"Cepat siapin baju ganti! Mama mau mandi" Bu Ida mama dari Anne itu membentak sambil membanting pintu kamar mandi, mata Anne sembab setelah air mata yang diam-diam ia biarkan jatuh. Lalu tetap menunduk dan menganggukkan kepalanya.
May tidak berani membuka bicara, dia hanya merangkul Anne sambil mengelap sisa air matanya.
"Mana?!" Teriakan bu Ida dari kamar mandi terdengar lebih garang, lalu Anne cepat-cepat masuk ke kamar mamanya dan mengambil sepasang baju santai. Tanganya gemeteran ketika akan mengetuk kamar mandi, lalu menatap May sebentar dan memanggil mamanya tanpa mengetuk pintu, ia takut itu akan menjadi suara yang berisik.
"Mama ini bajunya sudah aku siapin" Kata Anne pelan.
Bu Ida membuka pintu dan menyomot baju itu dari tangan Anne, lalu tatapan garang itu muncul lagi di hadapan Anne. May seakan nafasnya terhenti, berharap tidak ada bentakan lagi dari mamanya.
"Bukan yang ini! Kamu kira mama mau tidur sore-sore gini? Haa?" Bentak bu Ida sambil melempar baju tidur itu ke lantai, lalu Anne mengambil bajunya kembali dan mengebaskan agar kotoran itu tidak menempel.
"Iya ma ma'af , Anne carikan lagi" Jawab Anne dengan suara bergetar. Anne berjalan melewati May, dia sama sekali tidak menatap. Muka Anne benar-benar memerah dan ketakutan.
Tidak lama Anne mengetuk pintu kamar mandi, lalu terbuka dan tidak ada lagi semburan yang menyanyat hati Anne. Dia berbalik dengan raut muka sedikit tenang, dan menghampiri May yang masih tegang melihat kejadian Anne dan mamanya.
"Udah biasa kok May, nggak usah takut" Ucap Anne menenangkan May, padahal seharusnya Anne yang butuh ketenangan. Lalu May mencoba menghibur dengan mengajaknya keluar rumah.
"Kayaknya di depan rumahmu ada taman ya An, mau lihat dong" Kata May dengan senyum terbaiknya.
"Boleh" Suara Anne masih terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak ingin di lihat May. Mereka berjalan keluar melewati pintu depan, May tetap menggandeng sahabatnya itu dan tidak ingin melepasnya.
Sebuah kursi kayu itu menghadap ke barat, May dan Anne Memilih duduk di kursi itu sambil menyorot matahari yang sedikit lagi terbenam. Kepala May masih muter-muter mencari tema untuk mengalihkan kesedihan Anne.
"An coba deh lihat, matahari itu juga bisa tenggelam ya ternyata. Padahal Kan Kita tau bahwa sinarnya mampu menerangi Bumi yang seluas ini"
" Ya karena dia mau berbagi tugas sama Bulan May, esoknya dia juga terbit lagi" Jawab Anne merespon pembahasan May yang sebenarnya ia tidak mau membahas masalahnya dengan mamanya.
Seorang Anne yang begitu centil sok cantik juga sombong dengan kekayaanya, tiba-tiba berubah drastis di mata May sore itu. Tidak sebahagia bayangan May menjadi seorang Anne, dia juga punya luka, bahkan lebih perih darinya.
"Aku pengen deh terbang ke atas" Saut May sambil menatap langit.
"Mau ngapain?" Tanya Anne penasaran.
"Ya mau terbang ke matahari lah"
"Hahaha mau jadi arang kamu?! Tapi lumayan lah bisa buat maggang ayam" Tawa Anne begitu lepas, benar-benar tawa dari hati. Bukan untuk menutupi kepedihanya, May juga menyusul tawanya yang heboh melebihi Anne.
"Entar ayam mu bau ketek ku dong" Tawa mereka semakin meledak, ya Anne sudah kembali lagi menjadi Anne.
Mareka bertukar cerita sambil melempar kerikil di kolam ikan milik Anne, ikan-ikan itu rupanya tertipu setelah kerikil yang di lempar mereka nyemplung ke kolam, ternyata itu bukan makananya. Lalu muka-muka menggemaskan itu kembali menyelundup ke dalam air.
Di depan rumah Anne mirip kebun binatang, lengkap dengan segala Jenis hewan peliharaan. Tapi di rumah May juga hampir mirip, suara nyaring dari banyak hewan dari dalam rumahnya. Tikus ada, tokek, apalagi nyamuk.
May menatap Anne diam-diam, dia telah berfikir salah tentang kehidupan Anne yang menurutnya penuh dengan kebahagiaan. Nyatanya air mata Anne lebih luas dari pada May, dia tersenyum mengarah kepada Ane. Wajah cantik dengan hidung mancungnya itu sudah resmi jadi sahabatnya, ada jiwa yang sangat baik di balik sikap suka pamernya itu. Tiba-tiba May mencubit pipi chabinya Anne.
"Eh eh sakit, nanti kalau bedak ku nempel di tanganmu gimana? Sayang kan, itu mahal" Teriak Anne panik meraba pipinya, masih saja Anne bisa kumat. May gedek-gedek sambil mengembalikan lagi bedak yang nempel di tangan ke pipi kanan Anne.
"Tuh tuh sudah aku balikin" Balas May kesal.
Lalu mereka di kagetkan dengan Suara pintu yang terbuka tiba-tiba, mama Anne yang masih mengalungkan handuk di pundaknya berdiri di tengah-tengah pintu. Nafasnya sedikit tidak teratur karena mungkin sebentar lagi emosinya akan meluap.
"Itu siapa? Mau mulung di sini ha?!" Bu Ida berteriak sambil melototi May yang sedang duduk menunduk.
Semua diam menahan detak jantungnya yang berdebar, Anne terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi dia memilih untuk mengurungkan niatnya. Lalu May memandangi sekujur tubuhnya, memang sangat lusuh, dan dia merasa tidak pantas menginjak rumah se mewah itu.
"Ini teman Anne ma, namanya May. Tadi Anne yang minta May buat mampir ke sini" Akhirnya Anne menjawab dengan suara yang lirih dan sedikit gemetaran. Bola mata Anne seakan memberi isyarat agar May tenang dan tidak takut.
Ibu Ida yang semula berdiri di tengah pintu berjalan mendekati May dan Anne, lalu duduk di kursi depan tempat duduk mereka. Kakinya di tumpu ke depan dan tanganya di gantung di depan badan, cukup lama bu Ida diam sambil menatap May dengan serius. Tapi pandangan itu di alihkan ke arah Anne.
"Sayang inget ya, kamu tau kan keluarga Kita bagaimana? Kamu yang pandai dong cari teman, orang itu di lihat dari siapa dia berkawan. Kalau kamu berteman sama yang macam ini, ya kamu pasti di katakan sama dong" Ucap bu Ida pelan, pelan tapi begitu menyayat hati May.
"Ma'afkan saya tante, jangan salahkan Anne. Ini salah saya, saya berjanji tidak akan main ke sini lagi" Suara May terdengar sangat sesak, ada air mata yang hampir jatuh ke pipi merahnya. Bu Ida tersenyum legal setelah mendengar jawaban dari Anne.
"Oh begitu, baik lah kalau kamu sadar" Ucap bu Ida dengan mengalihkan pandanganya dari May.
May beranjak dari tempat duduknya, dia menatap Anne sebentar lalu bersalaman dengan bu Ida Dan berpamitan.
"Saya pulang dulu tante" May menyodorkan tanganya, berharab bu Ida berkenan menerima salamnya. Tapi bu Ida hanya menjawab singkat dan menempelkan ujung jarinya ke tangan May.
May berjalan sudah sampai di depan gerbang depan, Anne yang menyusul dari belakang melambaikan tangan meminta May untuk berhenti. Tapi langkah May semakin gesit, air matanya sudah bercucuran membasahi pipinya.
Maaaaay!
Teriak Anne histeris, May merelakan tangisan Anne. Dia berlari membawa kepedihan.