"LEA!" jerit Ninda sangat terkejut.
"Ada apa?!" seru Radi yang terkejut dengan jeritan Ninda pagi-pagi seperti ini.
"Lea cantik sekali," jawabnya terkekeh.
Radi menjewer telinga Ninda dan kemudian kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Radi … cepat mandi. Sudah jam tujuh, loh. Satu jam lagi kita pergi," gerutu Ninda.
"Masih satu jam lagi. Aku tidak dandan seperti kamu, lima menit saja cukup," balas Radi menggerutu.
"Aku ingin ke kamar Lea dan melihatnya. Dari foto saja cantik begini," ucap Ninda kagum.
"Mana fotonya?" tanya Radi, diam-diam ia juga penasaran.
"Aku tidak akan memberikannya padamu. Wek!" ejek Ninda menjulurkan lidahnya.
Ninda dan Radi memang bermalam di rumah Lea. Niatnya agar dapat pergi bersama dengan keluarga Lea dengan mobil milik Radi. Sebenarnya bukan keluarga Vino lah yang membuat Radi bertahan di rumah Lea. Tetapi karena rasa penasarannya yang tinggi, yang membuatnya bertahan. Itu karena kejadian kemarin sore, yang menurutnya adalah anugerah yang terjadi secara kebetulan.
H-1 sore hari di rumah Lea,
"Kamu ingin dipijat, tidak? Aku hanya tinggal berendam lalu mandi saja," ujar Lea menawarkannya kepada Lea.
"Bayar tidak?" tanya Ninda memastikan.
"Kita tangguhkan saja pada Vino," jawab Lea terkekeh.
"Ah, benar juga. Baiklah, aku ingin dipijat. Besok aku akan bertarung seharian penuh di acara pernikahanmu," ucapnya sangat senang. "Terima kasih, calon pengantin …."
"Eh, aku ke dapur sebentar ambil minum. Haus banget, deh," ucap Lea, kemudian ia keluar dari kamarnya hanya dengan tubuh yang dibalut oleh handuk.
Mungkin saja Lea lupa, kalau di rumah ada orang lagi selain Ninda dan kakak dari rumah kecantikan itu. Ada Radi, yang kini juga hendak ke dapur untuk mengambil membuang sampah bekas camilannya.
'ASTAGA!' batin Radi terkejut melihat Lea yang keluar kamar dengan handuk seperti itu. Kebetulan Lea tidak melihat dan menyadari keberadaan Radi, akhirnya Radi memilih mengurungkan niatnya untuk ke dapur dan kembali ke sofa, pura-pura tidur.
Meski begitu, matanya sesekali mengintip Lea yang masih berada di depan pintu lemari es, sepertinya ia sedang mencari minuman dingin. Radi tersenyum, melihat Lea yang terlihat seksi dan membuatnya enggan menutup matanya untuk melihat kemolekan Lea saat ini.
***
"Radi?"
Radi berbalik badan dan melihat Lea yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Ninda mana?" tanya Lea, kini ia sudah mengenakan gaun dengan riasan yang sangat cantik.
Radi menggelengkan kepalanya dengan tatapan mata yang tak lepas dari wajah Lea.
"Sini aku pakaikan dasinya," ucap Lea, menari dasi merah Radi yang sejak tadi sulit ia pakai. "Kamu tidak bisa pakai dasi?"
Radi menggeleng lagi, masih memperhatikan Lea.
'Pilihanku untuk bermalam di sini memang tepat. Sebelum Kak Vino melihat istrinya yang luar biasa cantik, aku sudah lebih dulu bisa memandanginya dengan puas, distatusnya yang masih lajang,' batin Radi.
Ya, Radi memilih untuk menginap di rumah Lea bukan sekadar ingin membantu Lea dan ibunya, melainkan ia juga ingin bisa lebih lama lagi melihat dan bersama Lea sebelum menjadi istri kakak tirinya.
"Radi?" panggil Lea, sepertinya ia sadar kalau sedari tadi Radi tak melepaskan pandangan dari wajah Lea.
"Hm?"
"Kamu … terpesona?"
Radi melepas tangan Lea yang baru saja selesai memakaikan dasi untuknya.
"Terpesona apanya? Melihatmu membuatku menjadi lapar. Bedaknya tebal dan membuatmu tembam seperti bakpau," balas Radi menggerutu, ia berlalu bukan karena kesal, tetapi karena malu karena tertangkap basah memandang kagum Lea.
Lea terkekeh, ia mengerti kalau Radi malu. Tiba-tiba saja raut Lea berubah muram. Entah apa yang dipikirkannya, rasa ragu datang tanpa memberi aba-aba.
"Lea, kamu kenapa?" tanya Ninda, yang menghampiri Lea untuk memastikan kesiapan Lea.
"Ada apa denganku, ya? Sepertinya aku ragu dengan pernikahan ini—"
"Gila saja?! Ini sudah hari H dan kamu tidak bisa mundur. Lagipula tidak ada angin tidak ada hujan, kenapa kamu tiba-tiba saja berpikiran seperti itu?"
Lea menarik sebelah bibirnya, seperti tersenyum namnun terlihat bingung.
***
Mobil Radi memasuki basement hotel berbintang lima yang menjadi tempat pernikahan Lea dan Vino. Begitupun dengan mobil Ben yang menyusulnya di belakang. Lea yang memilih untuk bersama Ninda dan ibunya di mobil Radi, masih saja terlihat muram.
"Lihat, rautnya terlihat seperti dinikahkan paksa," ucap Ibu Ninda yang duduk di kursi depan bersama Radi yang sedang mengemudikan mobilnya.
"Lea memang dinikahkan paksa," timpal Radi, ia memang tipe pria yang tidak pernah berbasa-basi dalam bicara.
"Sudah tidak terpaksa, Radi … Lea dan Kakakmu sudah saling menyukai, kok. Hanya tinggal menunggu waktu agar keduanya saling mencintai," sahut Ninda, tidak ingin membuat Lea semakin berkecil hati.
"Oh, jadi pengantinnya Lea Kakak dari sahabatnya sendiri? Kalau Ibu boleh tahu, kenapa memilih menikah disaat masih sekolah? Kalau dari usia, kamu memang sudah boleh menikah, tapi apa ini sudah dipikirkan—"
"Bu …," sela Ninda, ia tidak ingin Lea semakin berkecil hati dengan rentetan pertanyaan dari ibu Ninda.
"Tidak apa, Nin. Ibumu hanya bertanya," ucap Lea. "Pernikahan ini … terjadi karena perjodohan, Bu. Tapi saya melakukannya sama sekali tidak terpaksa," jawab Lea kepada ibu Ninda.
Mesin mobil Radi mati, mereka pun segera keluar dari dalam mobil dan bergabung dengan keluarga Ben dan Lea yang juga baru tiba di area parkir basement.
"Lea … sini sama Ibu," panggil Lesta, meminta Lea untuk menghampirinya.
"Padahal acaranya diadakan di hotel mewah, tapi kenapa kita semua tidak menginap di hotel saja dari kemarin?" tanya Ninda, ia merasa aneh karena keluarga Vino bukanlah berasal dari keluarga biasa.
"Malam ini kita meningap semua di hotel, Nin. Paman Rudolf tidak meminta orang-orang dipihakku menginap di hotel, lantaran khawatir aku dan Vino bertemu. Sementara keluarga Vino memang sudah berada di hotel sejak kemarin sore," jawab Lea.
"Tapi kenapa keluarga Vino yang satu itu malah menginap di rumah pengantinnya, ya?" tanya Ninda, menyindir Radi.
"Aku sudah mengatakannya, bukan? Aku ditugaskan untuk menjaga pengantin wanita," balas Radi, tidak terima.
Balasan Radi diiringi oleh tawa orang-orang yang mendengarnya.
"Sudah, ayo kita naik ke atas. Keluarga Vino sudah menunggu," ajak Ben, yang terlihat seperti kepala dari pihak keluarga Lea.
Semuanya segera menuju ke lift untuk naik ke lantai paling atas, dimana acara pernikahan Lea dan Vino digelar di sana. Setibanya mereka di lantai yang dituju, terlihat nama Lea dan Vino terpampang di depan lift, sebagai penanda untuk tamu yang akan menghadiri acara pernikahan tersebut.
"Kita masuk lewat pintu sana, seperti panduan yang sudah diberitahu kemarin," ujar Ben, memberi petunjuk arah.
Tangan Ben meraih genggaman tangan Lea, mengajaknya untuk masuk, namun Lea tidak beranjak sama sekali. Wajahnya terlihat pucat dengan tangan yang gemetaran.
"Kak, aku mau pulang saja."