Hari ini aku akan kembali membunuh, sasaranku berikutnya adalah anak lelaki si wanita penggoda ayah. Aku sudah memantaunya selama dua hari ini, ia selalu pulang di jemput oleh seorang lelaki yang sepertinya supir keluarga ayah. Entahlah, yang pasti aku sudah tahu jika anak lelaki itu selalu menunggu supirnya menjemput saat bel pulang sekolah berbunyi. Aku menunggu tak jauh dari gerbang sekolahnya, aku sudah menunggu kurang lebih sejam, namun anak itu tak kunjung terlihat. Lalu tak lama ia keluar dengan beberapa temannya, ia menuju halte yang tak jauh dari gerbang, tentu saja aku mengikutinya. Ku lihat ia duduk, sementara teman-temannya sudah menaiki bis untuk pulang ke rumah masing-masing. Kini ia hanya sendirian di sana, aku menghampiri anak itu dan mengajaknya berbicara.
"Halo, Dek!" sapaku basa-basi. Ia menoleh dan tersenyum ke arahku. Wajahnya lucu, namun aku membencinya.
"Lagi nunggu di jemput ya?" tanyaku sembari duduk di sampingnya. Ia hanya mengangguk menanggapi pertanyaanku.
"Mau ikut Kakak gak? Ada sesuatu yang pengen Kakak kasih ke kamu," tawarku.
Anak lelaki itu menoleh ke arahku, "Kakak ini siapa?" tanyanya.
"Aku Kakak salah satu temanmu yang tadi masuk ke bis. Kamu gak usah takut, Kakak gak jahat kok. Kakak cuma mau ajak kamu ke minimarket dan beli coklat buat kamu. Kamu mau?" Aku terus mencoba mengajaknya ikut bersamaku. Ku lihat ia masih terdiam sembari menunduk, nampaknya ia sulit untuk mempercayai orang lain selain keluarganya.
Aku terus membujuknya agar ia mau ikut denganku, "Setelah beli coklat, nanti kita balik lagi ke sini kok, Dek."
Tak ku sangka, ia mengangguk. Aku tersenyum senang, lalu mengulurkan tanganku, ia menerima uluran tangan ini dan kami pun segera pergi meninggalkan halte. Aku membawanya ke sebuah gang sempit yang tak jauh dari halte tadi. Aku menggenggam tangan anak itu dengan cukup kencang, aku tak ingin ia kabur dariku. Ia sedikit merengek kesakitan, namun aku tetap memaksanya ikut denganku. Aku pun menghentikan langkah kakiku dan menatap anak lelaki itu dengan senyuman dendam ini. Ia terheran dengan apa yang akan aku lakukan, ku lihat dengan jelas ia mulai ketakutan, air matanya menggenang di ujung kelopak mata.
Aku mengambil pisau kesayanganku yang berada di dalam saku, tak butuh basa-basi lagi, aku segera menusukkan pisau itu ke perut bocah yang kini tengah berdiri di hadapanku. Ia menangis kesakitan, darahnya perlahan keluar dari dalam perut. Kau tau siapa dia? Dia adalah anak lelaki dari wanita jalang yang sudah merebut ayahku. Aku hanya tertawa bahagia melihat itu semua. Ia masih bisa bergerak, aku pun kembali menusukkan pisau itu ke perutnya. Ia terus menjerit kesakitan. Lagi-lagi aku tertawa puas, aku begitu senang menusuk dan mencabut pisau ini. Aku penasaran dengan rasa darah ini, aku pun menjilat darah yang ada di pisauku. Hhmmm … rasanya asin bercampur bau amis yang menyengat. Begitu mual saat aku menjilatnya. Ah rasanya aku harus mencampurkan darah ini dengan gula agar rasanya lebih manis. Haha …
Aku baru tersadar jika bocah kecil itu sudah tergeletak di tanah dan darahnya terus keluar. Aku rasa, anak itu telah mati. Aku pun mengambil pemantik dan melemparnya ke tubuh anak itu. 15 menit kemudian, ia terbakar habis dan tubuhnya pun menghitam. Bau gosong pun tercium kemana-mana. Aku segera pergi dari tempat itu dan menghapus semua bukti yang mengarah padaku. Aku kembali ke rumah dengan penuh kebahagiaan. Aku telah berhasil menyingkirkan 2 manusia tak berguna di dunia ini. Tinggal tersisa 2 manusia lagi yang pantas mati. Aku akan segera membunuhnya secepat mungkin.
Keesokan harinya, setelah malam tiba, aku memutuskan untuk menjalankan rencanaku. Aku pergi ke rumah si jalang itu dan menemui anak perempuannya dengan diam-diam. Tanpa ketahuan, aku pun berhasil masuk ke dalam kamar gadis itu. Ia tengah tertidur pulas dan betapa cantiknya ia saat tertidur. Wajahnya begitu mirip dengan wanita brengsek itu.
Perlahan aku menutup mulutnya dengan lakban, ia pun terbangun. Aku langsung menggorok lehernya dan mengoyak-ngoyakkannya hingga leher itu putus. Ia mati seketika, begitu gampang membunuhnya. Aku tak menyangka, ia akan mati secepat itu. Aku pun menutup tubuhnya dengan selimut milik gadis mungil ini. Dan aku memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Namun saat aku tengah mencoba turun dari atas balkon, seseorang memergokiku. Aku melihatnya, astaga, ia ayahku. Ayah telah memergokiku. Aku harus bagaimana? Haha ... Seharusnya aku tak usah takut kepadanya, justru dialah yang harus takut kepadaku. Aku pun dengan santai turun dari balkon dan berdiam diri dihadapan ayah. Ia pun menarikku untuk masuk ke dalam rumah dan mulai memarahiku.
"Apa yang kau lakukan diatas sana?" tanya ayah. Aku hanya diam saja tanpa melihat wajahnya. Tiba-tiba saja seorang pembantu datang dengan panik.
"Tuan, Nona kecil meninggal!" ucap pembantu itu. Ayah pun terkejut dan langsung pergi ke kamar anak perempuannya sembari menggandeng tanganku. Ayah tersentak kaget saat melihat kondisi mengenaskan anak tirinya itu. Ayah pun langsung menatapku dengan tatapan marah..
"Kamu yang ngelakuin ini?" tanya Ayah. Lagi-lagi aku hanya diam membisu.
"Jawab!"
PLAAAAKKK
Air mataku pun kembali berjatuhan. Untuk pertama kalinya, setelah satu tahun yang lalu, Ayah kembali menampar pipi mulusku. Aku rasa kali ini tamparan tangannya membekas di pipiku. Begitu terasa panas dan perih. Aku menarik nafasku dan membuangnya perlahan, mencoba untuk menenangkan diri.
"Iya! Aku yang melakukan itu," jawabku jujur. Ayah dan pembantunya terkejut mendengar kejujuranku itu. Nampaknya mereka tak percaya denganku. Bagaimana anak yang masih berusia 14 tahun bisa membunuh anak yang lebih kecil dari usianya? Bagaimana ia melakukan itu? Mungkin dua pertanyaan itu ada di benak mereka.
"Saya akan telpon polisi!" ucap sang pembantu. Karena takut, aku pun langsung mengeluarkan pisau dan menancapkannya di punggung pembantu sialan itu. Ayah sangat terkejut melihat aku melakukan hal yang tak sewajarnya untuk anak usia 14 tahun sepertiku ini. Pembantu itu berteriak kesakitan. Aku pun mencabut pisauku dan kembali menancapkannya tepat di atas kepalanya. Seketika itu pun ia meninggal.
PLAAAKKKK
Untuk kesekian kalinya ayah menamparku lagi. Amarahku pun memuncak, aku mencabut pisau itu dan menancapkannya ke dada ayahku sendiri. Haha ... kali ini aku benar-benar puas melakukannya, aku terus menertawai ayahku yang tengah kesakitan.
"AARRGGHH … Da … Dasar anak tak be r… guna …," ucapnya terbata-bata. Aku mengambil pisauku dan menusukkan beberapa kali di dada ayahku. Darah segar kembali bermuncratan ke seluruh tubuh. Aku kembali tertawa keras melakukan semua itu. Aku terus menusukkan pisau itu hingga tubuh ayahku sudah tak berbentuk lagi. Aku benar-benar sudah gila karena semua ini. Aku sudah tak dapat menemukan jalan untuk menenangkan hati. Hanya inilah yang dapat aku lakukan untuk menyenangkan diri. Walaupun aku tahu, hal ini sangatlah tidak wajar dan melanggar hukum serta dosa berat. Namun, aku tidak peduli dengan itu semua. Aku ingin terus meluapkan rasa kekecewaanku ini. Aku ingin terus membuang semua kekesalanku. Aku tak akan berhenti menusukkan pisau ini ke tubuh ayah. Oh tidak, dia bukan ayahku! Dia hanyalah seorang lelaki yang tak memiliki hati. Lelaki brengsek yang penuh dengan emosi dan kerjanya hanya memarahiku saja. Dia juga pantas mati. Dasar lelaki tak berguna!
Saat ini aku hanya bisa berdiam diri di pojok kamar gadis yang tadi kubunuh. Aku terus tersenyum bahagia karena telah membunuh orang-orang yang kubenci. Mereka sudah mati dan hal yang paling membuatku senang adalah mereka mati di tanganku. Sampai saat ini aku masih tak percaya jika aku yang membunuh mereka. Namun, bagaimana dengan ibu? Apa yang harus ku katakan jika ibu mengetahui ini semua? Apa yang harus kulakukan? Arrgghh. Pikiranku sudah buntu, aku pun memutuskan untuk membunuh diriku sendiri. Mungkin saja dengan cara ini, aku akan merasa tenang.
CCRRAAASSHHH
SELESAI!!!
***
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.