"Rencana pernikahan ini … bukan seorang pangeran yang datang ke rumah lalu melamarku. Melainkan sebuah tawaran harga yang tinggi pada rumah yang ibu jual dengan syarat …."
"Dengan syarat?" tanya Ben, ia mendengar Lea bicara tidak tuntas.
"Syaratnya pernikahan ini," jawab Lea. "Rencana pernikahan ini … benar-benar sangat tidak aku inginkan, Kak."
Ben diam, ada rasa kesal ketika mendengar penjelasan dari Lea. Selain menenangkan dan memberinya semangat, apalagi yang dapat Ben lakukan? Sementara ibu Lea telah meminta Ben untuk membujuk Lea agar mau menerima pernikahan ini.
Sebenarnya, apapun keputusan Lea tetap tidak akan merubah keadaan. Pernikahan itu tetap akan terjadi, karena utang keluarganya yang sudah menumpuk dan tak ada lagi harta yang dapat dijadikan jaminan untuk membayar serta melunasi semuanya, selain rumah peninggalan dari ayah Lea.
"Lea, apa kamu yakin akan baik-baik saja?" tanya Ben, ia hanya ingin memastikan kalau Lea dapat meneriman takdirnya yang harus menikah muda, sesuai dengan keinginannya, meski pernikahan yang akan diterimanya bukanlah pernikahan impian.
"Kakak sudah tahu jawabannya, mengapa bertanya demikian?"
***
Lea keluar dari kamarnya dengan seragam sekolah lengkap dan juga tas ransel yang sudah ia persiapkan. Lea melewati meja makan dan memilih untuk tidak sarapan karena ia tidak memiliki napsu makan. Tanpa pamit dengan ibunya yang sedang berada di kamar mandi, Lea memilih pergi dari rumahnya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke halte yang berada di depan gerbang perumahannya untuk menunggu bus yang akan membawanya menuju ke sekolah.
Sementara menunggu bersama dengan penumpang bus yang lainnya, Lea memilih memainkan ponselnya, melihat-lihat media sosial miliknya. Banyak sekali postingan dari teman-teman sekolah Lea yang terlihat bahagia menikmati masa remajanya, bahkan ada yang memamerkan kemesraannya dengan pasangan mereka.
Lea tersenyum, ia juga berharap dapat memiliki seseorang yang ia cintai, yang bisa dijadikan sebagai cinta pertamanya.
TIN!
Suara klakson membuat Lea kaget dan menoleh ke arah sumber suara. Itu adalah Ben yang sepertinya hendak pergi ke kampus dengan sepeda motornya. Ia menepi di halte dan tentunya untuk menghampiri Lea yang sedang seorang diri.
"Kak Ben?" sapa Lea, ia heran mengapa Ben menghampirinya. "Ada apa?"
"Naiklah! Aku akan mengantarmu," perintah Ben, ia meminta Lea untuk naik ke atas motornya, memberikan tumpangan untuk Lea.
"Terima kasih, Kak. Tapi aku menunggu bus—"
"Naiklah, Lea … kesempatan kita bersama sudah tidak banyak, bukan? Naiklah, aku akan mengantarmu," pinta Ben sekali lagi, kesannya seperti memohon.
Benar. Kesempatan mereka untuk menghabiskan waktu bersama seperti itu tidaklah banyak. Jika Lea sudah menikah kelak, keduanya bukan hanya jarang bertemu lagi seperti sekarang, mungkin mereka tidak akan pernah bisa memiliki waktu bersama lagi.
Lea mendengus, akhirnya menurut dan segera naik ke atas sepeda motor Ben.
"Pakai helm nya," pinta Ben, memastikan keselamatan Lea. "Juga … pegangan yang erat."
Lea tersenyum dan selesai memakai helm tersebut. Ia dengan lekas memeluk Ben dari belakang, melingkarkan tangannya di pinggang Ben.
Ben segera mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Mungkin karena jalanan masih belum ramai, sehingga ia bisa dengan bebas menggunakan lalu lintas.
Setibanya mereka di sekolah Lea, keduanya memilih untuk berbicara sebentar, meski pertanyaannya hanya sekadar basa-basi saja.
"Terima kasih, Kak. Jadi merepotkan Kakak seperti ini," ujar Lea, merasa tidak enak karena Ben sudah bersedia mengantarnya dengan tulus.
"Sama-sama. Kalau kamu bersedia, aku akan menjemputmu pulang sekolah nanti. Kebetulan aku tidak memiliki kelas siang dan bisa pulang lebih awal untuk menunggumu di sini," tutur Ben, sepertinya ia benar-benar ingin memanfaatkan waktu bersama sahabat sekaligus adiknya itu.
"Hmmm … nanti aku akan mengabari Kakak, ya. Sekali lagi, terima kasih, Kak. Kakak hati-hati di jalan dan jangan ngebut seperti tadi. Jalanan pasti sudah ramai," balas Lea.
"Hmmm … baiklah. Aku tidak akan ngebut. Apapun yang adikku pinta, aku akan menurutinya …," ujar Ben, sedikit menggoda Lea yang biasanya bersikap manja kepadanya.
Lea menyeringai. Ia melambaikan tangannya, mengiringi Ben yang berlalu. Setelah Ben tak terlihat lagi, Lea segera masuk ke dalam area sekolahnya dan menuju ke kelasnya.
Suasana kelas di pagi hari memang selalu ricuh, hampir tidak pernah sepi apalagi terlihat damai. Sebelum bel pelajaran dimulai, semua kelas yang ada di sekolah sudah pasti ricuh dengan suara murid-murid yang ada-ada saja kelakuannya.
Lea masuk ke dalam kelas, segera menuju ke tempat duduknya yang kini sedang diduduki oleh Radi.
"Selamat pagi," ucap Radi, segera beranjak dan mempersilakan Lea untuk duduk.
"Terima kasih," jawab Lea, kemudian ia duduk dan menyimpan tasnya dalam laci. "Hmmm, Ninda belum sampai?" tanya Lea, tidak melihat Ninda. Tidak biasanya Ninda datang siang, karena biasanya Ninda selalu berangkat lebih awal dan tiba di sekolah saat sekolah masih sepi.
"Sepertinya tidak masuk. Kenapa memang?"
"Hmmmm—"
"Biarkan aku duduk bersamamu selama Ninda tidak masuk. Tadi teman-teman membicarakannya, kalau Ninda sakit. Salah satu teman di kelas kita ada yang bertetangga dengannya?"
"I—iya … ada beberapa. Hmmm baiklah kalau begitu, terima kasih sudah mau duduk denganku."
Radi beranjak untuk mengambil tasnya dan memindahkannya di meja Ninda.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Radi, setelah duduk bersebalahan dengan Lea.
Lea tersenyum, ia menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Tadi malam bagaimana? Apa kalian baik-baik saja. Sepertinya sedang ada masalah, ya?" tanya Radi lagi, mengingatkan kejadian tadi malam.
"Hmmm … Kak Ben mengantarku pulang. Itu saja," jawab Lea, sepertinya ia tidak ingin banyak bicara.
"Kamu masih memikirkan pernikahanmu?" tanya Radi lagi, kali ini ia menurunkan volume suaranya.
Lea mengangguk ragu.
"Itu bukan pernikahan impianku, Radi," jawab Lea begitu sendu.
"Mengapa tidak menolak saja?"
"Kamu tidak tahu bagaimana posisiku, bagaimana permasalahannya, kamu tidak akan mengerti, Radi. Bicara saja memang enak," gerutu Lea, ia menjadi naik darah.
"Bagaimana aku akan mengerti jika kamu saja tidak menceritakannya secara jelas?"
Lea menatap mata Radi, pria yang hampir tidak pernah berbicara dengan gurauan. Ia pria dingin yang bagi Lea sangat hangat. Entah hanya Lea saja yang dapat merasakannya atau memang Radi haya bersikap hangat kepada Lea saja.
"Lea?" panggil Radi, melihat Lea melamun menatapnya. "Pagi-pagi jangan melamun."
"Hmmm, maaf. Aku hanya tidak bisa berhenti memikirkannya, Radi," ujar Lea.
Radi diam, ia menoleh ke sisi lain. Sementara Lea mendengus, yagn dirasakan olehnya bukan hanya tidak napsu makan dan tidak dapat tidur nyenyak saja, namun sepertinya otak dan pikirannya tidak dapat selaras dan berkonsentrasi dengan baik.
"Jika kamu ada waktu dan juga bersedia, kita bisa membicarakannya sepulang sekolah nanti."