Chereads / You Must Die / Chapter 13 - Harus Terima Akibatnya Part 1

Chapter 13 - Harus Terima Akibatnya Part 1

Amarah dan kekesalan yang selalu aku pendam membuat pikiran dan hatiku berkecamuk. Kebencian terhadap teman-teman sekelasku membuat aku ingin melakukan perlawanan kepada mereka semua. Aku ingin membuat mereka tersadar dengan perlakuan mereka terhadapku. Bertahun-tahun aku terus diselimuti rasa kesepian dan kebencian. Terkadang pikiranku membayangkan tindakan jahat yang ingin aku lakukan untuk membalaskan dendam di hatiku ini. Namun kadang hatiku menolak bayangan-bayangan yang terkadang melintas di pikiranku. Seakan hatiku ini menolak jika aku melakukan apa yang aku bayangkan. Tetapi rasa kesal dan keinginan untuk membuatku membalas dendam mereka semua sudah terlalu sampai di ujungnya. Emosi yang ku tahan selama bertahun-tahun ini membuatku semakin tertekan. Aku ingin melihat mereka menderita, aku ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan, aku ingin mereka tak menindasku lagi. Dan mulai detik ini, aku akan melakukan apa yang ingin aku lakukan. Aku tak perduli dengan penolakan di hatiku, aku hanya ingin semuanya berakhir.

Tapi, apa yang harus aku lakukan untuk membalas semuanya? Apa yang harus ku perbuat? Apa mungkin aku harus berbuat hal yang sama seperti mereka memperlakukanku? Apa hal itu akan membuat mereka tersadar? Ah aku rasa jika hal itu aku lakukan, semuanya tak akan berubah. Mungkin saja jika aku melakukan apa yang mereka lakukan terhadapku, mereka akan semakin membenciku atau bahkan mereka akan membunuhku.

Terkadang aku pulang ke rumah pun dengan kondisi yang memperihatinkan. Luka lebam dimana-mana, seragam sekolahku yang terlihat kotor, rambutku yang berantakan, dan berbagai hal lain yang membuat ibuku selalu menangis saat melihatku pulang dengan kondisi seperti itu. Ibu tak pernah memarahiku karena hal itu, ibu malah menangis dan memelukku. Ayahku pun yang tahu tentang hal ini hanya diam saja, ia memang tak terlalu memperdulikan aku. Namun kakakku satu-satunya yang bernama Stevent, selalu memarahiku yang pulang dengan kondisi seperti orang tak waras. Ia terus bertanya siapa yang melakukan itu semua terhadapku dan aku hanya bisa menjawab jika aku terjatuh sewaktu pulang dari sekolah. Untung saja kakakku yang cukup galak itu selalu mempercayai semua ucapanku. Aku selalu meyakinkannya sebisaku hingga ia benar-benar mempercayai semua kebohonganku.

Entah mengapa hari ini aku merasakan ada sesuatu yang aneh dari sikap kakakku ini. Biasanya setelah aku pulang sekolah ia selalu menungguku di depan rumah dan menanyai keadaanku, namun sudah seminggu ini ia tidak terlihat di depan rumah. Aku selalu menemuinya yang berdiam diri di kamar. Karena penasaran, aku pun memutuskan untuk menghampirinya yang saat ini tengah termenung di balkon kamarnya.

"Kak Stev!" panggilku. Kak Stevent langsung membalikkan badannya.

"Ada apa, Dek?" tanyanya datar.

"Kenapa sih akhir-akhir ini Kak Stev gak pernah nungguin aku lagi?" tanyaku. Aku melihat Kak Stevent menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan sedikit kasar.

"Apa Kakak wajib buat nungguin kamu di depan rumah?" Ia balik bertanya dengan sedikit ketus. Aku terkejut mendengar ucapannya itu.

"Kak Stev marah ya sama aku?" Ia hanya menggeleng setelah mendengar pertanyaanku, lalu ia kembali memandangi rumah tetangga yang berada di depan rumah kami.

"Aku gak suka sama sifat kak Stev yang kayak gini!" kataku mencoba untuk berkata jujur padanya. Walaupun ia suka marah-marah tapi aku lebih suka ia perhatian padaku, daripada harus cuek seperti ini. Rasanya sangat aneh.

"Kakak juga gak suka kalau kamu berbohong sama Kakak ataupun sama Mamah." Lagi-lagi ucapan Kak Stevent membuatku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu jika aku sering membohonginya? Apa ia mengikutiku selama ini? Apa sikapku membuatnya curiga?

"Maksud Kakak?" tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Kakak sudah tahu semuanya, Rei. Selama ini kamu pulang seperti orang gak waras itu karena teman-temanmu yang selalu membullymu. Iya kan? Kakak gak salah kan, Rei? Kamu gak bisa bohong lagi, Kakak udah tahu semuanya," jawabnya membuatku kembali terkejut. Dugaanku ternyata benar, Kak Stevent sudah tahu apa yang aku sembunyikan. Bagaimana ini???

"Kalau kamu diam aja, mereka gak akan berhenti mengganggumu. Kamu harus melakukan sesuatu agar mereka berhenti membullymu," ujar Kak Stev dengan serius. Aku hanya diam saja, menunggu ia melanjutkan ucapannya.

"Kalau kamu gak bisa melakukannya, biar Kakak yang melakukannya untukmu."

Aku menundukkan kepalaku. Melakukan sesuatu agar mereka berhenti membullyku? Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak tau bagaimana caranya membalas perbuatan mereka padaku.

"Aku gak tau apa yang harus aku lakukan, kak," jawabku lesu.

"Maka dari itu Kakak bersedia buat ngebantu kamu membalaskan rasa kesal kamu sama mereka," katanya.

"Terus, apa yang mau Kakak lakuin?"

"Cih, lihat aja nanti!"

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Lalu tak lama aku mulai menceritakan bagaimana mereka membullyku, apa saja yang mereka katakan padaku dan rasa kesalku saat dibully mereka. Semuanya ku curahkan kepada Kak Stevent. Ia mulai mengerti secara perlahan.

"Kakak bakalan lakuin sesuatu. Tapi, Kakak butuh persetujuan dan bantuan kamu. Bisa?" tanya Kak Stev setelah mendengar ceritaku. Aku hanya mengangguk saja.

"Bagus. Gak akan lama lagi hidup lo akan tenang, Reina!" janjinya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kakakku akan melakukan sesuatu kepada orang-orang yang sudah membullyku. Apakah ini tidak apa-apa? Jika mereka menganggapku sebagai pengadu bagaimana? Ah, aku rasa aku tak perlu mengkhawatirkan hal itu, semua itu tidak penting untuk dipikirkan.

***

Hari ini, tepatnya sore hari setelah pulang sekolah, lagi-lagi tubuhku dipenuhi lebam, seragam sekolahku sangat kotor dan tubuhku sangat berantakan. Melihat kondisiku yang seperti ini membuat ibuku kembali menangis. Mempertanyakan mengapa anak gadisnya diperlakukan seperti ini dan kakakku ia sangat amat marah hingga ia pergi keluar rumah entah kemana. Aku tau ia akan melakukan sesuatu di luar sana, aku tak dapat ikut karena harus menenangkan ibuku. Ibu terus menerus menangis walaupun aku sudah mencoba menjelaskannya bahwa semua ini mungkin sudah takdirku. Suatu saat nanti mungkin pembullyan ini akan berakhir.

Tiba-tiba ku lihat Kak Stevent datang ke rumah dengan keadaan yang mungkin sudah mulai tenang. Sepertinya ia sudah melakukan sesuatu. Setelah ibuku mulai tenang, aku pun menghampiri kakakku yang tengah sibuk memainkan handphonenya di kamar. Aku memasuki kamarnya dan duduk di sampingnya. Ia menoleh.

"Nanti malam, di taman belakang sekolah, jam 7!" kata kakakku. Aku mengernyitkan dahiku tak mengerti.

"Maksud Kakak?" tanyaku bingung.

"Waktu pelaksanaan pembalasan dendam sudah tiba, Reina. Siap gak siap kamu harus siap, Kakak udah merancang semua rencana sejak kemarin. Jadi, hari ini Kakak gak mau dengar penolakan dari kamu dan saat waktunya sudah benar-benar tepat, kamu harus mengungkapkan semua rasa kesal, dendam, dan emosi kamu di hadapan mereka. Jangan pedulikan mereka jika mereka mengeluarkan kata-kata tajam, mereka saja bisa, bagaimana dengan kamu? Kamu harus bisa membalas semua ucapan mereka. Kalau bisa kamu membalikkan kata-kata mereka sampai mereka sadar bahwa kamu lebih iblis dari pada mereka!" pinta kakakku. Aku hanya menganggukkan kepalaku.

***

Bersambung...

[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]

Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.