"Kita masuk lewat pintu sana, seperti panduan yang sudah diberitahu kemarin," ujar Ben, memberi petunjuk arah.
Tangan Ben meraih genggaman tangan Lea, mengajaknya untuk masuk, namun Lea tidak beranjak sama sekali. Wajahnya terlihat pucat dengan tangan yang gemetaran.
"Lea, ayo!" ajak Ben.
Lea masih diam. Ia menggelengkan kepalanya.
"Kamu kenapa?" tanya Ben, mendekat pada Lea.
"Kak, aku mau pulang saja."
"Apa?! K—kenapa?"
***
"Kenapa lama sekali?" gerutu Vino.
"Kami sudah tiba dari setengah jam lalu. Dan Lea juga sudah selesai make up dari rumahnya. Seharusnya sudah tidak banyak lagi yang dipersiapkan olehnya, tapi kenapa lama sekali sih mereka," gerutu Radi, membalas gerutuan Vino.
"Coba kamu cek," pinta Vino.
"Kak, itu Kak Ben. Memberi isyarat untuk memulainya," balas Radi, menunjuk ke arah pintu masuk.
Terdengar alunan musik nan merdu, sebagai pengiring pengantin. Terlihat dua gadis kecil yang memasuki ruangan tersebut dengan membawa bucket bunga sembari tersenyum. Mereka berjalan menuju ke altar, kemudian menepi.
Vino tersenyum meski rautnya terlihat tegang saat melihat Lea yang sudah berada di bibir pintu, sedang digandeng oleh Ben untuk berjalan menghampirinya yang kini sudah bersiap di altar.
Kaki Lea perlahan berjalan menyusuri ramainya tamu yang berada di sisi kanan dan kirinya yang terlihat kagum dengan Lea yang bak putri dalam negeri dongeng. Ia benar-benar cantik.
Lea yang semula berwajah masam, kini perlahan menorehkan senyumnya, memperlihatkan kalau ini adalah benar-benar hari bahagianya. Ia mengingat jelas, apa yang dikatakan oleh Ben, saat dirinya ingin mundur dari pernikahan ini.
"Kak, aku mau pulang saja."
"Apa?! K—kenapa?"
"A—aku ragu dengan pernikahan ini, Kak. Aku benar-benar tidak yakin untuk menikah. Aku ingin pulang saja," rengek Lea, ia tiba-tiba saja menjadi paranoid.
Ben tersenyum, mengusap lembut rambut Lea yang sudah ditata dengan sangat cantik.
"Lea … silakan kalau kamu memang tidak bersedia untuk menikah hari ini. Aku sama sekali tidak melarang ataupun menahanmu," ujar Ben, seperti tidak mempermasalahkannya jika Lea memilih mundur dari pernikahannya.
"Mungkin saja dengan kamu mundur dari pernikahan ini … Ibumu akan mendapatkan masalah besar. Bukan hanya itu, kami yang sudah bersusah payah untuk hari ini, mungkin akan sangat kecewa padamu. Bahkan ayahmu … mungkin saja tidak lagi bangga padamu. Bagaimana, ya dengan keluarga Paman Rudolf yang sudah mengeluarkan banyak sekali biaya untuk ini. Juga dengan tamu—"
"A—aku berubah pikiran. M—maaf—kan aku, Kak. Aku hanya takut … aku benar-benar cemas," ucap Lea, rasa takut akan hancurnya acara dan kebencian untuk dirinya mulai menghanti dalam pikiran. "Aku … tetap akan menikah, Kak."
Ben tersenyum, matanya terlihat berkaca-kaca. Ia menengadah, memejamkan matanya sejenak. Kemudian kembali menoleh pada Lea dan mengulurkan tangannya.
"Gapailah tanganku, mari kita masuk ke dalam. Kamu perlu merapikan rambutmu lagi," ajak Ben.
Lea terkekeh, ia memegangi rambutnya, merasa malu dengan sikapnya yang baru saja bisa menghancurkan acara tersebut.
***
Ben mengulurkan tangan Lea yang berada pada genggamannya, untuk saling menggenggam dengan tangan Vino. Ia tersenyum layaknya seorang ayah yang akan merelakan putrinya untuk pria yang akan menjadi pasangan hidup sang anak.
Ben menepi dari altar, bergabung bersama dengan mamanya, Lesta, Ninda dan keluarga Lea yang lainnya.
Lea dan Vino kini berhadapan, saling menatap dengan senyum. Tangan keduanya terasa dingin, mereka sama-sama merasa gugup dengan pernikahan ini.
Acara sakral dengan mengucap janji suci berjalan dengan lancar, begitu sempurna. Ditutup dengan keduanya yang saling mengaitkan cicin dijari manis tangan kanan mereka. Lea mengumbar senyumnya,kemudian ia menunduk seperti malu. Tangan Vino meraih dagu Lea, ia menunduk dan menyambar bibir Lea tanpa memberi aba-aba. Itu membuat Lea kaget dan membesarkan matanya. Ia tidak mampu membalas ciuman Vino sekarang ini, Lea masih belum siap dengan kejutan ini.
***
Cheryl tersenyum melihat Ben dari kejauhan. Ia mengambilkan minuman dan berjalan menghampiri Ben yang terlihat sedang duduk menyendiri, sembari memainkan ponselnya.
"Minum dulu, Ben," ucap Cheryl, memberikan minuman itu kepada Ben.
Ben tersenyum, ia menerimanya dan berkata, "Terima kasih, Cheryl."
"Kamu sudah tidak ragu lagi dengan pernikahan ini?" tanya Cheryl.
"Ragu?"
"Iya, ragu. Raut wajahmu tidak bisa dibohongi, Ben. Akhir-akhir ini kamu terlihat cemas dan meragukan Lea untuk menikah. Bukankah kamu sudah bilang padaku, kalau kamu akan merelakannya. Apa belum juga kamu merelakannya?"
Ben diam, ia menunduk, kemudian mengangguk.
"Aku sedang berusaha merelakannya menikah dengan Kak Vino. Tapi … aku sudah tidak ragu lagi padanya. Lea sudah cukup dewasa untuk pernikahan ini. Aku juga percaya Kak Vino akan menjadi suami yang baik untuknya," tutur Ben.
Cheryl tersenyum, menepuk bahu Ben berulang kali.
"Pria yang hebat adalah pria yang tulus merelakan orang yang dicintainya bahagia dengan yang lain. Dan pria hebat itu adalah kamu."
***
Radi dan Ninda berjalan bersama menghampiri kursi pengantin yang kini hanya ada Lea sendiri di sana. Keduanya terlihat seperti ingin mengucapkan selamat untuk pengantin.
"Mana suamimu?" tanya Ninda.
"Ke toilet," jawab Lea, kini ia berdiri menyambut kedatangan Radi dan Ninda.
"Cantik banget, sih … sahabat aku yang satu ini …," puji Ninda.
"Sahabatmu yang perempuan memang Cuma Lea, bukan?" tanya Radi, tak habis ia menggoda dan membuat kesal Ninda.
"Radi! Kamu kenapa selalu membuatku kesal?!" gerutu Ninda. "Kita naik ke sini untuk menyalami dan memberi selamat Lea, bukan beradu mulut," lanjutnya masih saja menggerutu.
"Yang sejak tadi mengoceh tiada henti itu kamu, kenapa jadi menyalahkan aku?"
"Sudah, sudah … kalian kenapa selalu bertengkar, sih?" Lea melerai keduanya agar tidak semakin lama membuat keributan di sana.
"Lea, selamat untuk kamu dan Kak Vino, ya …," ucap Radi, menggapai tangan Lea dan menyalaminya. "Jangan lupa bilang Kak Vino untuk belikan aku tiket ke Maladewa," lanjutnya.
"Apa?! Maladewa?! Kamu mau pergi ke Maladewa?" tanya Ninda terkejut mendengarnya.
"Kamu apaan, sih? Ini urusan keluarga. Kamu kan bukan anggota keluarga Rudolf," cicit Radi, tidak memberikan jawabannya.
"Eh, ada Radi dan Ninda …," ucap Vino yang baru datang dan langsung menyapa keduanya.
"Kak Vino, selamat atas pernikahannya," ucap Ninda, ia menggapai tangan Vino untuk menyalaminya. "Selamat, Lea sahabatku … bulan madu kemana, nih?"
"Iya, terima kasih, Ninda. Rencananya mau ke Maladewa. Minggu depan mungkin, aku harus menyelesaikan tugas kampus lebih dulu hari Senin nanti," jawab Vino menjelaskan.
"Jadi …."
"Jadi apa?" tanya Vino bingung.
"Lea ...," rengek Ninda.
"Lea, Kak Vino, selamat menempuh hidup baru, ya …," ucap Radi kemudian ia menarik lengan tangan Ninda dan membawanya pergi dari sana.
Vino mengernyit, tidak mengerti dengan tingkah Ninda.
"Ninda kenapa?" tanya Vino pada Lea.
Lea menyeringai, ia menggelengkan kepalanya karena tidak paham juga.