Namaku Reina BellTania. Aku biasa dipanggil Reina atau Rei. Saat ini aku tengah duduk di bangku kelas 2 di suatu SMA Swasta. Kehidupanku awalnya biasa-biasa saja, semenjak duduk di bangku SMP kehidupanku berubah. Saat itu aku dan beberapa teman-temanku tengah asyik bercanda di kantin sekolah kami. Tiba-tiba saja seorang temanku datang dengan berlari dan langsung mendorong tubuhku hingga aku terjatuh ke lantai.
"Dasar cewek perebut pacar orang!" ucap temanku dengan lantang. Semua orang dikantin pun memandang kami dengan penuh keheranan.
"Maksud kamu apa?" tanyaku bingung.
"Halah gak usah pura-pura bego deh lo. Kemaren lo jalan bareng cowok gue kan? Gue udah tau kebusukan lo!" balasnya dengan penuh penekanan. Aku pun mengernyitkan keningku.
"Sumpah Ra, kemaren aku cuma pergi buat ngerjain tugas aja. Aku gak ada maksud apa-apa kok." Aku mengatakan itu dengan sabar.
PLAAAAKK
Terasa perih pipiku saat ia menampar keras pipi ini. Aku tak menyangka, teman yang hampir satu tahun ini menjadi temanku akan menamparku tepat di hadapan banyak orang. Aku hanya dapat memegangi pipiku dan menahan malu yang teramat ini. Ia terus mencaci makiku karena kemarin siang, setelah pulang sekolah, aku dan kekasihnya jalan berdua. Padahal saat itu, kami memang tengah mengerjakan tugas kelompok. Namun, temanku yang bernama Zahra ini sepertinya telah salah sangka denganku. Ia malah menganggapku telah merebut kekasihnya.
"Sumpah, kemarin aku cuma …."
Belum selesai aku berbicara, Zahra memotong ucapanku, "Gak usah ngelak! Gue liat sendiri dengan mata kepala gue. Lo jalan berdua dan beli es krim satu dan makan bersama. Gak nyangka ya gue sama lo! Temen yang udah gue anggap saudara sendiri ternyata busuk di belakang gue. Mulai sekarang jangan anggap gue temen lo lagi dan gue benar-benar benci sama lo!"
Setelah mengatakan itu, Zahra pergi meninggalkanku yang tengah menahan malu ini. Kupandangi semua orang di sekelilingku, mereka tengah berbisik-bisik di hapadanku. Nampaknya mereka sedang membicarakanku. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana image-ku sebagai anak terpintar di sekolah ini hancur begitu saja. Jujur, aku tak ingin hal seperti ini terjadi.
Aku pun memutuskan untuk meninggalkan kantin. Aku berjalan pelan sembari memegangi pipiku yang sakit. Di sisi kiri dan kananku terlihat orang-orang yang tengah memandangku dengan sinis. Aku yakin, mereka telah termakan omongan Zahra yang cukup membuat hatiku sakit seperti ini. Aku juga yakin, saat ini ia tak ingin mendengarkan penjelasanku. Mungkin saja saat ini ia masih terbakar api cemburu. Aku memaklumi hal itu. Zahra dan pacarnya telah lima bulan berpacaran dan beberapa hari lagi mereka akan merayakan hari jadi mereka. Aku pun memutuskan untuk membicarakan hal ini setelah mereka merayakan hari jadi mereka.
Namun, tak ku sangka setelah hari dimana mereka akan merayakan hari jadi mereka, mereka malah berpisah dan hal itu membuat Zahra semakin marah kepadaku. Ia kembali memfitnahku, ia menuduhku jika akulah penyebab putusnya hubungan mereka. Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Zahra yang buntu itu. Aku hanya bisa menerima tuduhannya itu dengan lapang dada. Jika aku melawannya, itu akan menimbulkan masalah baru lagi. Aku hanya diam dan mengacuhkan ucapan dan hinaannya. Dan semenjak saat itu, aku pun tak lagi berteman dengan Zahra. Ingin sekali aku berbicara dengannya dan menjelaskan semuanya, namun ia sudah tak mau bertemu denganku lagi.
Dua bulan kemudian, aku sudah berpacaran dengan mantan kekasih Zahra yang bernama Putra. Satu bulan di awal hubungan kami, semuanya berjalan baik-baik saja hingga tiba saatnya Zahra tau jika aku telah berpacaran dengan mantan yang sangat disayanginya itu. Ia begitu marah dan mencaci makiku. Aku yakin, di sekolah nanti ia akan berbicara kepada seluruh teman-temannya tentangku dan menghasut mereka agar tidak berteman denganku. Sifatnya yang seperti itu sudah aku ketahui semenjak kejadian di kantin kala itu. Sebagian teman-temanku meninggalkanku karena termakan hasutan Zahra. Ucapannya begitu meyakinkan teman-temanku jika aku ini memang salah.
Tak ku sangka, keyakinanku kemarin pun terjadi. Teman-temanku meninggalkanku karena ucapan pedas dari Zahra. Ia berhasil membuatku tak mempunyai teman satupun. Ia hanya tertawa saat melihatku dijauhi teman-teman. Aku hanya bisa membuang wajahku saat mataku bertemu dengan mata Zahra. Matanya begitu memancarkan kejahatan yang mungkin saja mata jahat itu hanya untukku.
Seminggu setelah kejadian itu, teman-temanku tetap tak mau berteman lagi denganku. Mereka terlalu dibodoh-bodohi oleh Zahra. Apalagi setiap aku melewati mereka, tatapan sinis dan omongan pedas mereka selalu terdengar olehku. Hingga akhirnya hari dimana kelulusanku pun datang. Aku lulus dengan nilai tertinggi di kelasku. Lagi-lagi saat itu Zahra iri kepadaku, ia tak terima jika nilainya lebih rendah dariku. Ia malah memarah-marahiku, seakan-akan akulah yang menyebabkan nilainya rendah. Padahal jika ia mau giat belajar dan tak sibuk menyombongkan diri, mungkin saja nilai kelulusannya akan menyamai nilai kelulusanku.
Semenjak saat itu, aku memutuskan untuk tidak berteman dengan siapapun. Aku takut memiliki teman yang sama seperti Zahra. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Cukup sakit hati yang kurasakan selama ini. Namun aku tak menyangka jika aku akan satu sekolah lagi dengannya dan yang lebih membuatku kaget adalah ia satu kelas lagi denganku. Astaga, Ya Tuhan, aku sudah lelah mendengar ocehannya itu, tapi kenapa Kau malah menyatukan kami lagi? Cobaan apa lagi yang akan Engkau berikan?
Satu minggu bersekolah di sekolah menengah atas ini benar-benar membuatku muak. Bagaimana tidak? Zahra yang lebih mudah berteman dengan siapapun kini sudah menghasut semua teman-teman baruku untuk tidak berteman denganku. Dalam satu minggu ia sudah berhasil membuat satu kelas membenciku, entah apa yang ia bicarakan, yang pasti semua teman-teman di kelas tak menyukai kehadiranku. Itu baru satu minggu, bagaimana jika ia terus menghasut semua orang dalam satu tahun? Aku yakin, satu sekolah tak akan ada yang menyukai kehadiranku.
Hingga sampai saat ini, aku mencoba untuk bersabar dan berdiam diri. Aku tak ingin membuat situasi ini semakin kacau, namun ternyata sikapku ini malah semakin membuat Zahra tak menyukaiku. Ia terus menerus menggangguku dengan ucapan-ucapannya yang membuat kupingku memanas. Ia tak berhenti membicarakanku dengan teman-temannya, bahkan ia tak segan membicarakanku saat aku tengah berada di hadapannya.
Sepertinya aku harus menemuinya dan menjelaskan masalah masa lalu itu dengan membawa Putra. Putra yang kini masih menjadi pacarku akhirnya setuju dengan ajakanku untuk menemui Zahra, walaupun sebelumnya ia menolak ajakanku itu. Tanpa menunggu waktu lagi, aku mengajak Putra ke rumah Zahra. Kebetulan saat itu Zahra berada di rumah, ia terkejut melihat kedatanganku bersama Putra.
***
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.