Chereads / Gelora Gairah di Showroom / Chapter 2 - Date?

Chapter 2 - Date?

Ayin POV

Sudah hampir seminggu aku bekerja di showroom, aku tidak mengalami hambatan yang berarti. Bahkan orang-orang di kantor, tidak percaya bahwa aku bisa menyelesaikan pekerjaan yang diberikan. Mereka mengira bahwa tubuhku yang kecil, hanya mampu melakukan beberapa pekerjaan kecil di bagian administrasi. Namun nyatanya, aku malah menghandle pekerjaanku dengan pekerjaan sekretaris. Ipul tidak terlalu bisa menghandle pekerjaannya sebagai sekretaris dengan kegiatan PSG, sehingga dia membutuhkan orang lain yang bisa mengerjakan salah satunya. Hal ini yang membuat banyak mata bertanya-tanya, aku pun sadar akan hal tersebut. Ipul yang selalu membuat usil terhadap seluruh pegawai di showroom, malah tidak melakukan apapun padaku. Jika ada yang bilang bahwa hidupku terasa nyaman di kantor, aku malah merasakan hal yang sebaliknya. Aku justru merasa iri dengan orang-orang yang diusili oleh Ipul. Aku ingin sekali merasa diusili, sehingga aku tidak terlalu tegang saat bekerja. Hanya saja aku tidak bisa memaksakan Ipul untuk melakukannya, aku tak mau dia terpaksa melakukannya.

"Ada apa memanggil saya ke sini?" Tanyaku yang berusaha untuk tetap sopan, meski pak Adi memintaku untuk tidak formal padanya saat sedang berdua. Namun aku tetap melakukan hal yang menurutku memang pantas untuk dilakukan. Bukan karena aku tak menghargai permintaan pak Adi, hanya saja aku cukup tahu diri.

"Kamu punya acara nggak nanti malam?" Tanya pak Adi tanpa memandang ke arahku, dia masih sibuk dengan komputernya. Aku langsung membuka handphone dan melihat jadwal yang ada.

"Saya tidak memiliki acara apapun pak." Ucapku dengan yakin, membuat pak Adi menghentikan aktivitasnya dan memandangku.

"Kalau malam Minggu, biasanya kamu kemana?" Tanya pak Adi lagi, seolah sedang mencari tahu semua tentangku.

"Saya di kamar saja, saat kuliah pun begitu." Ucapku dengan tenang. Aku memang jarang keluar, bukan hanya malam Minggu. Tapi hampir setiap malam, aku tidak keluar. Kalau ada tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok, aku lebih suka mengundang teman kelompok ke rumah.

"Kalau begitu, nanti kamu temani saya." Ucapnya dengan tegas. Aku sedikit bingung, itu perintah atau permintaan? Namun kedua-duanya tidak mungkin aku tolak. Aku pun mengangguk pelan, lalu pamit padanya.

Aku tidak menanyakan secara detail tentang akan kemana dan mau apa kita disana pada pak Adi, sebab dia sendiri yang akan menjelaskannya nanti. Aku pernah bertanya begitu detail saat diajak keluar ketika jam kerja, pak Adi langsung membentakku tak suka. Saat itu juga aku langsung tahu bahwa pak Adi tidak suka orang yang bertanya terlalu detail, ada saatnya dia akan menjelaskan secara langsung. Ipul juga begitu, dia tidak suka orang yang banyak bertanya. Meski memang, dia belum pernah memarahiku. Saat aku sudah banyak tanya, dia tidak menjawab dan hanya menunjukkan jawaban dari apa yang kutanyakan. Sebenarnya aku bukan tidak mengerti tentang apa yang harus ku lakukan, hanya aku tidak ingin kita akrab. Aku memang tak suka bekerja di tempat yang terlalu ramai, hanya akan mengganggu konsentrasi saja. Namun aku juga tidak suka bekerja di tempat yang sangat sepi, padahal ada orang yang bisa diajak bicara. Oleh karena itu, aku berusaha mengajak Ipul untuk berbicara. Meski memang aku sadar bahwa caraku salah, hanya saja aku tidak tahu harus membahas apa dengannya. Dia malah sangat pasif, bahkan sering kali ingin mengakhiri pembicaraan. Kalau lagi di ruangan administrasi, aku tidak perlu pusing mencari pembahasan. Sebab pak Gani punya banyak stok pembahasan, sehingga kita kerjanya cukup enjoy.

###

Aku sudah berusaha tampil rapi, meski aku tidak tahu bahwa kita akan pergi ke acara yang formal atau sekedar keluar jalan-jalan biasa. Kalau memang aku salah kostum, pak Adi pasti memakluminya. Sebab dia sendiri belum menjelaskan apapun padaku, bahkan aku harus menunggunya pulang untuk mendapatkan penjelasan darinya. Namun dia malah langsung pulang tanpa rasa bersalah, seolah dia tidak melihatku yang sedang menunggunya. Padahal aku yakin bahwa berulang kali dia memandang ke arahku yang menunggunya pulang, atau mungkin hanya firasatku saja? Entahlah.

"Kamu ingin buat saya merasa bersalah karena kamu menunggu terlalu lama?" Ucapnya saat aku masuk ke dalam mobil pak Adi. Aku langsung memandang layar handphone, ternyata kita akan berangkat 30 menit lebih awal.

"Bukankah bapak yang datangnya lebih awal?" Tanyaku balik, membuat pak Adi tergagap. Aku memang biasa sudah berangkat 30 menit sebelum waktu yang dijanjikan, sehingga aku tidak perlu memikirkan alasan atas ketelatanku. 

Kami pun berangkat ke tempat tujuan yang hingga sekarang aku tidak tahu, pak Adi terdiam sejak aku bertanya balik tadi. Aku sendiri merasa bersalah karena telah membuatnya terdiam. Namun baru saja kami memasuki jalan raya, macetnya luar biasa. Bahkan bisa dibilang sudah lumpuh. Aku pun berinisiatif untuk bertanya kemana tujuan kami, bukan karena ingin membuat pak Adi tak suka padaku. Tapi aku mencoba mencari solusi yang terbaik, agar kami tidak telat tiba di tujuan. Ternyata kami akan ke sebuah kafe mewah yang cukup terkenal. Aku pun memintanya untuk kembali masuk ke gang setelah gang kosku, ada jalan yang lebih baik dilewati daripada harus menunggu macet yang entah kapan dan sampai mana akan berujung. Aku berharap jalan itu belum banyak dilewati orang lain, sehingga kami bisa tiba di tempat tujuan tepat waktu.

"Kita akan bertemu dengan pemilik showroom di lantai paling atas. Tapi sebelumnya, kita harus mengisi perut terlebih dahulu. Sebenarnya saya sudah mengajak Ipul, sayangnya dia punya acara sendiri." Ucap pak Adi tanpa memandang ke arahku, dia sedang sibuk membolak-balikan buku menu. Aku sedikit terkejut saat mendengar ucapan pak Adi, aku datang tanpa menyiapkan apapun. Padahal kita akan bertemu dengan orang yang sangat penting, bagaimana kalau dia menanyakan hal tidak aku ketahui? Mampus sudah.

"Santai saja, kita hanya membicarakan tentang perkembangan showroom." Ucap pak Adi yang masih sibuk dengan buku menu. Aku kembali terkejut dengannya, bisa-bisanya dia menebak apa yang aku pikirkan.

"Mau makan apa?" Tanyanya sambil menyerahkan buku menu padaku. Aku memang belum makan apa-apa di rumah, sebab aku tadi pulangnya cukup telat ditambah macetnya perjalanan. Sehingga aku tidak sempat untuk menyiapkan makan malam. Aku pun memilih menu yang sedikit berat, sehingga aku tidak kekenyangan. 

Ketika makanan datang, kami langsung menikmatinya. Tidak pembicaraan yang terjadi, tidak biasanya pak Adi seperti itu. Namun beberapa kali, aku mendapatkan pak Adi yang memandangku. Seolah ada sesuatu yang salah dengan diriku. Tapi saat pandangan kita bertemu, pak Adi membuang muka dengan cepat. Hal itu membuatku semakin tidak nyaman dan ingin segera pergi. Aku langsung berinisiatif untuk izin ke toilet, setidaknya aku bisa mengurangi ketidaknyamanan saat bersama pak Adi. Aku langsung memandang diriku yang terpampang di cermin depan wastafel, mencoba mencari sesuatu yang membuat pak Adi terus memandangiku. Namun setelah sekian lama mencari, aku tidak menemukan sesuatu yang salah pada diriku.

"Enak ya berduaan sama pak direktur." Ucap seseorang yang membuatku tersadar dari lamunan. Aku berbalik dan menemukan Ipul yang sedang bersandar di pintu.

"Ada orang yang sedang memiliki acara dengan pacarnya, sehingga tidak bisa menemani pak direktur." Ucapku yang mencoba menyindirnya. Aku tak menyangka Ipul malah bermesraan di kafe yang sama dengan tempat pertemuan kami, lebih tak menyangka lagi dia berani menghabiskan banyak uang di kafe yang labelnya hanya untuk orang-orang ber-uang.

"Ada orang yang menjadikan kerja sebagai alasan, padahal mereka sedang bermesraan juga." Ucapnya yang mencoba menyindirku balik. Aku langsung berpikir keras, tak mengerti ucapannya.

"Tunggu-tunggu, bermesraan? Siapa yang bermesraan?" Tanyaku berturut-turut, masih tak mengerti maksud dari ucapannya. Padahal dia sendiri yang sedang bermesraan, dia malah menuduhku.

"Bukankah kalian sedang melakukannya? Kau dan direktur." Ucapnya dengan santai, mencoba mempertegas ucapannya.

"Garing sekali leluconmu. Kami hanya sedang makan malam karena tak sempat makan di rumah, baru setelahnya kami akan bertemu dengan pemilik showroom." Ucapku dengan santai tanpa merasa tersinggung dengan ucapannya. Ipul hanya menaikkan alisnya sebelah, seolah tidak mengerti dengan ucapanku.

"Tidakkah kau sadar bahwa kafe ini diciptakan untuk pasangan yang ingin bermesraan? Apalagi ini malam Minggu, kecuali lantai paling atas yang memang digunakan untuk bisnis." Ucap Ipul yang sadar dengan tatapan bingungku.

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang Ipul ucapkan barusan. Ada banyak pertanyaan yang bermunculan di benakku, aku mencoba menduga semua jawabannya. Apa mungkin pak Adi hanya kebetulan memilih tempatnya? Apalagi tempatnya memang sangat dekat dengan tempat perjanjian dengan pemilik showroom. Tapi kalau memang dia tahu kafenya didesain untuk sebuah pasangan, mengapa pak Adi malah membawaku ke sini? Pikiranku benar-benar berkecamuk, tak tenang sama sekali. Bahkan saat aku ditegur oleh pak Adi beberapa kali, aku masih saja kembali melamun dan asyik memikirkan semua hal tadi. Seolah aku hanya seorang diri, tidak menginginkan pak Adi ada. Namun semakin lama aku berpikir, aku jadi yakin bahwa pak Adi hanya kebetulan memilih kafe ini. Dia tak punya banyak pilihan, kafe terdekat memang cukup jauh jaraknya. Jadi dia tidak mau terjebak macet dan tepat datang pada pertemuannya. Aku pun kembali fokus setelah pak Adi mengajakku ke lantai paling atas untuk bertemu pemilik showroom. Aku tak ingin mengecewakan pak Adi, apalagi di depan pemilik showroom. Aku harus berusaha semaksimal mungkin, meski rasa gugup cukup mengganggu. Aku baru beberapa hari kerja, namun sudah diajak bertemu dengan pemilik showroom. Tentu itu cukup mengganggu, apalagi aku tidak banyak tahu tentang showroom yang sebenarnya, terutama tentang sistem yang sedang berjalan.