Chereads / SUAMI BUAH DENDAM / Chapter 10 - Sensitif Masalah Keluarga

Chapter 10 - Sensitif Masalah Keluarga

Prisya memperhatikan Marsell sejenak dan kemudian sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Kok lo semalam ke Bar?" tanya Prisya saat kembali teringat akan kejadian kemarin. Prisya merasa penasaran akan alasan yang membuat Marsell datang ke Bar sampai mabuk berat seperti semalam.

Marsell menatap Prisya sejenak dan kemudian meminum minuman yang ada di gelas sambil menelan makanan yang semula ada dalam mulutnya. "Lo sendiri kenapa semalam ke Bar?" tanya balik Marsell dengan nada yang begitu santai.

Rasanya Prisya ingin menepuk jidatnya saat dia baru sadar kalau semalam dirinya juga memang ke Bar dan melakukan hal yang sama dengan apa yang sudah Marsell lakukan. Mendapatkan pertanyaan ini membuat Prisya kebingungan bagaimana dia harus menjawab pertanyaan yang sudah Marsell ajukan.

"Gue dari tadi gak liat Nyokap sama Bokap lo, ke mana?" tanya Marsell setelah beberapa saat dirinya melihat Prisya yang memilih terdiam dan terlihat kesulitan serta ada sesuatu yang sepertinya tengah Prisya tutupi.

Mendapatkan pertanyaan ini jauh lebih membuat Prisya terdiam dengan sebuah pemikiran yang beterbangan ke arah masa lalunya. Prisya kembali membayangkan masa di mana dirinya masih kecil di mana dia masih bisa makan bareng dengan suasana yang harmonis bersama dengan kedua orang tuanya.

Marsell memperhatikan Prisya beberapa saat, kenapa ekspresi Prisya terlihat berubah dengan begitu jauh saat dirinya menanyakan hal ini. Ada sebuah rasa sesak yang kembali dia rasakan sekarang dan Prisya tidak bisa melakukan apa pun, Prisya hanya bisa menarik napasnya dengan dalam.

"Kenapa diam? Mereka ke mana? Lo anak perempuan tinggal sendiri?" tanya Marsell lagi.

Semakin lama rasa sesak dalam dirinya semakin sulit untuk dia tahan. Prisya melirik ke arah Marsell dan kemudian memperhatikan Marsell dengan tatapan yang begitu datar sampai akhirnya rasa sesak yang begitu mengiris hatinya kembali ia rasakan.

Dengan seketika Prisya langsung bangkit dan berlari menjauh dari meja makan meninggalkan Marsell begitu saja, sontak Marsell merasa begitu kaget dan juga tidak mengerti dengan tingkah Prisya yang seperti ini.

"Heh, lo mau ke mana? Kenapa lo pergi begitu aja?" tanya Marsell yang setengah berteriak.

Prisya mendengar hal itu. Prisya mendengar dengan begitu jelas kalimat yang sudah Marsell ucapkan, tapi dirinya merasa begitu enggan untuk menjawab. Prisya lebih memilih untuk terus melangkahkan kakinya masuk ke kamarnya.

"Eh Den, maaf." Bi Ani menghampiri Marsell yang semula hendak menaiki anak tangga untuk mengejar Prisya yang sudah meninggalkannya begitu saja.

Marsell berbalik badan dan menatap Bi Ani kemudian dia bertanya, "Ada apa Bi?" Marsell merasa ada sesuatu yang ingin Bi Ani sampaikan padanya.

"Eh itu Non eh—anu itu." Bi ani kesulitan untuk menjelaskan hal itu.

Alis Marsell mengernyit dengan penuh kebingungan. "Ada apa Bi?" tanya Marsell lagi. Melihat orang yang ada di hadapannya kesulitan untuk berbicara, semakin membuat Marsell penasaran dengan apa yang akan dibicarakan.

"Non Icha itu sensitif kalau bahas masalah keluarga, makanya tadi Non Icha langsung pergi gitu aja. Saran Bibi ya, maaf bukannya apa-apa. Jangan bahas keluarga di depan Non Icha." Bi Ani berucap dengan nada yang hati-hati, Bi Ani tidak ingin membuat Marsell tersinggung dengan apa yang sudah dirinya ucapkan.

Bi Ani mengucapkan ini hanya agar Marsell tidak kembali membahas hal itu di depan Prisya, karena Bi Ani tahu kalau Prisya itu begitu sensitif saat pembahasannya melibatnya keluarga dan Bi Ani tidak ingin melihat Prisya bersedih karena hal itu.

Marsell menghembuskan napasnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, sekarang Marsell paham akan alasan yang membuat Prisya dengan seketika terdiam dan langsung meninggalkannya begitu saja saat dirinya menanyakan hal itu.

"Bi, Kamar Prisya di mana?" tanya Marsell.

"Den naik aja terus nanti ada kamar pintunya merah muda, itu kamarnya Non Icha." Bi Ani menjawab dengan nada yang begitu santai.

Kepala Marsel mengangguk. "Izin ke atas ya Bi," ucap Marsell.

Tidak bisa menolak, Bi Ani hanya menganggukkan kepalanya. Setelah itu Marsell kembali melanjutkan langkah kakinya dan berjalan mencari di mana letak kamar Prisya. Sampai di depan kamarnya, Marsell mengetuk-ngetuk pintuk kamar Prisya.

Tuk tuk tuk

"Gue mau masuk boleh gak?" tanya Marsell sambil terus memandangi pintu kamar Prisya.

Prisya mendengar kalau Marsell berbicara, hanya saja dirinya merasa begitu enggan untuk menjawab. Sampai saat ini Prisya hanya memilih untuk diam saja, padahal beberapa kali Marsell berucap dan menanyakan apakah dirinya dipersilakan untuk masuk atau tidak oleh Prisya.

"Sedari tadi gue tanya, lo sama sekali gak nolak. Sekarang gue cuma mau bilang, kalau gue akan masuk." Marsell terdiam sejenak menunggu beberapa saat sampai akhirnya Marsell membuka pintu kamar Prisya dan melangkahkan kakinya perlahan.

Marsell melihat Prisya yang sekarang tengah memeluk kedua lututnya dengan tatapan yang terlihat kosong, Marsell melangkahkan kakinya menuju ke tempat di mana Prisya berada. Menyadari keberadaan Marsell di hadapannya, tidak membuat Prisya bergerak, apalagi berpindah tempat.

"Sorry," ucap Marsell dengan nada yang penuh dengan keseriusan. "Gue gak bermaksud untuk membuat lo sedih. Gue belum mengenal lo lebih jauh, sehingga gue gak bisa membedakan mana hal yang tidak lo sukai." Marsell mengatakan hal yang sebenarnya.

Dengan cukup berat Prisya menarik napas dan kemudian ia hembuskan kasar. Prisya sadar kalau apa yang sudah terjadi tadi memang tidak sepenuhnya salah Marsell. Apa yang sudah Marsell katakan benar. Marsell belum mengenalnya, sehingga Marsell tidak tahu akan hal apa yang nantinya bisa menyinggung perasaannya.

Seharusnya tadi dirinya bisa mengontrol dirinya dan tidak langsung pergi begitu saja tanpa menjelaskan suatu hal terlebih dahulu pada orang yang belum tahu apa pun tentang dirinya. Namun, bukan hal yang mudah untuk Prisya bisa menahan dirinya.

Prisya juga tidak sadar dengan apa yang sudah dia lakukan tadi, semula dia hanya merasa begitu tidak sanggup saat Marsell menanyakan di mana keluarganya sehingga pilihan terakhirnya adalah pergi dari sana untuk menenangkan dirinya.

"Gue gak bisa mengontrol diri gue dalam hal ini. Hati gue dengan seketika akan menolak dan langsung merasa sedih saat ada orang yang menyinggung keluarga gue, gue tahu kok kalau lo gak bermaksud untuk menyinggung gue."

Marsell menganggukkan kepalanya dengan begitu santai, Marsell mengerti dengan apa yang Prisya rasakan. "Gue ngerti, sorry. Gue bener-bener gak ada niatan untuk membuat lo sedih." Marsell mengelus-elus puncak kepala Prisya dengan begitu lembut.

Merasakan elusan demi elusan yang Marsell lakukan, Prisya mendadak teringat akan seseorang. Apa yang dia rasakan sekarang terasa hampir sama, meski dirinya sadar kalau yang sekarang sedang mengelus kepalanya bukan orang itu.