Vino
[Radi bilang, ada yang ingin kamu katakan padaku]
[Ada apa, Lea?]
"Sial! Radi bermulut ember!" gerutu Lea kesal karena Radi memberitahu Vino lebih dulu.
Aleana
[Hmmm]
[Aku memiliki keinginan sebelum menikah]
[Dan yang terakhir adalah membawa calon suamiku ke kuburan ayah, lalu meminta resetu secara langsung untuk menikahiku]
Vino
[Katakan saja kapan dan blok apa kuburan ayahmu]
[Kita bertemu di sana, ya]
"Yeeeeaaaayyy!!!" seru Lea begitu bahagia ketika mengetahui kalau Vino bersedia datang ke kuburan ayahnya untuk menunaikan keinginan terakhirnya sebelum menikah.
Lea merasa beruntuk memiliki calon suami seperti Vino yang begitu pengertian padanya.
***
"Segera habiskan sarapanmu. Kamu harus menjemput Lea pagi ini, bukan?"
"Iya, Ma … hanya tinggal beberapa hari lagi aku bisa bersamanya," ujar Ben, sepertinya ia akan merasakan kehilangan.
"Mama juga sedikit berat melepaskan Lea untuk pria lain. Andai saja pernikahan Lea terjadi bukan karena persoalan utang piutang, pasti kamulah yang akan menjadi kekasih dan suami," ujar Mama Ben yang selama ini mengharapkan Lea menjadi menantunya.
"Mama sangat menyayangi Lea …."
"Sangat, Ben … sejak kecil kalian selalu bersama."
Ben menghampiri mamanya dan mendekapnya dengan begitu hangat. Tidak ingin membiarkan sang mama merasa kehilangan Lea hingga sesedih itu.
"Semoga saja Ben segera mendapatkan pengganti Lea, ya Ma. Doakan saja."
***
Lea turun dari sepeda motor Ben dan mengembalikan helm yang dipakainya kepada Ben. Ia tersenyum melihat Ben yang memandangnya dengan tenang. Tangan Ben meraih pipi Lea dan mengusapnya dengan sangat lembut.
"Sepertinya aku akan merindukan ini beberapa bulan kemudian," ujar Ben.
"Kakak masih boleh mengusap ini," ucap Lea, menggenggam tangan Ben yang masih berada di pipinya. "Ini," ucapnya kemudian memindahkan posisi tangan Ben pada kepalanya. "Dan juga ini," ucapnya lagi, kini ia menjepit ibu jari dan telunjuk Ben untuk mencubit hidungnya.
Ben terkekeh, ia menunduk, cukup lama. Membuat Lea heran dan melepaskan genggaman tangan Ben.
"Kak Ben?" panggil Lea.
Ben menengadah, melihat Lea kembali.
"Jika minggu depan Vino tidak bersedia menjadi suamimu, aku bersedia menjadi calon suami pengganti untukmu, Lea," ucap Ben, matanya terlihat berkaca-kaca.
"K—kak … kenapa bicara seperti itu? Aku jadi sedih … duh … pagi-pagi sudah sendu," ujar Lea menggerutu. Ia mengibaskan matanya agar tidak menitikkan butiran bening karena haru atau malah lebih mengarah pada sedih.
"Maaf sudah membuat pagimu sendu. Aku hanya berat melepaskan adikku yang beberapa hari lagi akan pindah dari rumahnya dan menjadi istri orang," tutur Ben, mengusapkan air mata Lea yang sudah menetes di pipi.
***
Lea masuk ke dalam kelasnya, melihat Ninda dan Radi yang sedang duduk bersama. Ia tersenyum dan memilih untuk menghampiri keduanya.
"Sepertinya sangat asyik pembicaraan kalian," ucap Lea saat ikut bergabung bersama mereka.
"Kami sedang membahas pernikahan, Lea," balas Ninda memberitahu topik pembicaraannya dengan Radi, kepada Lea.
"Membicarakan pernikahanku dengan Vino?" tanya Lea.
"Percaya diri amat, sih Lea … Lea …," gumam Radi menggerutu.
"Bukan Lea … aku dan Radi sedang membicarakan pernikahan kami," timpal Ninda.
"Aih, ini lagi semakin percaya diri," gerutu Radi dengan gelengan kepala seolah jengah.
"Radi … aku perlu memberikan penawaran apalagi padamu, agar kamu mau menikahiku? Atau jika kamu ingin menjadi calon suami pengganti Lea, aku juga bisa membantunya. Yang penting aku dan Lea bisa menjadi keluarga dan tinggal satu rumah," tutur Ninda merengek.
"Ada penawaran yang lebih bagus dari apa yang kamu tawarkan, Ninda," ujar Radi.
"Oh, ya? Apa itu?" tanya Ninda penuh dengan semangat dan rasa penasarannya.
"Menjadi istri ayahku," jawab Radi.
HAHAHA
Gelak tawa bukan hanya keluar dari mulu Radi saja, namun Lea juga tak kuasa menahan tawanya. Tidak ada yang salah dari apa yang dikatakan oleh Radi. Karena jika Ninda bersedia menjadi istri ayah tiri Radi, besar kemungkinan untuk Ninda dapat tinggal satu rumah dengan Lea, juga dengannya.
"Yang benar saja … masa aku harus menjadi ibu tiri kamu, Radi … Lea juga menjadi menantuku. Lebih baik aku menjadi asisten rumah tanggamu saja, yang khusus melayani Lea," balas Ninda, masih saja bersikeras ingin menjadi anggota keluarga mereka.
"Kita lihat saja, apakah kamu akan berada di rumahku kelak, walau hanya sebagai asisten pribadi Lea," tutur Radi.
"Ok! Awas sajai jika kamu menyukaiku kelak dan memintaku untuk menikah! Aku tetap akan menjadi asisten pribadi Lea saja!"
***
Lea duduk di depan kelasnya, meratapi nasib dirinya yang sangat tidak beruntung hari ini. Alam tak bersahabat dengan menurunkan air langit, sehingga Lea tidak bisa pergi ke kuburan siang ini.
Vino
[Besok cuacanya pasti cerah]
[Semangat!]
Lea tersenyum melihat balasan pesan dari Vino.
Ben
[Naik taksi saja, ya]
[Aku tidak ingin kamu basah]
[Aku lupa membawa jas hujan]
Aleana
[Kakak dimana?]
Ben
[Di depan sekolahmu, di halte]
[Sedang berteduh]
Aleana
[Ingin mandi hujan?]
***
"Kamu yakin?" tanya Ben, melihat Lea yang sudah basah sebagian karena menerobos hujan dari sekolahnya untuk menghampiri Ben di halte.
"Kenapa tidak? Bukankah setelah kita menikah nanti—"
"Kita?" tanya Ben mendapat kejanggalan dari ucapan Lea.
"Eh, kita? M—maksudku … setelah aku menikah nanti, apa kita masih bisa bermain di bawah hujan?"
Ben tersenyum, kemudian mengambil helm di atas motornya dan segera memakainannya pada kepala Lea. Ia juga kemudian memakai helm miliknya.
"Siap?"
Lea mengangguk tegas dengan senyum semangatnya.
Ben meraih pergelangan tangan Lea dan mengajaknya untuk pergi dengan sepeda motor miliknya.
"Yyeaaaayy!!!" seru Lea sangat senang berada di bawah hujan, apalagi bersama Ben.
"Kamu bahagia?" tanya Ben.
"Sangaaaaat bahagia!" jawab Lea begitu bersemangat.
Lea kemudian mendekap Ben dari belakang dengan sangat erat. Keduanya benar-benar menikmati hari-hari terakhir kebersamaan mereka. Entah suatu saat nanti dapat terulang kembali atau tidak, tapi pastinya mereka saat ini sangat bahagia dengan sisa waktu yang ada.
'Tuhan … jangan biarkan waktu ini cepat berlalu …,' batin Ben, memiliki harapan untuk masih dapat bersama Lea dalam waktu yang lebih lama lagi.
***
HAACYUUUH!
Tak terhitung berapa kali Lea bersin. Hidungnya memerah menandakan kalau dirinya terserang flu. Bukan hanya sekadar itu saja, Lea juga demam 38 derajat.
"Kenapa tidak naik bus atau taksi?" tanya Lesta yang cemas dengan kondisi Lea. "Pernikahanmu hanya tinggal beberapa hari lagi, Lea … tolong jaga kesehatanmu!"
"Maaf, Bu … ini hanya flu biasa, kok. Besok atau lusa juga pasti sembuh," tutur Lea meyakinkan ibunya kalau ia baik-baik saja.
"Jangan buat ibu khawatir. Lusa kamu juga harus fitting baju penganti, bukan?"