Sejenak suasana menjadi hening. Sofia terdiam memikirkan alasan yang akan ia sampaikan pada Nico, agar mau memberikan tanda tangannya.
"Ya sudah, bawa sini, Mas akan tanda tangan!" tutur Nico beraba tangan Sofia, meraih berkas yang ada di tangan wanita itu.
Sofia menghela nafas panjang. "Mas ...!" lirih Sofia tidak percaya, bagaimana bisa dengan mudahnya Nico percaya dengannya. Tanpa mendengar lebih dulu penjelasan Sofia, untuk apa tanda tangan itu.
"Apa sayang!" lirih Nico menyunggingkan senyuman.
"Mas, yakin tidak ingin tau tanda tangan Mas untuk apa?" seloroh Sofia menaikan kedua alisnya, menatap lekat pada Nico.
Niko semakin melebarkan senyumannya. "Tidak sayang, karena aku yakin kamu tidak akan pernah mengkhianati aku!" tutur Nico yakin.
Sofia tercekat, saat Nico mengatakan tentang sebuah penghianat. Hatinya merasa tersindir dengan ucapan Nico atau mungkin juga karena sebenarnya Sofia memang sudah menghianati Nico.
"Sayang, mana?" seloroh Nico membuyarkan lamunan Sofia.
"Mana apanya, Mas?" ucap Sofia tergeragap.
"Bolpoinnya, aku tidak mungkin mencoret-coret kertas ini kan!" ucap Nico dengan nada menggoda, tersenyum kecil. "Apakah kamu lupa, jika suami kamu ini buta," ledek Nico.
Sofia tersenyum kecil dan Nico bisa melihat senyuman itu. "Iya, Mas, maaf!" ucap Sofia meletakkan bolpoin pada jemari Nico lalu menuntutnya untuk melakukan tanda tangan pada berkas-berkas jual beli perkebunan milik Nico yang berada di Bandung.
"Akhirnya, aku bisa menyelamatkan perusahaan Mas Nico. Jika tidak, akan tamat riwayatku. Aku belum siap jika harus jatuh miskin," batin Sofia setelah Nico selesai menandatangi semua berkas-berkas itu.
____
Sofia menyerahkan berkas berkas yang sudah Nico tanda tangani kepada Raya. "Tuan Nico sudah menandatangani semua berkas-berkas ini, jadi segera katakan pada orang asing itu untuk segera melakukan pelunasan pembayarannya," ucap Sofia menatap lekat pada netra Raya.
"Baik, Bu! Secepatnya saya akan menginformasikan kabar baik pada Ibu." Raya meraih berkas-berkas yang berada di atas meja sebelum ia bangkit dari bangku yang berada di hadapan Sofia.
"Sam!" lirih Sofia melihat lelaki dengan kemeja biru laut itu muncul dari pintu ruangannya.
"Ray, jika sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan silakan tinggalkan ruangan ini!" tutur Sofia mengalihkan tatapannya pada Raya.
"Baik, Bu!" balas Raya bergegas pergi meninggalkan ruangan Sofia.
Lelaki dengan kemeja biru laut itu mendudukkan tubuhnya pada bangku yang berada di hadapan Sofia. "Sayang, bagaimana?" tanya Sam.
"Semua aman, akhirnya perkebunan itu laku terjual. Jadi aku masih bisa menyelamatkan perusahaan ini, Sam!" tutur Sofia nampak lega.
Sam menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. "Syukurlah, maafkan aku ya sayang. Aku sama sekali tidak bisa membantu kesulitan kamu," ucap Sam penuh keyakinan, kedua tangannya menggenggam erat tangan Sophia yang berada di atas meja, menjatuhkan tatapan teduh pada Sofia.
Sofia mengangguk lembut. "Kamu tenang saja, ini sudah menjadi tanggung jawabku!" lirih Sofia menyungingkan senyumannya.
"Sayang!" Wajah Sam terlihat berubah. Rahangnya mengeras dengan sorot mata menerawang jauh. Lelaki itu nampak serius.
"Kenapa, Sam?"
"Kamu nggak curiga dengan kartu kredit kamu yang tiba-tiba tidak bisa digunakan, sepertinya ada sesuatu dibalik ini!" Sam menjatuhkan tatapan serius pada Sofia.
"Maksud kamu?" Sofia mengeryitkan dahi, membalas tatapan Sam. "Ada seseorang yang sengaja membekukan kartu kreditku, begitu?" seloroh Sofia mendelik penasaran.
Lelaki bernetra indah itu mengangguk mantap.
"Tapi Hana sudah mengurusnya. Mungkin saja hanya ada kesalahan, Sam," tutur Sofia berpositif thinking.
"Apakah kamu sudah menanyakannya kepada Hana?" Sam mengeryitkan dahi.
"Belum, aku memang belum sempat menanyakannya kepada Hana," jawab Sofia. Beberapa saat Sofia dan Sam saling bersitatap dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
"Baiklah, aku akan segera menanyakannya kepada Hana." Bergegas Sofia meraih gagang telepon duduk yang langsung terhubung dengan telepon yang berada di ruangan Hana.
"Selamat pagi, apakah ada yang bisa saya bantu, Ibu Sofia?" sapa Hana dengan suara lembut dari baik telepon.
"Hana, bagaimana dengan kartu kredit yang saya minta untuk kamu mengurusnya beberapa hari yang lalu. Apakah sudah selesai," cerocos Sofia memburu. Pikiran-pikiran buruk berjejalan di benak Sofia, membuat wajah Sofia nampak sangat khawatir sekali.
Sepersekian detik tidak ada sahutan dari Hana.
"Hana, Apakah kamu bisa mendengar suaraku?" seloroh Sofia setelah suasana menjadi hening.
"Iya, Bu, saya masih di sini. Saya sudah mengurusnya, hanya saja belum ada kabar sampai sekarang. Nanti saya akan mengecek lagi, jika ada kabar saya akan segera menghubungi ibu," jawab Hana.
"Baiklah!" Sofia menutup panggilannya dengan wajah lesu.
"Hana bilang masih di proses, Sam!" tutur Sofia menatap pada lelaki yang duduk di hadapannya.
Sam tak bergeming, mengangguk lembut dengan wajah berpikir. "Aku rasa, kartu kredit kamu itu sengaja' dibekukan, agar kamu tidak bisa menggunakannya," seloroh Sam menatap penuh selidik.
"Bagaimana mungkin kamu bisa berpikir seperti itu, Sam?" Sofia membalas tatapan Sam.
"Iya, jika kartu kredit itu rusak kenapa tidak hanya satu saja. Kenapa semuanya," cetus Sam.
Sofia terdiam dengan wajah berpikir. "Kita lihat saja nanti kabar dari Hana selanjutnya," seloroh Sofia beberapa saat setelah ia terdiam. Wajah Sofia nampak ragu, sorot matanya menerawang jauh.
"Baiklah, kita lihat saja nanti. Tetapi kamu juga harus berhati-hati, sayang!"
"Hati-hati!" Sofia menautkan kedua alisnya. "Maksud kamu?" sergah Sofia.
"Iya, berhati-hati. Kamu harus mencurigai Nico. Aku merasa ada suatu yang aneh dengan Nico."
Wajah Sofia seketika berubah pucat. "Maksud kamu, Mas Nico mengetahui hubungan kita?" sergah Sofia penasaran, wajahnya semakin ketakutan.
"Tidak, tidak, bukan tentang hal itu. Tetapi tentang perusahaan ini. Jangan sampai Nico mengirimkan penyusup untuk memata-matai perusahaan ini. Karena kamu pasti akan tau sendiri akibatnya." Sam memberikan penekanan pada ucapannya.
"Tidak, untuk hal itu kamu tenang saja. Mas Nico masih aman. Dia sama sekali tidak mencurigaiku. Bahkan dia juga tidak tau, jika aku sudah menjual aset-asetnya," tutur Sofia dengan penuh percaya diri.
"Baguslah kalau semua masih aman. Aku harap juga seperti itu," imbuh Sam. "Tapi yang pasti kamu harus tetap berhati-hati, karena beberapa hari yang lalu, Nico mendatangi rumah Sekertaris Aris."
"Apa?" Netra Sofia membulat penuh. "Benarkah, jadi Nico tau jika kita sudah menjual rumah itu," cetus Sofia terkejut.
"Yups dan Nico tetap bersikap santai di depan kita, seperti tidak terjadi apapun." Wajah Sam penuh selidik, melihat pada Sofia yang terdiam. Wanita itu sepertinya sedang menelaah ucapan Sam.
"Tapi Mas Nico tidak mengatakan apapun padaku, Sam?" Sofia nampak khawatir.
"Nah, justru itu, sepertinya Nico sedang menyusun sebuah rencana yang kita tidak ketahui." Sorot mata Sam menerawang jauh. "Jadi kamu harus lebih berhati-hati!" Sam mengingatkan.
_____
Bersambung ....