahului mereka bertiga yang sekarang tengah memikirkan kalimatnya.
Klara, Cindy, dan juga Amel membelalakan matanya saat melihat Prisya yang dengan enteng melangkahkan kaki meninggalkan mereka bertiga. Pada akhirnya mereka melangkahkan kakinya bersama dengan langkah yang cukup cepat untuk mengejar Prisya dan menyamakan langkah kaki mereka.
Saat sedang asyik bermain, Prisya mendengar kalau ada suara handphone. Prisya terdiam sejenak sambil mengingat-ingat serta memikirkan apakah suara yang baru saja dia dengar adalah suara yang berasal dari handphone-nya atau bukan.
"Cha, kayaknya handphone lo yang bunyi tuh." Klara memberi tahu Prisya, karena dia sedang memegang handphone-nya dan tidak ada sebuah notifikasi yang masuk.
Cindy menganggukkan kepalanya. "Iya, punya gue gak ada apa-apa soalnya."
"Gue pikir ada cowok yang nelepon gue," ujar Amel sambil mengerucutkan bibirnya setelah dia melihat handphone-nya dan sudah berharap kalau nada dering itu berasal dari handphone-nya.
Akhirnya Prisya membuka handphone-nya dan membaca terlebih dahulu nama yang tertera di layar handphone-nya. "Hallo, ada apa?" tanya Prisya saat sambungan telepon itu sudah diterima.
"Lo lagi di mana?" tanya seseorang dari seberang telepon.
"Gue lagi di pasar malam. Ada apa malam-malam telepon gue?" Prisya merasa heran saat waktu sudah malam, tapi orang itu malah menghubunginya.
"Oh, gak ada apa-apa. Sama siapa?" tanya orang itu lagi.
"Sama temen cewek gue nih, Cindy, Klara, sama Amel. Bener, gak ada apa-apa?" Prisya kembali bertanya sebab dirinya benar-benar merasa tidak yakin kalau tidak ada apa-apa, tapi orang itu menghubunginya.
"Gak ada, gue tutup ya teleponnya. Enjoy," ujar orang itu dengan nada yaang terdengar begitu santai.
Prisya berpikir sejenak. "Hm, okay." Sambungan telepon berakhir.
"Siapa yang telpon?" tanya Cindy penasaran.
"Jangan-jangan lo udah punya cowok ya, tapi lo gak kasih tahu kita?" tanya Amel sambil terus memperhatikan Prisya.
"Atau jangan-jangan dari Marsell? Bener ya dari Marsell?" tebak Klara sambil terus menggoda Prisya.